Marthen Indey dan
Keluarganya (Kisah Marthen Indey yang Pernah Jadi Mata-mata Belanda) Aisha Shaidra : Jurnalis Majalah Tempo |
MAJALAH TEMPO, 13
Agustus 2023
THAHA Alhamid masih ingat
pertemuannya dengan Marthen Indey pada akhir 1970-an saat menjadi mahasiswa
semester III Fakultas Hukum Universitas Cenderawasih, Jayapura. Thaha bersama
delapan kawannya menempuh perjalanan sekitar 30 kilometer dari Kecamatan
Muara Tami, Kota Jayapura, ke Distrik Sentani Barat, tempat Marthen tinggal.
“Saat itu beliau sudah sepuh dan sering sakit-sakitan,” kata Thaha, yang kini
berusia 64 tahun, saat ditemui Tempo di rumahnya di Desa Entrop, Kelurahan
Jayapura Selatan, Juli lalu. Para mahasiswa itu menemui
Marthen untuk menggali kisahnya saat berjuang melawan Belanda. Menurut Thaha,
para mahasiswa merasa perlu bertemu langsung dengan Marthen ketimbang membaca
atau mendengar kisahnya dari orang lain. Meski sedang sakit, Marthen saat itu
terlihat senang dikunjungi mahasiswa. Bahkan Marthen meminta mereka datang
lagi. Walhasil, Thaha dan kawan-kawannya berkunjung hingga tiga kali, yaitu
pada 1979, 1980, dan 1981 atau lima tahun sebelum Marthen wafat pada 1986.
“Dia mau bercerita apa adanya, tak menganggap kami anak kecil.” Thaha saat itu tercatat
sebagai aktivis Himpunan Mahasiswa Islam di Universitas Cenderawasih. Ia
penasaran seperti apa kisah Papua sampai mau menjadi bagian dari Indonesia.
Dari cerita Marthen, Thaha mendapat gambaran tentang kiprah pemuda Papua yang
ikut mendorong integrasi dengan Indonesia. Kepada Thaha, Marthen menyebutkan
alasan Papua harus bergabung dengan Indonesia. “Mereka percaya Papua bisa
mulai merdeka melalui Indonesia,” ucap Thaha. Di era Thaha, Marthen
Indey sudah menjadi sosok kontroversial. Bagi mereka yang ingin Papua merdeka
penuh, Marthen adalah tokoh antagonis. Sebaliknya, mereka yang menganggap
Papua harus menjadi bagian Indonesia melihat Marthen bak seorang bahadur yang
suaranya layak didengar dan pengalamannya bisa menjadi pelajaran. Kisah Marthen memang cukup
berwarna. Dia bekerja sebagai polisi Hindia Belanda pada 1934 dan pernah
menjadi jasus atau opsir yang mahir dalam spionase. Marthen yang kemudian
terlibat gerakan melawan Belanda diangkat sebagai anggota Komite Indonesia
Merdeka pada 1946. Di bidang politik, dia menjadi delegasi Indonesia dalam
perundingan di New York, Amerika Serikat, pada 1962 dan menjadi anggota
Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) pada 1963-1968. Ia mewakili
Papua yang saat itu bernama Irian Jaya. Marthen memperistri
perempuan asal Maluku bernama Agustina Heumassey yang sempat melahirkan
seorang anak yang wafat sebelum punya nama. Dia yang tak lagi dikaruniai buah
hati kemudian mengadopsi banyak anak angkat. Satu di antaranya tercatat
sebagai pemilik hak waris, yakni Nikodemus Risakotta. Nikodemus menjelaskan,
Marthen tak lama menjadi anggota MPRS dan pulang dari Jakarta ke Papua. Dia
menarik diri dari dunia politik karena lelah dan marah. Salah satunya karena
Marthen menilai pemerintah abai mengurus Papua dan banyak hal yang dicaplok
oleh segelintir elite. Sejauh ingatan Nikodemus,
menjelang akhir hayatnya, Marthen masih suka menerima tamu dan menasihati
sejumlah tokoh dan calon gubernur. Ada banyak tamu yang datang ke rumah
Marthen di Sentani. “Mereka datang membawa beras dan ikan. Pejabat semua itu.
Banyak yang berhasil,” ujarnya pada pertengahan Juli lalu. Tapi berbeda dengan
sikapnya yang terbuka kepada mahasiswa dan para tokoh, Marthen Indey tak
terlalu banyak bercerita ihwal pekerjaaannya kepada keluarga. Menurut
Nikodemus, Marthen lebih suka mengajari anak-anak angkatnya cara bertani.
“Tidak pernah banyak cerita, hanya sebatas nasihat,” katanya. ● Sumber : https://majalah.tempo.co/read/laporan-khusus/169435/marthen-indey-dan-keluarganya |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar