Minggu, 27 Agustus 2023

 

Ridwan Djamaluddin Nikel

Fajar Pebrianto :  Jurnalis Majalah Tempo

MAJALAH TEMPO, 20 Agustus 2023

 

 

                                                           

SEBAGAI perusahaan tambang nikel, kantor PT Kabaena Kromit Prathama terlihat tak mentereng. Lokasinya berbaur dengan rumah lain di kompleks perumahan BTN Graha Asri, Kota Kendari, Sulawesi Tenggara. Hanya kucing dan rumput liar yang tampak dari depan rumah. Padahal PT Kabaena tercatat memiliki area izin usaha pertambangan (IUP) nikel seluas 102,6 hektare di Blok Mandiodo, Konawe Utara. “Rumah itu sudah kosong sekitar enam tahun,” kata salah seorang tetangga rumah, Pieter, kepada Tempo pada Rabu, 16 Agustus lalu.

 

Nama PT Kabaena mencuat setelah Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tenggara menetapkan sang direktur utama, Andi Adriansyah, menjadi tersangka korupsi tambang nikel pada pertengahan Juli lalu. Sesuai dengan rencana kerja dan anggaran biaya (RKAB), PT Kabaena tercatat memiliki kuota 1,5 juta metrik ton nikel untuk dijual. Tapi PT Kabaena dituduh menjual dokumen kuota nikel kepada perusahaan lain yang tak berizin agar hasil tambang bisa dijual secara legal ke smelter. Modus ini kerap disebut dokumen terbang atau "dokter".

 

Dalam perkara dokumen terbang ini, jaksa juga menjerat pemilik PT Lawu Agung Mining, Windu Aji Sutanto. Direktur Utama dan pelaksana lapangan PT Lawu Agung Mining, Ofan Sofwan dan Glen Sudarto, juga sudah menjadi tersangka. Mereka dituduh menggunakan dokumen terbang dari PT Kabaena untuk menjual nikel ilegal ke smelter di Morowali, Sulawesi Tengah. Totalnya ada tujuh tersangka yang terlibat dokumen terbang ini. “Kerugian negara mencapai Rp 5,7 triliun,” ucap Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Ketut Sumedana.

 

Belakangan, Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tenggara bersama Kejaksaan Agung menjerat lima tersangka lain dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Hasil penelusuran penyidik menyimpulkan RKAB PT Kabaena bermasalah. Meski memiliki konsesi seratusan hektare, tambang mereka ditengarai tak memiliki cadangan nikel sesuai dengan kuota. Untuk mendapatkan RKAB, perusahaan tambang harus menyertakan izin usaha pertambangan dan izin pinjam pakai kawasan hutan ke Kementerian ESDM.

 

Untuk penerbitan RKAB abal-abal itu, jaksa sudah menjerat empat pegawai Kementerian ESDM. Pada Rabu, 9 Agustus lalu, Kejaksaan Agung menahan mantan Direktur Jenderal Mineral dan Batubara, Ridwan Djamaluddin. “Ia membuat kebijakan yang diduga tak sesuai dengan aturan di Blok Mandiodo,” ujar Ketut Sumedana.

 

Ridwan ditengarai mendalangi pengesahan RKAB PT Kabaena. Saat masih menjabat pada 2022, Ridwan menerima permohonan RKAB dari PT Kabaena. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, perizinan tambang resmi beralih dari pemerintah daerah ke pusat. Ketentuan penerbitan RKAB diatur lewat Keputusan Menteri ESDM Nomor 1806K/30/MEM/2018 bertanggal 30 April 2018. Biasanya permohonan RKAB diajukan pada Oktober setiap tahun.

 

Sebagai pemohon RKAB, PT Kabaena seharusnya melampirkan hasil estimasi sumber daya dan cadangan. Masalahnya, sejak 2015, deposit nikel di lahan PT Kabaena sudah habis. Beberapa syarat lain juga belum dipenuhi. Artinya, PT Kabaena seharusnya tak menerima RKAB dari Kementerian. Pada proses itu, evaluator RKAB, Erik Victor Tambunan, mengetahui kekurangan persyaratan PT Kabaena. Erik melaporkan kabar ini kepada atasannya hingga mendarat di telinga Ridwan Djamaluddin. Erik turut menjadi tersangka dalam kasus ini.

 

Ridwan menggelar rapat terbatas pada 14 Desember 2021. Lewat rapat inilah Ridwan diduga memangkas persyaratan untuk PT Kabaena demi mendapatkan persetujuan RKAB. Ridwan disinyalir tidak mematuhi ketentuan dalam keputusan menteri ini. Akhirnya, PT Kabaena menerima kuota tambang bijih nikel 1,5 juta metrik ton pada 2022 di Blok Mandiodo. Dua tahun sebelumnya, PT Kabaena mendapat kuota masing-masing 1,5 juta ton pada 2021 dan 500 ribu ton pada 2020. “Ibarat masuk pegawai negeri, syarat tidak lengkap, tapi tetap diloloskan,” kata Asisten Intelijen Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tenggara Ade Hermawan.

 

Sehari sebelum Ridwan menerbitkan RKAB untuk PT Kabaena, konsorsium Kerja Sama Operasi Mandiodo-Tapunggaya-Tapuemea resmi dibentuk. Konsorsium ini dibentuk oleh perusahaan daerah, Perumda Utama Sultra, yang kemudian merangkai ketua konsorsium. Empat perusahaan menjadi anggota, yaitu PT Lawu Industri Perkasa, PT Lawu Agung Mining, PT Prima Utama Sultra, dan PT Bahtera Sultra Mining. Konsorsium ini yang kemudian bermitra dengan PT Aneka Tambang Tbk atau Antam untuk mengeruk nikel di wilayah pertambangan Mandiodo, Lasolo, dan Lalindu pada 22 Desember 2021.

 

Penyidik juga mengantongi informasi bahwa pengusaha asal Brebes, Jawa Tengah, Windu Aji Sutanto, membeli PT Lawu Agung Mining menjelang dibentuknya konsorsium. Jaksa menyebutkan Windu membelinya dari Glen Sudarto, yang semula menjadi pelaksana lapangan PT Lawu Agung. Windu pun menguasai PT Lawu Agung lewat PT Khara Nusa Investama.

 

Kuasa hukum Windu Aji Sutanto, Kevin Silaban, belum bersedia memberi penjelasan ihwal peran kliennya dalam kasus ini. Tim kuasa hukum Erik Victor Tambunan yang dipimpin Abdul Rahman juga belum bersedia memberi penjelasan mengenai peran kliennya. Tim hukum beralasan proses pemeriksaan masih berlangsung hingga pelimpahan ke jaksa penuntut umum.

 

Dokumen Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia menuliskan pemilik saham mayoritas PT Kabaena Kromit Prathama adalah Arinta Nila Hapsari, istri Panglima Komando Daerah Militer XIV/Hasanuddin periode 2020-2021, Andi Sumangerukka. Andi Sumangerukka tak merespons permintaan konfirmasi Tempo hingga Sabtu, 19 Agustus lalu.

 

Selain PT Kabaena, kejaksaan turut menjerat Agus Salim, kuasa direktur PT Cinta Jaya, dan Rudy Tjandra, Direktur Utama PT Tristaco Mineral Makmur. Mereka diduga terlibat jual-beli dokumen terbang. Berbeda dengan PT Kabaena, jaksa menyebutkan PT Cinta Jaya dan PT Tristaco Mineral Makmur memiliki deposit bijih nikel di wilayah IUP mereka. Dalam dokumen persetujuan RKAB yang terbit pada Februari 2023, PT Cinta Jaya mencantumkan perusahaan ini mendapatkan kuota nikel 2,4 juta metrik ton.

 

Sama seperti PT Lawu Agung Mining dan PT Kabaena, nama PT Cinta Jaya juga muncul dalam laporan investigasi majalah Tempo berjudul “Pencahar Nikel Ilegal” pada 22 Januari lalu. Laporan ini menyebutkan dokumen terbang dari PT Mandala Jayakarta turut meloloskan nikel ilegal. Pengapalan 10 ribu ton bijih nikel atas nama PT Mandala kemudian terekam dalam dokumen 31 Desember 2022 melalui dermaga atau jetty milik PT Cinta Jaya di Molawe, Sulawesi Tenggara.

 

Kawasan tambang PT Cinta Jaya berada di pesisir Molawe. Karena posisinya yang strategis, dermaga milik PT Cinta Jaya menjadi lokasi favorit pengapalan bijih nikel. Seorang pengusaha tambang mengatakan, akibat terjerat kasus hukum ini, jetty milik PT Cinta Jaya disebut berhenti beroperasi dan membuat pengapalan di Molawe terhenti. Aktivitas tambang di Blok Mandiodo bahkan berhenti sejak beberapa bulan lalu.

 

Kantor PT Cinta Jaya berlokasi di Jalan Timah V Nomor 9 Kota Makassar. Berdasarkan data terakhir perusahaan di dokumen Administrasi Hukum Umum (AHU), nama pegusaha asal Makassar Yunan Yunus Kadir menjabat sebagai direktur utama dan Adnan Yunus Kadir sebagai direktur. Agus Salim yang diciduk jaksa adalah orang kepercayaan Yunan yang ditugasi mengurus PT Cinta Jaya. Tempo mengirimkan surat permohonan wawancara ke kantor PT Cinta Jaya tapi tak kunjung direspons. Adnan Yunus juga enggan menanggapi kasus ini. "Saya bukan direktur," katanya.

 

 Tempo juga mendatangi PT Tristaco di Jalan Sao-Sao Nomor 81, Kota Kendari, pada Jumat, 18 Agustus lalu, tapi tak ada aktivitas apa pun di sana. Surat permohonan wawancara yang dikirimkan ke alamat PT Tristaco di Rukan Plaza 5, Gandaria Utara, Jakarta Selatan, juga belum direspons.

 

Dalam data terakhir di dokumen administrasi hukum umum, Tri Firdaus Akbarsyah yang juga Sekretaris Umum Ikatan Notaris Indonesia tercatat menjabat Komisaris Utama PT Tristaco. Sementara itu, Rudy Tjandra duduk di posisi direktur. Firdaus mengaku sudah lama melepaskan jabatannya di perusahaan tersebut, yakni sejak awal pandemi Covid-19. “Sudah lama saya tidak memantau perusahaan,” katanya.

 

Hingga Sabtu, 19 Agustus lalu, Tempo tak mendapatkan konfirmasi dari pihak Ridwan. Sejumlah narasumber dan kuasa hukum tersangka lain yang dihubungi mengaku tak mengetahui siapa pengacara Ridwan. Kepala Biro Komunikasi dan Informasi Publik dan Kerja Sama Kementerian ESDM Agung Pribadi mengatakan pihaknya akan terus memantau perkara ini. Ia menyebutkan beberapa tersangka dari Kementerian berasal dari satu tim yang sama. “Kami prihatin dengan apa yang terjadi,” katanya.

 

Sebelum menjabat Direktur Jenderal Mineral dan Batubara, Ridwan pernah bertugas sebagai Deputi Bidang Koordinasi Infrastruktur dan Transportasi selama 2015-2020 di Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi. Dalam periode tersebut, Ridwan juga terpilih menjadi Ketua Ikatan Alumni Institut Teknologi Bandung (IA-ITB) 2016-2020.

 

Dua tahun sebelum terpilih menjadi Ketua IA-ITB, Tempo menyaksikan Ridwan hadir di antara 511 alumnus Kampus Ganesha yang mendukung Presiden Joko Widodo dalam pemilihan presiden 2014. “Koalisi kami dengan rakyat,” ujar Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan saat itu, Pramono Anung, dalam deklarasi dukungan di Restoran Sari Kuring, Jakarta Selatan, 19 April 2014. Pramono yang sekarang menjabat Sekretaris Kabinet juga alumnus ITB tahun 1982, satu angkatan dengan Ridwan.

 

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arifin Tasrif melantik Ridwan menjadi Direktur Jenderal Mineral dan Batubara pada akhir 2020. Dua tahun kemudian, tepatnya pada Mei 2022, Ridwan juga dilantik menjadi penjabat Gubernur Bangka Belitung. Ia memegang jabatan itu sampai April 2023.

 

Asisten Bidang Intelijen Sulawesi Tenggara Ade Hermawan mengatakan pihaknya masih mencari hubungan pemilik PT Lawu Agung Mining, yang juga pernah menjadi relawan kampanye Jokowi pada 2014, Windu Aji Sutanto, dengan Ridwan. Ia mengakui peran Ridwan mulai terkuak lewat pengakuan para tersangka yang sudah ditahan, termasuk Windu Aji.

 

Jaksa juga sudah mengetahui aliran dana kepada pihak tertentu dalam proses pembuatan RKAB fiktif oleh Ridwan dan anak buahnya. Soal aliran uang itu terkait dengan suap, Ade menutup mulutnya dengan alasan informasi tersebut masuk materi penyidikan. “Motif sudah diketahui, tapi sedang didalami,” katanya.

 

Untuk menyelisik aliran dana, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) turun tangan memantau transaksi keuangan pihak yang terlibat. “Kami sudah berkoordinasi dengan Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tenggara terkait dengan kasus tersebut,” ucap Kepala PPATK Ivan Yustiavandana. ●

 

Sumber :    https://majalah.tempo.co/read/hukum/169548/ridwan-djamaluddin-nikel

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar