Soal Utang yang Selalu Berulang Agus Herta Sumarto :Dosen FEB UMB dan Ekonom
INDEF |
KOMPAS, 10 Agustus 2023
Perdebatan yang tak kunjung habis
mengenai batas aman utang pemerintah ini dapat dipahami mengingat isu ini
sangat krusial. Isu batas aman utang pemerintah tak hanya berkaitan dengan
keamanan dan ketahanan ekonomi negara, tetapi berkaitan juga dengan penegakan
undang-undang. Oleh karena itu, isu batas aman utang
pemerintah ini seakan menjadi isu abadi yang akan terus berulang dan memanas,
terutama ketika mendekati momen-momen politik seperti sekarang ini. Pembahasan isu batas aman utang
pemerintah sejatinya telah diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun
2003 tentang Keuangan Negara. Namun, penjelasan mengenai utang dalam UU ini
masih bersifat umum, belum detail dan rinci, sehingga masih membuka ruang
perdebatan, terutama terkait definisi, konsep penghitungan, dan batas aman
utang pemerintah. Konsep utang dalam UU ini masih
diartikan sebagai segala bentuk kewajiban yang harus dipenuhi pemerintah
dalam periode waktu tertentu. Dalam konteks ini, utang pemerintah
adalah semua kewajiban yang berkaitan secara langsung dengan keuangan negara
yang manfaat dan risikonya ditanggung semuanya oleh pemerintah. Jika merujuk
pada konsep ini, maka hingga akhir Juni 2023, posisi utang Pemerintah
Indonesia mencapai Rp 7.805,19 triliun. Dengan jumlah tersebut, rasio utang
pemerintah terhadap produk domestik bruto (PDB) mencapai 37,93 persen, masih
jauh dari batas zona bahaya yang disepakati dan ditetapkan sebesar 60 persen
PDB. Utang BUMN Ketika UU No 17/2003 ini disusun,
konsep utang mungkin belum begitu rumit dan kompleks seperti sekarang. Namun,
seiring perkembangan sistem ekonomi dan keuangan, definisi utang yang ada di
dalam UU ini sepertinya terlihat uzur dan tak mampu mengakomodasi berbagai
risiko bisnis, ekonomi, dan keuangan yang ada saat ini. Setelah mencuatnya beberapa kasus
gagal bayar utang yang dialami beberapa badan usaha milik negara (BUMN),
konsep utang pemerintah kembali menjadi polemik. Gagal bayar yang dialami PT
Asuransi Jiwasraya (Persero) berujung pada penambahan penyertaan modal negara
(PMN) untuk menutupi kewajiban kepada para nasabahnya. Penambahan PMN ini
menambah beban APBN dan mempersempit ruang fiskal sehingga meningkatkan
risiko keuangan negara. Walaupun pemerintah tidak menikmati
secara langsung manfaat dari ”kewajiban” yang dimiliki BUMN itu, pemerintah
tetap harus menjadi penerima risiko terakhir sebagai pemilik mayoritas modal
BUMN ketika usaha BUMN tidak mampu menutupi semua kewajibannya. Dengan kata
lain, utang yang selama ini dimiliki BUMN secara tak langsung menjadi
tanggungan pemerintah sebagai pemilik modal mayoritas. Kasus salah satu BUMN perasuransian
itu menjadi cerminan untuk semua BUMN. Utang BUMN yang secara akuntansi
tercatat sebagai kewajiban yang harus ditanggung korporasi pada waktu yang
sama menjadi risiko dan tanggungan pemerintah manakala BUMN tersebut
mengalami gagal bayar. Oleh karena itu, bisa dipahami jika
sebagian pihak mendesak supaya utang BUMN dimasukkan ke dalam struktur utang
pemerintah, termasuk dana pihak ketiga (DPK) yang dimiliki bank-bank BUMN. Jika utang BUMN dimasukkan ke dalam
utang pemerintah, jumlah utang pemerintah akan naik dua kali lipat dari
jumlah saat ini, yaitu menjadi sekitar Rp 14.000 triliun atau sekitar 80
persen PDB, yang berarti sudah berada dalam lingkaran zona bahaya. Aset tertimbang menurut risiko Memasukkan utang BUMN ke dalam
struktur utang pemerintah akan menimbulkan efek yang luar biasa besar, mulai
dari efek terhadap stabilitas perekonomian nasional sampai stabilitas
politik. Namun, tak memasukkan utang BUMN ke dalam struktur utang pemerintah
juga bukan langkah bijak. Memisahkan utang BUMN dari komponen
utang pemerintah bisa melenakan pemerintah dari risiko riil yang dihadapi.
Pemerintah tak bisa mempersiapkan langkah-langkah darurat jika risiko gagal
bayar terjadi. Kondisi ini tentunya sangat berbahaya dan tidak diharapkan
pemerintah dan semua pelaku ekonomi di Indonesia. Oleh karena itu, diperlukan jalan
tengah yang dapat menjembatani kedua kutub yang saling bertolak belakang ini. Kita tak bisa serta-merta memasukkan
utang BUMN ke dalam struktur utang pemerintah di APBN, tetapi kita juga tidak
bisa menegasikan risiko gagal bayar yang dimiliki BUMN sebagai perusahaan
milik pemerintah. Struktur APBN yang disusun pemerintah harus kuat, prudent,
dan tidak boleh lagi ”berdarah-darah” yang disebabkan oleh gagal bayar BUMN. Struktur APBN harus adaptif sehingga
mampu menyesuaikan diri dengan segala situasi, termasuk situasi terburuk
akibat kegagalan BUMN dalam memenuhi semua kewajibannya. Sebagai alternatif
yang bisa dijadikan jalan tengah untuk menjembatani kedua kutub tadi adalah
penghitungan aset yang ”ditimbang” berdasarkan risiko yang dihadapi. Dengan konsep ini, pemerintah
memiliki gambaran utuh terkait risiko yang berpotensi mengganggu stabilitas
APBN walaupun risiko keuangan tersebut tidak masuk ke dalam struktur utang
pemerintah. Pemerintah bisa mengalkulasi berapa besar aset berisiko yang
dimiliki sehingga bisa menyusun kebijakan klausul pelarian (escape clause) di
dalam APBN. Konsep ini bukanlah konsep baru.
Bahkan konsep ini sudah menjadi standar baku untuk semua perusahaan yang
berbasis keuangan, termasuk perusahaan-perusahaan BUMN. Dengan adanya
penghitungan aset tertimbang berdasarkan risiko, pemerintah bisa menghitung
berapa besar risiko yang dihadapi dan perlakuan risiko apa yang akan diambil
untuk menghadapi potensi risiko tersebut. Penghitungan ini tak akan
meningkatkan besaran utang pemerintah sehingga tak akan mengganggu stabilitas
ekonomi dan politik nasional. Namun, di sisi lain, penghitungan ini bisa
memberikan kehati-hatian kepada pemerintah untuk mengantisipasi semua
kemungkinan terburuk jika gagal bayar kembali terjadi pada BUMN..● |
Sumber
:https://www.kompas.id/baca/opini/2023/08/09/soal-utang-yang-selalu-berulang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar