Ridwan Djamaluddin Nikel Fajar Pebrianto : Jurnalis Majalah Tempo |
MAJALAH TEMPO, 20
Agustus 2023
SEBAGAI perusahaan tambang
nikel, kantor PT Kabaena Kromit Prathama terlihat tak mentereng. Lokasinya
berbaur dengan rumah lain di kompleks perumahan BTN Graha Asri, Kota Kendari,
Sulawesi Tenggara. Hanya kucing dan rumput liar yang tampak dari depan rumah.
Padahal PT Kabaena tercatat memiliki area izin usaha pertambangan (IUP) nikel
seluas 102,6 hektare di Blok Mandiodo, Konawe Utara. “Rumah itu sudah kosong
sekitar enam tahun,” kata salah seorang tetangga rumah, Pieter, kepada Tempo
pada Rabu, 16 Agustus lalu. Nama PT Kabaena mencuat
setelah Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tenggara menetapkan sang direktur utama,
Andi Adriansyah, menjadi tersangka korupsi tambang nikel pada pertengahan
Juli lalu. Sesuai dengan rencana kerja dan anggaran biaya (RKAB), PT Kabaena
tercatat memiliki kuota 1,5 juta metrik ton nikel untuk dijual. Tapi PT
Kabaena dituduh menjual dokumen kuota nikel kepada perusahaan lain yang tak
berizin agar hasil tambang bisa dijual secara legal ke smelter. Modus ini
kerap disebut dokumen terbang atau "dokter". Dalam perkara dokumen
terbang ini, jaksa juga menjerat pemilik PT Lawu Agung Mining, Windu Aji
Sutanto. Direktur Utama dan pelaksana lapangan PT Lawu Agung Mining, Ofan
Sofwan dan Glen Sudarto, juga sudah menjadi tersangka. Mereka dituduh
menggunakan dokumen terbang dari PT Kabaena untuk menjual nikel ilegal ke
smelter di Morowali, Sulawesi Tengah. Totalnya ada tujuh tersangka yang
terlibat dokumen terbang ini. “Kerugian negara mencapai Rp 5,7 triliun,” ucap
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Ketut Sumedana. Belakangan, Kejaksaan
Tinggi Sulawesi Tenggara bersama Kejaksaan Agung menjerat lima tersangka lain
dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Hasil penelusuran
penyidik menyimpulkan RKAB PT Kabaena bermasalah. Meski memiliki konsesi
seratusan hektare, tambang mereka ditengarai tak memiliki cadangan nikel
sesuai dengan kuota. Untuk mendapatkan RKAB, perusahaan tambang harus
menyertakan izin usaha pertambangan dan izin pinjam pakai kawasan hutan ke
Kementerian ESDM. Untuk penerbitan RKAB
abal-abal itu, jaksa sudah menjerat empat pegawai Kementerian ESDM. Pada
Rabu, 9 Agustus lalu, Kejaksaan Agung menahan mantan Direktur Jenderal
Mineral dan Batubara, Ridwan Djamaluddin. “Ia membuat kebijakan yang diduga
tak sesuai dengan aturan di Blok Mandiodo,” ujar Ketut Sumedana. Ridwan ditengarai
mendalangi pengesahan RKAB PT Kabaena. Saat masih menjabat pada 2022, Ridwan
menerima permohonan RKAB dari PT Kabaena. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 3
Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, perizinan tambang resmi
beralih dari pemerintah daerah ke pusat. Ketentuan penerbitan RKAB diatur
lewat Keputusan Menteri ESDM Nomor 1806K/30/MEM/2018 bertanggal 30 April
2018. Biasanya permohonan RKAB diajukan pada Oktober setiap tahun. Sebagai pemohon RKAB, PT
Kabaena seharusnya melampirkan hasil estimasi sumber daya dan cadangan.
Masalahnya, sejak 2015, deposit nikel di lahan PT Kabaena sudah habis.
Beberapa syarat lain juga belum dipenuhi. Artinya, PT Kabaena seharusnya tak
menerima RKAB dari Kementerian. Pada proses itu, evaluator RKAB, Erik Victor
Tambunan, mengetahui kekurangan persyaratan PT Kabaena. Erik melaporkan kabar
ini kepada atasannya hingga mendarat di telinga Ridwan Djamaluddin. Erik
turut menjadi tersangka dalam kasus ini. Ridwan menggelar rapat
terbatas pada 14 Desember 2021. Lewat rapat inilah Ridwan diduga memangkas
persyaratan untuk PT Kabaena demi mendapatkan persetujuan RKAB. Ridwan
disinyalir tidak mematuhi ketentuan dalam keputusan menteri ini. Akhirnya, PT
Kabaena menerima kuota tambang bijih nikel 1,5 juta metrik ton pada 2022 di
Blok Mandiodo. Dua tahun sebelumnya, PT Kabaena mendapat kuota masing-masing
1,5 juta ton pada 2021 dan 500 ribu ton pada 2020. “Ibarat masuk pegawai
negeri, syarat tidak lengkap, tapi tetap diloloskan,” kata Asisten Intelijen
Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tenggara Ade Hermawan. Sehari sebelum Ridwan
menerbitkan RKAB untuk PT Kabaena, konsorsium Kerja Sama Operasi
Mandiodo-Tapunggaya-Tapuemea resmi dibentuk. Konsorsium ini dibentuk oleh
perusahaan daerah, Perumda Utama Sultra, yang kemudian merangkai ketua
konsorsium. Empat perusahaan menjadi anggota, yaitu PT Lawu Industri Perkasa,
PT Lawu Agung Mining, PT Prima Utama Sultra, dan PT Bahtera Sultra Mining.
Konsorsium ini yang kemudian bermitra dengan PT Aneka Tambang Tbk atau Antam
untuk mengeruk nikel di wilayah pertambangan Mandiodo, Lasolo, dan Lalindu
pada 22 Desember 2021. Penyidik juga mengantongi
informasi bahwa pengusaha asal Brebes, Jawa Tengah, Windu Aji Sutanto,
membeli PT Lawu Agung Mining menjelang dibentuknya konsorsium. Jaksa
menyebutkan Windu membelinya dari Glen Sudarto, yang semula menjadi pelaksana
lapangan PT Lawu Agung. Windu pun menguasai PT Lawu Agung lewat PT Khara Nusa
Investama. Kuasa hukum Windu Aji
Sutanto, Kevin Silaban, belum bersedia memberi penjelasan ihwal peran
kliennya dalam kasus ini. Tim kuasa hukum Erik Victor Tambunan yang dipimpin
Abdul Rahman juga belum bersedia memberi penjelasan mengenai peran kliennya.
Tim hukum beralasan proses pemeriksaan masih berlangsung hingga pelimpahan ke
jaksa penuntut umum. Dokumen Kementerian Hukum
dan Hak Asasi Manusia menuliskan pemilik saham mayoritas PT Kabaena Kromit
Prathama adalah Arinta Nila Hapsari, istri Panglima Komando Daerah Militer
XIV/Hasanuddin periode 2020-2021, Andi Sumangerukka. Andi Sumangerukka tak
merespons permintaan konfirmasi Tempo hingga Sabtu, 19 Agustus lalu. Selain PT Kabaena,
kejaksaan turut menjerat Agus Salim, kuasa direktur PT Cinta Jaya, dan Rudy
Tjandra, Direktur Utama PT Tristaco Mineral Makmur. Mereka diduga terlibat
jual-beli dokumen terbang. Berbeda dengan PT Kabaena, jaksa menyebutkan PT
Cinta Jaya dan PT Tristaco Mineral Makmur memiliki deposit bijih nikel di
wilayah IUP mereka. Dalam dokumen persetujuan RKAB yang terbit pada Februari
2023, PT Cinta Jaya mencantumkan perusahaan ini mendapatkan kuota nikel 2,4
juta metrik ton. Sama seperti PT Lawu Agung
Mining dan PT Kabaena, nama PT Cinta Jaya juga muncul dalam laporan
investigasi majalah Tempo berjudul “Pencahar Nikel Ilegal” pada 22 Januari
lalu. Laporan ini menyebutkan dokumen terbang dari PT Mandala Jayakarta turut
meloloskan nikel ilegal. Pengapalan 10 ribu ton bijih nikel atas nama PT
Mandala kemudian terekam dalam dokumen 31 Desember 2022 melalui dermaga atau
jetty milik PT Cinta Jaya di Molawe, Sulawesi Tenggara. Kawasan tambang PT Cinta
Jaya berada di pesisir Molawe. Karena posisinya yang strategis, dermaga milik
PT Cinta Jaya menjadi lokasi favorit pengapalan bijih nikel. Seorang
pengusaha tambang mengatakan, akibat terjerat kasus hukum ini, jetty milik PT
Cinta Jaya disebut berhenti beroperasi dan membuat pengapalan di Molawe
terhenti. Aktivitas tambang di Blok Mandiodo bahkan berhenti sejak beberapa
bulan lalu. Kantor PT Cinta Jaya
berlokasi di Jalan Timah V Nomor 9 Kota Makassar. Berdasarkan data terakhir
perusahaan di dokumen Administrasi Hukum Umum (AHU), nama pegusaha asal
Makassar Yunan Yunus Kadir menjabat sebagai direktur utama dan Adnan Yunus
Kadir sebagai direktur. Agus Salim yang diciduk jaksa adalah orang
kepercayaan Yunan yang ditugasi mengurus PT Cinta Jaya. Tempo mengirimkan surat
permohonan wawancara ke kantor PT Cinta Jaya tapi tak kunjung direspons.
Adnan Yunus juga enggan menanggapi kasus ini. "Saya bukan
direktur," katanya. Tempo juga mendatangi PT Tristaco di Jalan
Sao-Sao Nomor 81, Kota Kendari, pada Jumat, 18 Agustus lalu, tapi tak ada
aktivitas apa pun di sana. Surat permohonan wawancara yang dikirimkan ke
alamat PT Tristaco di Rukan Plaza 5, Gandaria Utara, Jakarta Selatan, juga
belum direspons. Dalam data terakhir di
dokumen administrasi hukum umum, Tri Firdaus Akbarsyah yang juga Sekretaris
Umum Ikatan Notaris Indonesia tercatat menjabat Komisaris Utama PT Tristaco.
Sementara itu, Rudy Tjandra duduk di posisi direktur. Firdaus mengaku sudah
lama melepaskan jabatannya di perusahaan tersebut, yakni sejak awal pandemi Covid-19.
“Sudah lama saya tidak memantau perusahaan,” katanya. Hingga Sabtu, 19 Agustus
lalu, Tempo tak mendapatkan konfirmasi dari pihak Ridwan. Sejumlah narasumber
dan kuasa hukum tersangka lain yang dihubungi mengaku tak mengetahui siapa
pengacara Ridwan. Kepala Biro Komunikasi dan Informasi Publik dan Kerja Sama
Kementerian ESDM Agung Pribadi mengatakan pihaknya akan terus memantau
perkara ini. Ia menyebutkan beberapa tersangka dari Kementerian berasal dari
satu tim yang sama. “Kami prihatin dengan apa yang terjadi,” katanya. Sebelum menjabat Direktur
Jenderal Mineral dan Batubara, Ridwan pernah bertugas sebagai Deputi Bidang
Koordinasi Infrastruktur dan Transportasi selama 2015-2020 di Kementerian
Koordinator Kemaritiman dan Investasi. Dalam periode tersebut, Ridwan juga
terpilih menjadi Ketua Ikatan Alumni Institut Teknologi Bandung (IA-ITB)
2016-2020. Dua tahun sebelum terpilih
menjadi Ketua IA-ITB, Tempo menyaksikan Ridwan hadir di antara 511 alumnus
Kampus Ganesha yang mendukung Presiden Joko Widodo dalam pemilihan presiden
2014. “Koalisi kami dengan rakyat,” ujar Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi
Indonesia Perjuangan saat itu, Pramono Anung, dalam deklarasi dukungan di
Restoran Sari Kuring, Jakarta Selatan, 19 April 2014. Pramono yang sekarang menjabat
Sekretaris Kabinet juga alumnus ITB tahun 1982, satu angkatan dengan Ridwan. Menteri Energi dan Sumber
Daya Mineral Arifin Tasrif melantik Ridwan menjadi Direktur Jenderal Mineral
dan Batubara pada akhir 2020. Dua tahun kemudian, tepatnya pada Mei 2022,
Ridwan juga dilantik menjadi penjabat Gubernur Bangka Belitung. Ia memegang
jabatan itu sampai April 2023. Asisten Bidang Intelijen
Sulawesi Tenggara Ade Hermawan mengatakan pihaknya masih mencari hubungan
pemilik PT Lawu Agung Mining, yang juga pernah menjadi relawan kampanye
Jokowi pada 2014, Windu Aji Sutanto, dengan Ridwan. Ia mengakui peran Ridwan
mulai terkuak lewat pengakuan para tersangka yang sudah ditahan, termasuk
Windu Aji. Jaksa juga sudah
mengetahui aliran dana kepada pihak tertentu dalam proses pembuatan RKAB
fiktif oleh Ridwan dan anak buahnya. Soal aliran uang itu terkait dengan
suap, Ade menutup mulutnya dengan alasan informasi tersebut masuk materi
penyidikan. “Motif sudah diketahui, tapi sedang didalami,” katanya. Untuk menyelisik aliran
dana, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) turun tangan
memantau transaksi keuangan pihak yang terlibat. “Kami sudah berkoordinasi
dengan Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tenggara terkait dengan kasus tersebut,”
ucap Kepala PPATK Ivan Yustiavandana. ● Sumber : https://majalah.tempo.co/read/hukum/169548/ridwan-djamaluddin-nikel |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar