Minggu, 13 Agustus 2023

 

Mengelola Rezeki ”Export Boom”

Boediono :Wakil Presiden Ke-11 RI

KOMPAS, 12 Agustus 2023

 

 

                                                           

Saya berpendapat, salah satu kewajiban seseorang yang sudah purnatugas adalah menceritakan apa yang ia lihat dan alami pada masanya kepada mereka yang bertugas pada masa sesudahnya.

 

Semacam estafet informasi antargenerasi. Di sini saya ingin mengisahkan bagaimana negara kita mengelola rezeki dari minyak (oil boom) yang terjadi sekitar delapan tahun mulai semester II-1973. Saya merasa ada manfaatnya mendongengkan penggal sejarah ini karena saat ini kemungkinan Indonesia mendapatkan berkah serupa. Harga komoditas ekspor utama kita (nikel, tembaga, bauksit, batubara, minyak sawit) menguat.

 

Sampai kapan ini berlangsung, kita tak tahu. Tapi, seperti boom-boom sebelumnya, ia pasti akan berakhir dan bahkan bisa berbalik arah. Jadi, selagi boom berlangsung, perlu dimanfaatkan secara optimal. Jangan dibiarkan menguap tanpa bekas. Perlu bersiap diri bila boom berakhir atau berbalik arah.

 

Pada tahun 1990-an Bank Dunia membuat studi membandingkan pengalaman Indonesia dengan negara-negara berkembang pengekspor minyak lain, seperti Nigeria, Venezuela, dan Meksiko. Kesimpulannya, Indonesia memanfaatkan rezeki minyak lebih baik daripada negara-negara tersebut.

 

Saya tak akan mengulang isi studi tersebut di sini. Saya ingin menyampaikan pengamatan saya mengenai kebijakan yang kita ambil waktu itu dan mengapa kita dianggap berhasil.

 

Kunci keberhasilan

 

Menurut pengamatan saya, kunci keberhasilannya terletak pada kemampuan kita dalam mengelola dua hal: (a) bagaimana kita berhasil mendapatkan bagian maksimal dari rezeki boom dan (b) bagaimana kita mengamankan dan menggunakan secara efektif dana itu melalui proses APBN dan Repelita untuk mencapai sasaran pembangunan nasional.

 

Pertama, mengenai memaksimalkan bagian negara dari rezeki minyak. Pada waktu itu kita sedikit beruntung karena kita harus berurusan dengan perusahaan-perusahaan minyak kelas dunia yang bereputasi.

 

Isi kontrak kerja kita dengan mereka cukup sederhana, termasuk rumus pembagian hasil dan kewajiban. Underinvoicing ekspor kecil kemungkinan terjadi karena verifikasi mudah dilakukan, baik dari segi harga maupun volume. Harga internasional minyak bisa dicek setiap saat dan ekspor minyak dilaksanakan melalui pelabuhan-pelabuhan tertentu.

 

Seluruh dana yang menjadi hak pemerintah langsung masuk APBN sebagai penerimaan negara. Sedikit catatan, kebocoran pernah terjadi pada awal periode boom ketika Pertamina sebagai pihak yang paling ujung dalam proses penerimaan dana minyak ditemukan menggunakan dana itu secara tidak semestinya.

 

Meskipun Pertamina BUMN yang mengelola sektor minyak, mereka tak berhak menentukan penggunaan dana itu. Tugasnya menyetor dana itu ke APBN. Pemerintah mengambil langkah cepat menutup kebocoran ini.

 

Selanjutnya dana itu dialokasikan ke berbagai kegiatan melalui APBN. Ada usulan proyek atau kegiatan, ada proses evaluasi mendalam oleh Kementerian Keuangan dan Bappenas.

 

Bagaimana menentukan kegiatan-kegiatan mana yang diloloskan? Di sinilah peran kunci dokumen Repelita dan Bappenas sebagai pengaman penggunaan dana itu agar tunduk pada prioritas yang diamanatkan di dalamnya. Usulan yang menyimpang dari prioritas di Repelita langsung dicoret sejak awal.

 

Masa boom minyak mencakup akhir Repelita I, Repelita II, dan awal Repelita III. Pada masa itu tema pembangunan yang menonjol adalah pembangunan pertanian, terutama program swasembada pangan, pengurangan kemiskinan, pemerataan pendidikan dan layanan kesehatan serta industri untuk mendukung pembangunan pertanian dan pemenuhan kebutuhan dasar manusia. Hasilnya tidak kurang dari luar biasa.

 

Berikut ini beberapa angkanya. Penerimaan migas melonjak dari 1,609 juta ton (1973) menjadi 14,390 juta ton (1981). Produksi beras meningkat dari 19,3 juta ton (1970) menjadi 32,7 juta ton (1981).

 

Penduduk miskin perkotaan di Jawa turun dari 41,7 persen (1970) menjadi 13,1 persen (1981), dan untuk perdesaan turun dari 43,7 persen menjadi 21,3 persen. Untuk luar Jawa, penduduk miskin perkotaan turun dari 39,4 persen menjadi 17,7 persen, dan penduduk miskin perdesaan turun dari 29,3 persen menjadi 23,9 persen.

 

Penduduk tak sekolah turun dari 45,2 persen (1971) menjadi 31,9 persen (1980). Kematian anak per 1.000 kelahiran turun dari 132 (1971) menjadi 71 (1985). Produksi tekstil meningkat dari 450 juta meter (1971) menjadi 2.402 juta meter (1984). Produksi pupuk meningkat dari 85.000 ton (1969) menjadi 4,427 juta ton (1984).

 

Maka, bisa dimengerti bila Indonesia dianggap berhasil memanfaatkan rezeki minyak.

 

Sekarang mari kita garis bawahi dan pertajam prinsip-prinsip yang melandasi keberhasilan kebijakan itu. Kali ini uraiannya terpaksa sedikit lebih teknis karena menyangkut dalil-dalil dasar dalam ilmu ekonomi.

 

Pertama, rezeki dari export boom adalah rente ekonomi (economic rent). Rente ekonomi secara prinsip seluruhnya harus masuk ke negara dan digunakan untuk kepentingan seluruh masyarakat, bukan hanya untuk sektor yang mengalami boom.

 

Penguasaan rente ekonomi oleh negara tak akan mengganggu kegiatan produksi di sektor itu karena produsen masih tetap mendapatkan keuntungan usaha yang wajar berupa keuntungan normal (normal profit).

 

Kedua, cara yang terbaik (sekaligus sederhana) untuk mengamankan rente ekonomi bagi negara adalah dengan mengenakan satu macam pajak saja atas keuntungan dan langsung masuk sebagai penerimaan negara dalam APBN. Tidak boleh ada yang berbelok arah atau bocor di tengah jalan.

 

Baru setelah masuk ke dalam APBN, dana itu bisa digunakan/dialokasikan untuk berbagai tujuan atau program melalui proses anggaran yang baku. Istilah kerennya, rente ekonomi dimonetisasi dan dimasukkan ke ”pot nasional”.

 

Ketiga, dana rezeki ekspor itu digunakan sesuai dengan skala prioritas pembangunan nasional, bukan hanya prioritas sektor penghasilnya. Sebagai contoh, pada masa oil boom yang lalu rezeki minyak tak digunakan untuk hilirisasi sektor migas, tetapi untuk program-program yang diamanatkan oleh Repelita. Penggunaan rezeki ekspor secara ad hoc tidak akan memberikan manfaat optimal bagi pembangunan nasional.

 

Kalau ketiga syarat itu dipenuhi, kita mendapatkan first- best solution, kebijakan optimal atau terbaik dalam memanfaatkan rezeki export boom.

Berbagai kendala

 

Dalam praktik kita tahu ada berbagai kendala untuk mencapai standar itu. Di bidang politik ada desakan-desakan kelompok kepentingan untuk mendapatkan jatah di luar prioritas nasional dan di bidang pelaksanaan di lapangan ada kelemahan-kelemahan birokrasi sehingga secara substansi dan secara implementasi kebijakan tidak lagi optimal.

 

Itu memang realitas yang harus dihadapi setiap pembuat kebijakan, tidak hanya di negeri ini. Namun, justru di situlah tantangan utamanya. Mereka tidak boleh mudah menyerah dan wajib berusaha sekuat tenaga untuk menghindari atau menekan seminimal mungkin deviasi dari kebijakan yang optimal. Demi kemajuan bangsa.

 

Sumber :https://www.kompas.id/baca/opini/2023/08/11/mengelola-rezeki-export-boom

Tidak ada komentar:

Posting Komentar