Minggu, 13 Agustus 2023

 

Isu Normalisasi Arab Saudi-Israel ala Biden, Siapa Mendapat Apa?

Mahdi Muhammad, Kris Mada, Muhammad Samsul Hadi : Wartawan Kompas

KOMPAS, 10 Agustus 2023

 

 

                                                           

Amerika Serikat mengubah haluan, dari semula bersikap dingin menjadi bersikap lebih hangat dan bersahabat kepada Arab Saudi. Hal ini ditunjukkan langkah Washington mengirimkan pejabat tingginya ke Arab Saudi, dari Menteri Luar Negeri Antony Blinken hingga Penasihat Keamanan Nasional Jake Sullivan, dalam beberapa bulan terakhir.

 

Terakhir, Sullivan hadir dalam konferensi perdamaian Ukraina di Jeddah, akhir pekan lalu. Ini kunjungan ketiga Sullivan ke Arab Saudi dalam beberapa bulan terakhir. Sebelumnya, pada Juni 2023, Menlu Blinken juga berkunjung ke negara itu dan bertemu dengan Putra Mahkota Pangeran Mohammed bin Salman, penguasa de facto Kerajaan Arab Saudi.

 

Topik yang dibicarakan beberapa dalam lawatan itu beragam, mulai dari isu terorisme, konflik di Yaman yang mulai mereda, keamanan regional, hingga prospek normalisasi hubungan Arab Saudi-Israel.

 

“Tak diragukan lagi hubungan kedua negara menjadi lebih hangat dalam beberapa bulan terakhir. Dialog menjadi lebih intens dan topik (normalisasi hubungan Arab Saudi-Israel) ini jadi pendorongnya,” kata Ali Shihabi, analis yang dekat dengan pemerintah Arab Saudi, kepada kantor AFP, Rabu (9/8/2023).

 

Isu normalisasi hubungan Arab Saudi-Israel bergulir kencang setelah kolumnis media AS, The New York TImes, Thomas L Friedman, bertemu dengan Presiden AS Joe Biden, 17 Juli 2023, di Gedung Putih. Pascapertemuan itu, Friedman menulis dalam kolom edisi 27 Juli 2023 bahwa Biden sedang berupaya keras menjajaki kemungkinan pakta keamanan AS-Arab Saudi, dijalin satu paket dengan normalisasi hubungan Arab Saudi-Israel dengan syarat Israel memberi konsesi pada Palestina yang akan mempertahankan solusi dua negara.

 

Biden tak hanya mengutus Sullivan sendiri ke Jeddah. Sullivan ditemani oleh Brett McGurk, pejabat tinggi Gedung Putih lain yang khusus menangani kebijakan AS ke Timur Tengah. Friedman menulis dalam kolomnya bahwa kepergian dua pejabat itu ke Arab Saudi adalah untuk mengeksplorasi kemungkinan tercapainya pemahaman bersama mengenai AS-Israel-Arab Saudi-Palestina.

 

"Presiden (Biden) belum memutuskan, apakah akan melanjutkan (upaya itu), tetapi dia telah memberikan lampu hijau kepada timnya untuk menjajaki bersama Putra Mahkota Mohammed bin Salman di Arab Saudi soal kemungkinan mewujudkan jenis kesepakatan tersebut dan apa ongkos yang harus dikeluarkan," tulis Friedman pada 27 Juli lalu.

 

Bagi para presiden AS, dengan berbagai kepentingan yang ada di kantong Washington, perdamaian Arab-Israel merupakan salah satu impian yang selalu mereka ingin kejar dalam lebih dari setengah abad terakhir. Tiga presiden AS telah mencoba menyelesaikan konflik Arab-Israel: Jimmy Carter melalui perjanjian Camp David antara Mesir-Israel tahun 1978, Bill Clinton lewat perjanjian Oslo antara Organisasi Pembebasan Palestina (PLO)-Israel tahun 1993, dan Donald Trump dengan Abraham Accords antara Uni Emirat Arab dan Bahrain—disusul Maroko dan Sudan—dengan Israel tahun 2020.

 

"Pemulihan hubungan (dengan Arab Saudi) sedang berlangsung," kata Biden pada akhir Juli 2023, seperti dikutip Financial Times, Rabu (9/8/2023).

 

Dalam pernyataan, Senin (7/8/2023), Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mengindikasikan siap memberi konsesi apa pun, termasuk soal Palestina, demi mengejar normalisasi hubungan Arab Saudi-Israel. ”Jika ada kemauan politik, akan ada solusi politik untuk mencapai normalisasi dan perdamaian Arab Saudi-Israel. Ada ruang untuk membahas itu,” katanya.

Tuntutan Arab Saudi

 

Sejumlah media AS, seperti Bloomberg, The New York Times, dan The Wall Street Journal, melaporkan, Riyadh tidak hanya menetapkan syarat terkait Palestina. Arab Saudi juga menambahkan sejumlah syarat lain, yaitu dari akses teknologi nuklir AS, izin pembelian aneka persenjataan tercanggih AS, hingga teknologi mutakhir untuk Arab Saudi.

 

Riyadh juga ingin Washington memberi payung keamanan lebih besar bagi Arab Saudi jika ada negara mana pun yang menyerang Arab Saudi. Konsep itu seperti pakta keamanan AS dengan Jepang, Filipina, Australia, dan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO).

 

Dalam sejumlah kesempatan, Putra Mahkota Arab Saudi Pangeran Mohammed bin Salman (MBS) dan Menteri Luar Negeri Arab Saudi Faisal bin Farhan al-Saud berulang kali menyatakan kesiapan Riyadh menormalisasi hubungan dengan Israel, tetapi harus seiring penyelesaian isu Palestina.

 

Dalam laporan, 7 Agustus 2023, media Arab Saudi, Arab News, mengutip peneliti Chatham House, Yossi Mekelberg, yang menyebut posisi Riyadh soal isu itu tidak berubah dalam 21 tahun terakhir. Bagi Riyadh, normalisasi dengan Israel harus sesuai prinsip Inisiatif Damai Arab 2002. Inisiatif ini menawarkan pengakuan kedaulatan Israel oleh negara-negara Arab dengan syarat Israel harus mundur dari wilayah Palestina sesuai perbatasan tahun 1967.

 

Seorang pejabat AS kepada Financial Times mengungkapkan, dalam pertemuan dengan MBS, Blinken memperlihatkan sinyal bahwa Washington terbuka pada tuntutan Riyadh terkait nuklir dan perlindungan keamanan. Hanya, hal itu tidak akan mudah, mengingat Gedung Putih harus memperoleh lampu hijau dari Kongres.

Permintaan AS

 

Apa yang ingin diperoleh Washington dari upayanya menormalisasi hubungan Arab Saudi-Israel? Friedman menulis, beberapa hal yang diinginkan AS dari Arab Saudi adalah penghentian perang di Yaman, pemberian bantuan besar-besaran dari Arab Saudi kepada lembaga-lembaga Palestina di Tepi Barat, dan pembatasan secara signifikan hubungan Arab Saudi dengan China.

 

Dalam setahun terakhir, hubungan Riyadh-Beijing semakin erat dan hangat. Terlebih lagi, setelah China mendamaikan Arab Saudi dan Iran, rival abadinya. Tahun lalu, Riyadh juga menyatakan untuk mempertimbangkan menerima mata uang renminbi China--bukan dollar AS--sebagai alat tukar pembelian minyak Arab Saudi oleh China.

 

"(Jika terjadi), hal itu akan memberi dampak sangat negatif bagi dollar AS.. Itu harus dibatalkan. AS juga ingin, Arab Saudi membatasi perjanjian dengan perusahaan-perusahaan raksasa teknologi China, seperti Huawei, yang perlengkapan teknologi terakhirnya telah dilarang di AS," tulis Friedman.

 

Bagi AS dan Biden, keberhasilan mengantarkan normalisasi hubungan Arab Saudi-Israel bakal menjadi kesuksesan besar dalam kebijakan luar negerinya. Boleh jadi dan bisa diperdebatkan, kesuksesan itu melebihi capaian yang diraih dua presiden pendahulunya dari Partai Demokrat, Carter dan Clinton.

 

"Timur Tengah yang semakin menyatu dan berhubungan erat, yang semakin damai, sangat bagus bagi AS, yang ingin mengerahkan waktu, dana, dan upaya di tempat lain, khususnya dalam jangka panjang, untuk menangkal China serta dalam jangka pendek menangkis Rusia dan mendukung Ukraina," papar Jonathan Panikoff, Kepala Inisiatif Keamanan Timur Tengah Scowcroft pada lembaga think tank, Atlantic Council, kepada Financial Times.

 

Dalam jangka pendek dan bagi Biden pribadi, kesuksesan menormalisasi hubungan Arab Saudi-Israel juga penting untuk bersaing dalam pemilu presiden AS tahun 2024. Analis pada International Crisis Group, Anna Jacobs, mengatakan bahwa kondisi menjelang pemilu presiden tahun 2024 menjadi alasan--sekaligus bisa menjadi aral--hasrat Biden mendamaikan Arab Saudi-Israel.

 

”(Andai terwujud) perdamaian itu akan menjadi kemenangan politik dan diplomatik luar biasa bagi Biden,” kata Jacobs.

Hadiah besar bagi Israel

 

Bagi Israel, jika terwujud, normalisasi hubungan dengan Arab Saudi bakal menjadi hadiah dan kemenangan besar. Normalisasi hubungan Riyadh dan Tel Aviv akan menjadi pengubah permainan (game changer) di kawasan Timur Tengah. "(Dampaknya) lebih besar daripada perjanjian Camp David antara Mesir dan Israel," kata Friedman.

 

Hubungan resmi dengan Arab Saudi, negara penjaga dua kota suci (Mekkah dan Madinah), bakal memberi bonus besar bagi Israel. Pejabat Israel yakin betul, dengan pengaruh yang dimiliki Riyadh, jika berhasil menggandeng Arab Saudi dalam satu ikatan hubungan formal, niscaya negara-negara di kawasan akan berbondong-bondong pula menjalin hubungan dengan Israel.

 

Bahkan, Israel meyakini, jika Arab Saudi sudah menjalin hubungan resmi dengan mereka, tidak tertutup kemungkinan bahwa negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia seperti Indonesia atau Pakistan tidak akan sungkan lagi berhubungan resmi dengan Israel. Dengan kata lain, normalisasi hubungan dengan Arab Saudi bakal membuka akses dan sekat-sekat penyumbat antara Israel dan dunia Muslim.

 

Meski demikian, bagi Netanyahu, itu masih belum cukup. Mengutip empat sumber pejabat Israel dan AS, wartawan Israel Barak Ravid menulis di media Axios bahwa Netanyahu juga menginginkan adanya perjanjian keamanan dengan AS yang difokuskan untuk melumpuhkan Iran dalam satu paket kesepakatan normalisasi hubungan Arab Saudi-Israel. Perjanjian keamanan tersebut penting bagi Israel di tengah terus meningkatnya kemajuan program nuklir Iran.

Nasib Palestina

 

Lantas, bagaimana dengan posisi dan nasib Palestina, yang terlihat seperti dijadikan alat tawar-menawar (bargaining chip) dalam isu normalisasi hubungan Arab Saudi-Israel? Terkait hal itu, Menlu Palestina Riyad al-Maliki berharap Riyadh tetap pada posisinya untuk mendesakkan berdirinya negara Palestina merdeka sebagai prasyarat normalisasi hubungan dengan Israel.

 

"Saya berharap Saudi akan tetap pada posisi itu dan tidak menyerah pada tekanan, intimidasi apa pun, yang datang dari pemerintahan Biden atau kekuatan lain di luar itu," kata Maliki.

 

Peneliti pada Middle East Institute, Khaled Elgindy, menyebut bahwa Biden termasuk orang memandang Palestina bukan faktor utama dalam konflik Arab-Israel. Biden menilai akar konflik itu adalah karena Arab tak mau mengakui Israel.

 

”Jika pandangannya seperti itu, wajar fokusnya adalah normalisasi, bukan mencari solusi atas penderitaan Palestina. Jadi, normalisasi Israel dengan Arab Saudi atau negara Arab lain tidak ada hubungan dengan nasib Palestina. Normalisasi tidak akan mengubah fakta bahwa Israel terus menyengsarakan Palestina,” ujar Elgindy.

 

Tiga presiden AS (Jimmy Carter, Bill Clinton, dan Donald Trump) telah mencoba menyelesaikan konflik Arab-Israel. Tak satu pun memberi titik terang pada berdirinya Negara Palestina.

Mengapa sekarang?

 

Hubungan antara Arab Saudi dan AS sejatinya sudah mulai merenggang sejak Washington tidak berbuat banyak ketika dua fasilitas pengolahan minyak Arab Saudi di Abqaiq dan Khurais, yang terletak di wilayah timur negara itu, mendapat serangan kelompok Houthi di Yaman, September 2019. Para pengambil kebijakan di Riyadh kecewa terhadap sikap Washington yang dingin. Dalam pandangan Riyadh, mereka meragukan AS yang selama ini menjadi payung keamanan bagi negara tersebut.

 

Ketidakpuasan atas sikap para pengambil kebijakan di Gedung Putih, yang saat itu dipimpin Donald Trump, membuat Riyadh akhirnya mencari “rekan baru” untuk memberikan jaminan rasa aman. China dan Rusia menjadi alternatif setelah sikap AS di bawah Trump dinilai acuh tak acuh.

 

Kekecewaan itu juga muncul pada saat pemerintahan AS berganti dipimpin Biden. Biden sempat menegaskan akan membuat Arab Saudi menjadi "paria" saat jurnalis Arab Saudi di koran AS, The Washington Post, Jamal Khashoggi, dibunuh di Istanbul, Turki, oleh sekumpulan orang yang dikirim Riyadh pada tahun 2018.

 

Hubungan Washington-Riyadh semakin renggang saat permintaan Biden agar Arab Saudi menaikkan produksi minyak untuk menjaga kestabilan harga di tengah embargo minyak Rusia ditolak oleh MBS.

 

John Hannah, mantan Penasihat Keamanan Nasional AS era pemerintahan Presiden George W. Bush, mengatakan bahwa ketegangan ini mengakibatkan para pejabat senior di Arab Saudi juga akhirnya mengevaluasi kemitraan yang sudah berlangsung lama dengan AS.

 

Seorang pejabat Israel, seperti dikutip Financial Times, berspekulasi bahwa meningkatnya hubungan AS dengan Arab Saudi kemungkinan dipantik oleh kesuksesan China mendamaikan Arab Saudi dan Iran.

 

Upaya untuk mendekatkan kembali dengan dunia Arab, termasuk Arab Saudi, juga dilakukan oleh Departemen Luar Negeri AS dengan menyebut kekerasan terhadap warga Palestina akhir pekan lalu sebagai sebuah bentuk serangan teror. Sebuah cuitan dari akun resmi Departemen Luar Negeri AS, Sabtu (5/8/2023) malam, menyebut penembakan warga Palestina oleh pemukim Yahudi sebagai sebuah serangan teror.

 

"Kami mengecam keras serangan teror kemarin oleh pemukim ekstremis Israel yang menewaskan seorang warga Palestina berusia 19 tahun. AS menyampaikan simpati terdalam kami kepada keluarganya dan orang-orang terkasih,” cuit Deplu AS.

 

Juru bicara Deplu AS Matt Miller mengatakan, cuitan itu menggambarkan sikap dan pandangan AS bahwa kejadian Sabtu malam itu adalah sebuah bentuk serangan teror. "Itu adalah serangan teror. Kami prihatin tentang itu, dan itulah mengapa kami menyebutnya demikian,” ujarnya.

Catatan kritis

 

Marco Carnelos, mantan Duta Besar Italia untuk Irak, dalam kolomnya di laman Middle East Eye Monitor, menguraikan bahwa apa yang disampaikan oleh Friedman di New York Times tidak bisa diartikan akan ada konsesi perdamaian sejati, solusi dua negara, atau bahkan sebuah negara Palestina merdeka. Carnelos menggarisbawahi bahwa tulisan Friedman menegaskan bahwa konsesi yang diberikan adalah tetap menjaga wacana solusi dua negara ada. Bukan riil sebuah negara.

 

“Membuat konsesi untuk melestarikan kemungkinan solusi dua negara secara praktis berarti perpanjangan tak terbatas dari status quo yang telah ada selama beberapa dekade. Sementara, pencaplokan Tepi Barat lebih lanjut oleh para pemukim Yahudi dan dilindungi oleh tentara, akan terus berlanjut,” kata Carnelos.

 

Analis pada International Crisis Group, Anna Jacobs, mengatakan bahwa kondisi menjelang pemilu presiden tahun 2024 bisa menjadi aral hasrat Biden mendamaikan Arab Saudi-Israel. Syarat perdamaian itu juga sulit diterima sebagian pemilih di AS. Sebab, syarat itu dianggap memberi kenyamanan pada Arab Saudi di satu sisi dan mengurangi hak Israel di sisi lain.

 

Bukan hanya warga AS, menurut Jacobs, warga Arab Saudi pun sulit menerima perdamaian dengan Israel. Berbagai jajak pendapat menunjukkan, warga Arab Saudi tidak mau mengakui Israel. ”Jika menginginkan normalisasi dengan Israel, Arab Saudi harus meyakinkan dulu warganya. Arab Saudi harus jelas membuktikan manfaat normalisasi untuk Palestina,” ujarnya. (AFP)

 

Sumber :https://www.kompas.id/baca/internasional/2023/08/09/isu-normalisasi-arab-saudi-israel-ala-biden-siapa-mendapat-apa

Tidak ada komentar:

Posting Komentar