Senin, 28 Agustus 2023

 

Cara Pengikut Ahmadiyah Mencegah Krisis Iklim

Yandhrie Arvian :  Redaktur Eksekutif Koran Tempo sejak Juli 2021

MAJALAH TEMPO, 27 Agustus 2023

 

 

                                                           

Rizwan Ahmad Sahib tak bisa menyembunyikan kegembiraannya saat tiba di Masjid Baitul Futuh di Morden, barat daya London, Inggris. Bersama 10 rekannya, ia baru saja menuntaskan salah satu misi penting dalam hidupnya: bersepeda dari Dublin, Irlandia, menuju London demi menghadiri Jalsah Salanah Britania Raya 2023. Jaraknya sekitar 650 kilometer dengan elevasi di atas 5.000 meter.

 

Di Baitul Futuh, mereka mendapat sambutan. Pekik "Nara-e-takbeer… Allahu Akbar" bersahutan tatkala para pesepeda memasuki halaman masjid. Jarum jam menunjukkan pukul 16.24. Gerimis mulai jatuh di musim panas yang basah. Langit sedikit abu-abu. Suhu mentok di angka 20 derajat Celsius. Sore itu, Rabu, 26 Juli lalu, Amir Ahmadiyah Britania Raya Rafiq Ahmad Hayat bersama puluhan anggota jemaah dan tamu internasional Jalsah Salanah menyambut para pesepeda.

 

“Ini pengalaman tak terlupakan karena pertama kalinya kami datang ke Jalsah Salanah dengan bersepeda,” ujar Rizwan Sahib, Presiden Ahmadiyya Muslim Youth Association Irlandia, kepada Tempo.

 

Biasanya mereka naik pesawat atau mengendarai kendaraan pribadi dari Irlandia. Kebiasaan bersepeda selama masa pandemi Covid-19 membulatkan tekad Sahib dan kawan-kawannya hadir ke pertemuan tahunan itu dengan cara berbeda. Di Jalsah Salanah, Sahib ingin bertemu dengan khalifah kelima Ahmadiyah Hazrat Mirza Masroor Ahmad dan anggota jemaah Ahmadiyah lain dari seluruh dunia.

 

Misi ini terbilang berat karena setengah dari pengendara kereta angin adalah pesepeda pemula. Lima hari mengayuh sepeda, mereka setidaknya berhenti di lima kota. Pada hari pertama, mereka mengayuh sepeda menyusuri Sungai Liffey menuju Pelabuhan Dublin, lalu menyeberang naik feri ke Holyhead, Wales. Dari situ, para pesepeda menuju Rhyl, kota pesisir di timur laut Wales, untuk bermalam di Masjid Sadiq.

 

Menembus hujan dan panas, Sahib dan teman-temannya bermalam di Birmingham dan Oxford, sebelum akhirnya tiba di Baitul Futuh, London. Esoknya, rombongan pesepeda menuju Hadeeqatul Mahdi di Oakland Farm, Alton—tempat Jalsah Salanah berlangsung selama tiga hari. Pria 24 tahun ini bercerita, sebelum datang ke Jalsah Salanah, mereka sempat berlatih gowes jarak jauh. Salah satunya membelah Irlandia dari Dublin ke Galway sepanjang 207 kilometer dalam dua hari.

 

Sahib dan kawan-kawannya memperoleh inspirasi dari jemaah Ahmadiyah Jerman. Dipimpin oleh Amir Ahmadiyah Jerman Abdullah Uwe Hans Peter Wagishauser, mereka bersepeda 570 kilometer dari Aachen menuju London untuk menghadiri Jalsah Salanah. Tradisi bersepeda ke Jalsah Salanah ini mereka lakoni lebih dari 10 tahun.

 

Di mata Sahib, Abdullah Wagishauser adalah pesepeda yang tangguh dan berpengalaman. Di usianya yang tak lagi muda, pria 69 tahun itu selalu berada di rombongan paling depan. “Kami beruntung sempat bergabung dengan jemaah dari Jerman,” ucap Sahib. Kedua rombongan bertemu di Country Market, Bordon, sebelum gowes bersama-sama menuju Hadeeqatul Mahdi di Oakland Farm.

 

Salah satu yang mendorong jemaah Ahmadiyah bersepeda adalah isu perubahan iklim. Pemimpin Ahmadiyah saat ini, Hazrat Mirza Masroor Ahmad, berulang kali mengajak jemaah berperan dalam penyelamatan lingkungan. Sebagai upaya kolektif, perubahan kecil itu dapat dimulai dengan memilih bersepeda ke supermarket lokal ketimbang mengendarai mobil. “Itu juga yang ada di pikiran kami saat memulai gerakan ini,” tutur Sahib yang sehari-hari bekerja sebagai dokter di Rumah Sakit St. James di Dublin. Sahib kini memperoleh banyak permintaan dari anggota jemaah Ahmadiyah lain untuk gowes bersama-sama ke Jalsah Salanah. “Satu anggota jemaah dari Islandia ingin bergabung tahun depan,” kata Sahib.

 

Isu lingkungan menjadi salah satu perhatian Ahmadiyah, selain isu perdamaian dan keadilan. Sahib menjelaskan, semua itu menjadi bagian yang tidak terpisahkan saat mereka mengenalkan Ahmadiyah kepada komunitas yang lebih luas. Itu pula yang Hazrat Mirza Masroor Ahmad sampaikan saat bertemu dengan sejumlah pemimpin dunia. Termasuk tema-tema yang berkaitan dengan isu global saat ini, seperti krisis air, energi, dan pangan.

 

Untuk urusan air, energi, dan pangan, Ahmadiyah punya International Association of Ahmadi Architects and Engineers (IAAAE). Organisasi ini memberikan bantuan teknis dan kemanusiaan bagi jemaah Ahmadiyah dan non-Ahmadiyah di seluruh dunia. Kebanyakan proyeknya dikerjakan di negara-negara Afrika, seperti Tanzania, Mali, Burkina Faso, dan Sierra Leone.

 

Di sana, mereka mendesain dan membangun masjid, sekolah, dan desa percontohan. Semuanya dengan konsep ramah lingkungan dan berkelanjutan. Efek pemanasan global menjadi salah satu pertimbangan dalam menciptakan desain. “Kami berusaha mengurangi dampak kerusakan lingkungan,” ucap Chairman IAAAE Eropa Akram Ahmedi kepada Tempo, Rabu, 2 Agustus lalu. Selain menyediakan fasilitas air bersih, para insinyur memanfaatkan sumber energi terbarukan, seperti tenaga surya dan angin, untuk membangkitkan listrik.

 

Di Burkina Faso, mereka membangun desa percontohan. Lokasinya di wilayah terpencil bernama Dori. Dikenal dengan nama Mehdi Abad, desa percontohan itu dilengkapi fasilitas air bersih yang mengalir hingga rumah penduduk. Air yang dihasilkan juga bisa digunakan untuk irigasi dan bercocok tanam. Dengan fasilitas ini, penduduk lokal tidak perlu lagi berjalan kaki 7-8 kilometer demi mencari sumber air. Tak hanya menerangi rumah dan jalan, listrik yang dihasilkan dari puluhan panel surya memompa air ke tangki berkapasitas 25 ribu liter. Dari tangki, pipa mengalir ke rumah penduduk.

 

Semua riset, studi kelayakan, dan desain proyek dikerjakan oleh para insinyur yang tinggal di Eropa. Jumlah tenaga yang tergabung dalam IAAAE cabang Eropa sekitar 200 orang. Pada umumnya mereka adalah insinyur profesional yang bekerja di sektor privat. Ada juga yang menjalankan usaha sendiri. Para insinyur ditawari mengerjakan proyek sesuai dengan keahlian yang mereka miliki. Ada kalanya Akram Ahmedi menawarkan pekerjaan kepada insinyur yang bermukim di luar Eropa.

 

Salah satunya kepada Zeeshan Ahmed, water engineer dari Pakistan yang kini bermukim di Kanada. Ahmedi menghubungi Zeeshan Ahmed untuk mencari solusi krisis air minum di Niger. Atas undangan Ahmedi, dia datang ke sana. Ia lalu mengusulkan pemerintah Niger membangun bendungan kecil dengan teknologi terbaru yang dapat menghemat air, sekaligus mendaur ulang air kembali ke muka air tanah.

 

Semua insinyur bekerja sukarela tanpa menerima honor sepeser pun, dari mendesain hingga mensupervisi pekerjaan konstruksi. “Mereka bahkan mesti merogoh kocek sendiri saat harus pergi ke lokasi proyek,” ujar Ahmedi, yang pernah menetap berbulan-bulan di Bamako, Mali, saat proses konstruksi Masjid Mubarak berlangsung. Semua bekerja sukarela, kecuali para pekerja lokal di bagian konstruksi yang menerima gaji sesuai dengan masa kontrak kerja. Seluruh biaya pembangunan proyek berasal dari donasi jemaah Ahmadiyah di seluruh dunia.

 

Untuk mengatasi krisis pangan, organisasi insinyur Ahmadiyah ini mulai bereksperimen menerapkan pola pertanian berkelanjutan bagi petani di Afrika. Tujuannya adalah meningkatkan produktivitas pertanian dan akses ke pasar serta memutus siklus kemiskinan.

 

Saat ini ketersediaan gandum dunia terancam gara-gara Rusia memblokade jalur ekspor Ukraina. Perang Rusia-Ukraina memicu para insinyur Ahmadiyah mencari sumber pangan alternatif, termasuk dari Afrika. “Sehingga tidak bergantung pada satu negara tertentu,” kata Ahmedi. Dengan peduli pada krisis iklim, energi, dan pangan, Ahmadiyah berikhtiar mewariskan bumi yang lebih baik bagi generasi mendatang. ●

 

Sumber : https://majalah.tempo.co/read/selingan/169564/ahmadiyah-krisis-iklim

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar