Minggu, 13 Agustus 2023

 

Soal Utang yang Selalu Berulang

Agus Herta Sumarto :Dosen FEB UMB dan Ekonom INDEF

KOMPAS, 10 Agustus 2023

 

 

                                                           

Perdebatan yang tak kunjung habis mengenai batas aman utang pemerintah ini dapat dipahami mengingat isu ini sangat krusial. Isu batas aman utang pemerintah tak hanya berkaitan dengan keamanan dan ketahanan ekonomi negara, tetapi berkaitan juga dengan penegakan undang-undang.

 

Oleh karena itu, isu batas aman utang pemerintah ini seakan menjadi isu abadi yang akan terus berulang dan memanas, terutama ketika mendekati momen-momen politik seperti sekarang ini.

 

Pembahasan isu batas aman utang pemerintah sejatinya telah diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Namun, penjelasan mengenai utang dalam UU ini masih bersifat umum, belum detail dan rinci, sehingga masih membuka ruang perdebatan, terutama terkait definisi, konsep penghitungan, dan batas aman utang pemerintah.

 

Konsep utang dalam UU ini masih diartikan sebagai segala bentuk kewajiban yang harus dipenuhi pemerintah dalam periode waktu tertentu.

 

Dalam konteks ini, utang pemerintah adalah semua kewajiban yang berkaitan secara langsung dengan keuangan negara yang manfaat dan risikonya ditanggung semuanya oleh pemerintah. Jika merujuk pada konsep ini, maka hingga akhir Juni 2023, posisi utang Pemerintah Indonesia mencapai Rp 7.805,19 triliun.

 

Dengan jumlah tersebut, rasio utang pemerintah terhadap produk domestik bruto (PDB) mencapai 37,93 persen, masih jauh dari batas zona bahaya yang disepakati dan ditetapkan sebesar 60 persen PDB.

Utang BUMN

 

Ketika UU No 17/2003 ini disusun, konsep utang mungkin belum begitu rumit dan kompleks seperti sekarang. Namun, seiring perkembangan sistem ekonomi dan keuangan, definisi utang yang ada di dalam UU ini sepertinya terlihat uzur dan tak mampu mengakomodasi berbagai risiko bisnis, ekonomi, dan keuangan yang ada saat ini.

 

Setelah mencuatnya beberapa kasus gagal bayar utang yang dialami beberapa badan usaha milik negara (BUMN), konsep utang pemerintah kembali menjadi polemik. Gagal bayar yang dialami PT Asuransi Jiwasraya (Persero) berujung pada penambahan penyertaan modal negara (PMN) untuk menutupi kewajiban kepada para nasabahnya. Penambahan PMN ini menambah beban APBN dan mempersempit ruang fiskal sehingga meningkatkan risiko keuangan negara.

 

Walaupun pemerintah tidak menikmati secara langsung manfaat dari ”kewajiban” yang dimiliki BUMN itu, pemerintah tetap harus menjadi penerima risiko terakhir sebagai pemilik mayoritas modal BUMN ketika usaha BUMN tidak mampu menutupi semua kewajibannya. Dengan kata lain, utang yang selama ini dimiliki BUMN secara tak langsung menjadi tanggungan pemerintah sebagai pemilik modal mayoritas.

 

Kasus salah satu BUMN perasuransian itu menjadi cerminan untuk semua BUMN. Utang BUMN yang secara akuntansi tercatat sebagai kewajiban yang harus ditanggung korporasi pada waktu yang sama menjadi risiko dan tanggungan pemerintah manakala BUMN tersebut mengalami gagal bayar.

 

Oleh karena itu, bisa dipahami jika sebagian pihak mendesak supaya utang BUMN dimasukkan ke dalam struktur utang pemerintah, termasuk dana pihak ketiga (DPK) yang dimiliki bank-bank BUMN.

 

Jika utang BUMN dimasukkan ke dalam utang pemerintah, jumlah utang pemerintah akan naik dua kali lipat dari jumlah saat ini, yaitu menjadi sekitar Rp 14.000 triliun atau sekitar 80 persen PDB, yang berarti sudah berada dalam lingkaran zona bahaya.

Aset tertimbang menurut risiko

 

Memasukkan utang BUMN ke dalam struktur utang pemerintah akan menimbulkan efek yang luar biasa besar, mulai dari efek terhadap stabilitas perekonomian nasional sampai stabilitas politik. Namun, tak memasukkan utang BUMN ke dalam struktur utang pemerintah juga bukan langkah bijak.

 

Memisahkan utang BUMN dari komponen utang pemerintah bisa melenakan pemerintah dari risiko riil yang dihadapi. Pemerintah tak bisa mempersiapkan langkah-langkah darurat jika risiko gagal bayar terjadi. Kondisi ini tentunya sangat berbahaya dan tidak diharapkan pemerintah dan semua pelaku ekonomi di Indonesia.

 

Oleh karena itu, diperlukan jalan tengah yang dapat menjembatani kedua kutub yang saling bertolak belakang ini.

 

Kita tak bisa serta-merta memasukkan utang BUMN ke dalam struktur utang pemerintah di APBN, tetapi kita juga tidak bisa menegasikan risiko gagal bayar yang dimiliki BUMN sebagai perusahaan milik pemerintah. Struktur APBN yang disusun pemerintah harus kuat, prudent, dan tidak boleh lagi ”berdarah-darah” yang disebabkan oleh gagal bayar BUMN.

 

Struktur APBN harus adaptif sehingga mampu menyesuaikan diri dengan segala situasi, termasuk situasi terburuk akibat kegagalan BUMN dalam memenuhi semua kewajibannya. Sebagai alternatif yang bisa dijadikan jalan tengah untuk menjembatani kedua kutub tadi adalah penghitungan aset yang ”ditimbang” berdasarkan risiko yang dihadapi.

 

Dengan konsep ini, pemerintah memiliki gambaran utuh terkait risiko yang berpotensi mengganggu stabilitas APBN walaupun risiko keuangan tersebut tidak masuk ke dalam struktur utang pemerintah. Pemerintah bisa mengalkulasi berapa besar aset berisiko yang dimiliki sehingga bisa menyusun kebijakan klausul pelarian (escape clause) di dalam APBN.

 

Konsep ini bukanlah konsep baru. Bahkan konsep ini sudah menjadi standar baku untuk semua perusahaan yang berbasis keuangan, termasuk perusahaan-perusahaan BUMN. Dengan adanya penghitungan aset tertimbang berdasarkan risiko, pemerintah bisa menghitung berapa besar risiko yang dihadapi dan perlakuan risiko apa yang akan diambil untuk menghadapi potensi risiko tersebut.

 

Penghitungan ini tak akan meningkatkan besaran utang pemerintah sehingga tak akan mengganggu stabilitas ekonomi dan politik nasional. Namun, di sisi lain, penghitungan ini bisa memberikan kehati-hatian kepada pemerintah untuk mengantisipasi semua kemungkinan terburuk jika gagal bayar kembali terjadi pada BUMN..

 

Sumber :https://www.kompas.id/baca/opini/2023/08/09/soal-utang-yang-selalu-berulang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar