Cermin Politik Dinasti dalam Daftar Caleg Sementara Pemilu 2024 Andrian Pratama Taher : Jurnalis Tirto.id |
TIRTO.ID, 26 Agustus 2023
Komisi
Pemilihan Umum (KPU) RI resmi merilis daftar nama calon legislatif sementara
(DCS) pada Jumat, 18 Agustus 2023. Sekitar 9.919 nama bakal calon legislatif
memenuhi syarat untuk ikut dalam konstelasi Pemilu 2024. Dari
ribuan nama tersebut, sejumlah dinasti politik kembali muncul. Salah satunya,
lingkaran keluarga eks Gubernur Banten, Ratu Atut Chosiyah. Nama pertama
adalah Adde Rosi Khoerunissa, istri dari anak Ratu Atut yang juga mantan
Wakil Gubernur Banten, Andika Hazrumy. Adde maju lewat Partai Golkar dari
Dapil Banten I. Selain Adde, mantan Wali Kota Tangerang Selatan yang juga
istri dari Tubagus Chaeri Wardhana (adik Atut) Airin Rachmi Diani juga maju
di Banten III lewat Partai Golkar. Selain
keluarga Atut, lingkaran keluarga eks Ketua MPR, Amien Rais juga ikut
meramaikan Pemilu 2024. Berdasarkan data DCS, ada Hanum Rais yang tercatat
sebagai caleg DPR RI dari Dapil Daerah Istimewa Yogyakarta. Nama lainnya
adalah Ridho Rahmadi yang tercatat sebagai caleg dari Dapil DKI Jakarta 1.
Ridho adalah ketum Partai Ummat dan menantu Amien Rais. Kemudian
ada juga kakak-adik yang mencoba keberuntungan di Pemilu 2024. Misalnya, dua
anak mantan Bupati Probolinggo, Hasan Aminudin, yaitu Muhammad Ichsan Sani
Hasan Aminuddin dan Dini Rahmania Hasan Aminuddin. Dini maju sebagai caleg
DPR RI dari Dapil Jatim II, sementara Ikhsan maju sebagai caleg DPRD Jatim
III. Kedua anak Hasan maju lewat Partai Nasdem. Ada
juga pasangan suami istri yang tercatat maju pada Pileg 2024. Contohnya
adalah Sekjen Partai Gerindra, Ahmad Muzani dan istrinya, Himmatul Aliyah.
Muzani maju sebagai petahana di Dapil Lampung 1, sementara istrinya maju di
Dapil DKI II. Pasangan
suami istri lainnya adalah eks Gubernur Jawa Barat, Ahmad Heryawan dan Netty
Heryawan. Pria yang karib disapa Aher itu maju di Dapil Jabar II, sementara
Netty maju dari Dapil Jabar VIII. Keduanya maju dari PKS. Selain
itu, ada mantan Gubernur NTT, Viktor Laiskodat dan istrinya, Julie Sutrisno
Laiskodat. Viktor maju di dapil NTT II, sementara Julie maju di dapil NTT I.
Pasutri ini maju sama-sama lewat Partai Nasdem. Contoh
lainnya adalah keluarga Ketua Umum DPP Partai Perindo, Hary Tanoesoedibjo. Ia
bersama istri hingga anak-anaknya ikut maju Pileg 2024. Hary maju di Dapil
III Banten, sementara Liliana Tanoesoedibjo (istrinya) maju di Dapil Jakarta
II. Sedangkan lima anaknya maju di dapil yang berbeda. Angela yang juga
Wamenparekraf maju di Dapil Jawa Timur I, Valencia maju lewat Dapil Jakarta
III, Jessica maju lewat dapil NTT II, Clarissa maju lewat Jabar I, dan Warren
maju lewat Jawa Tengah I. Baca
juga: Konsekuensi Mario Dandy bila Tak Bisa
Bayar Restitusi bagi David Siasat Selebgram Memburu Cuan: Promosi Judi
Online Berakhir Bui Bukan
Berarti Dinasti Politik? Analis
politik dari Universitas Multimedia Nusantara (UMN) Silvanus Alvin
menekankan, tidak semua situasi ketika keluarga terlibat politik sebagai
dinasti politik. Ia mengingatkan, dinasti politik merujuk pada praktik
menyeleweng, di mana anggota dari keluarga yang sama atau dekat secara
berurutan atau bersama-sama memegang jabatan publik dalam waktu yang lama.
Jadi ada upaya untuk melanggengkan kekuasaan. “Namun,
di sisi lain kita harus menyadari semua orang punya hak berpolitik yang sama.
Praktik untuk mendapat jabatan politik itulah yang harus dijaga, jangan
menyeleweng. Misalnya dengan memanfaatkan kekuasaan politik untuk menggolkan
jabatan politik bagi keluarganya,” kata Alvin kepada reporter Tirto, Kamis
(24/8/2023). Alvin
tidak memungkiri bahwa dinasti politik kerap bermakna negatif. Pertama,
dinasti politik cenderung mengakibatkan monopoli politik dan mengabaikan
prinsip regenerasi politik kekuasaan, yang penting dalam demokrasi. Kedua,
dinasti politik menggerus meritokrasi dan berpotensi mengurangi kemampuan
masyarakat untuk memilih pemimpin yang paling mampu dan cakap. Ketiga,
dinasti politik dapat menciptakan ketidaksetaraan dalam akses dan peluang
politik bagi warga negara. Orang-orang di luar keluarga yang berkuasa mungkin
merasa terpinggirkan atau kurang memiliki peluang untuk berpartisipasi dalam
politik. Keempat,
kata Alvin, dinasti politik bisa memberikan kesempatan untuk korupsi dan
nepotisme, di mana anggota keluarga yang memegang jabatan dapat memanfaatkan
posisi mereka untuk keuntungan pribadi atau keluarga. Alvin
juga menjelaskan alasan partai masih menggunakan strategi dinasti politik.
Menurut dia, ada sejumlah faktor. Pertama, partai menggunakan kekuatan nama
dari keluarga politikus. Hal ini tidak lepas dari nama keluarga yang dikenal
publik atau memiliki jaringan kuat dalam politik. Hal itu membeirkan
keuntungan elektoral kepada calon dari keluarga tersebut. Kedua,
dinasti politik dapat membantu stabilitas internal partai dalam perolehan
suara partai. Selain itu, kata Alvin, dinasti politik akan memuluskan upaya
partai dalam melanjutkan kebijakan di masa depan. “Dinasti
politik bisa memuluskan kontinuitas kebijakan. Partai politik mungkin
berpendapat bahwa dengan mempertahankan anggota keluarga dalam jabatan,
mereka dapat menjaga kontinuitas kebijakan dan agenda partai dari satu
generasi ke generasi berikutnya,” kata Alvin. Dalam
kacamata Alvin, dinasti politik masih dibolehkan bila memberikan sepak
terjang dan bukti kerja nyata yang baik. Hal ini akan menjadi penilaian
positif. “Di
sisi lain, memang harus disadari adanya fakta bahwa politik itu walau hak
semua orang, tapi tidak semuanya bisa masuk dalam politik karena politik
membutuhkan sumber daya finansial dalam jumlah tertentu,” kata Alvin. Baca
juga: Mengikis Cebong vs Kampret Lewat Mimpi
Menyatukan Ganjar-Anies Ketika Petahana DPR Nyaleg dari Parpol
Lain pada Pemilu 2024 Mengapa
Muncul Politik Dinasti? Ahli
hukum kepemiluan dari Universitas Indonesia (UI) Titi Anggraeni menilai,
kerabat elite politik maju pemilu tidak melanggar aturan. Ia beralasan, semua
berhak untuk memperoleh kesempatan yang sama untuk dipilih dan memilih dalam
negara meski memicu politik dinasti. Titi
menambahkan, pejabat politik yang sedang berkuasa biasanya merangkap sebagai
elite pimpinan partai di suatu daerah kerap menempatkan kerabat atau keluarga
di partainya. Kerabat dan keluarga ini lantas menerima dampak dikenal secara
politik, apalagi selama ini popularitas punya kontribusi sangat besar dalam
memengaruhi keterpilihan calon di pemilu. “Pragmatisme
itu, lalu dimanfaatkan parpol untuk mengusung kerabat atau anggota dinasti
yang punya modal popularitas dengan tujuan agar punya peluang memenangi
pemilu secara lebih besar. Tambah lagi, sebagian besar keluarga dinasti ini
biasanya juga punya modal kuat dan peran dominan dalam membiayai partai,”
kata Titi kepada reporter Tirto. Titi
mengatakan, di beberapa kasus calon dari keluarga dinasti bahkan sama sekali
tidak punya pengalaman kaderisasi politik di partai. “Tapi karena nama besar
keluarga, maka bisa dengan mudah mendapat tiket pencalonan,” tutur Titi. Titi
juga mengatakan, alasan lain mengapa publik masih memilih politisi yang
bagian dinasti dalam pemilu atau pilkada, karena publik minim atau sangat
kurang informasi soal calon-calon yang berkompetisi. Momen itu membuat
keputusan secara pragmatis saja, memilih figur yang mereka kenal. “Dan
kebanyakan politisi dinasti memiliki popularitas lebih unggul karena akses
mereka pada anggota keluarga yang sedang menjabat melalui keterlibatan mereka
dalam aktivitas politiki si pejabat,” tutur Titi. Titi
menilai, ada beberapa regulasi yang bisa didoronng untuk meminimalisasi
menguatnya politik kekerabatan yang mengabaikan kaderisasi dan rekrutmen
politik yang demokratis. Salah satunya adalah dengan menerapkan syarat
sebagai kader selama minimal tiga tahun untuk calon yang diusung oleh partai.
Persyaratan ini juga harus disertai pemenuhan bukti keikutsertaan si calon
dalam program kaderisasi parpol. Sementara jalur perseorangan harus
sepenuhnya diisi calon-calon nonparpol. Catatan
lainnya, kata Titi, adalah penegakan hukum atas praktik mahar politik dan
jual beli suara harus diatur dengan tegas dan memberi efek jera. Ia menilai,
calon dari dinasti ini juga sering tak lepas dari rumor miring adanya praktik
transaksional dalam pencalonan. “Pencalonan
dinasti juga kerap kali berkelindan dengan isu politisasi ASN dan
penyalahgunaan fasilitas jabatan. Oleh karena itu, UU Pemilu juga harus
memastikan pengawasan dan penegakan hukum yang lebih baik atas dua hal ini.
Agar keluarga dinasti yang maju pemilu tidak bisa mempolitisasi birokrasi
ataupun memanfaatkan fasilitas jabatan dari kerabatnya yang sedang berkuasa,”
kata Titi.● |
Sumber
:https://tirto.id/cermin-politik-dinasti-dalam-daftar-caleg-sementara-pemilu-2024-gPni
Tidak ada komentar:
Posting Komentar