Minggu, 27 Agustus 2023

 

Apa yang Dilakukan Parlemen ASEAN untuk Menghentikan Krisis Myanmar?

Iwan Kurniawan :  Jurnalis Majalah Tempo

MAJALAH TEMPO, 20 Agustus 2023

 

 

                                                           

SIDANG umum Majelis Antar-Parlemen ASEAN (AIPA) di aula Hotel Fairmont Jakarta itu berakhir setelah Puan Maharani, Presiden AIPA dan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat RI, mengetuk palu sidang tiga kali pada Rabu, 9 Agustus lalu. Puan lalu menyerahkan palu sidang kepada Xaysomphone Phomvihane, Presiden Majelis Nasional Laos, sebagai simbol penyerahan kursi kepresidenan AIPA kepada Laos.

 

Dalam pidato penutupan sidang, Puan menekankan pentingnya peran parlemen dalam perdamaian di kawasan Asia Tenggara. "Parlemen anggota AIPA juga perlu menjaga keberlangsungan demokrasi di Asia Tenggara. Sebagai satu keluarga besar, kita saling menjaga dan mengingatkan jangan sampai terjadi kemunduran proses demokrasi di Asia Tenggara," katanya. "Karenanya, dalam konteks Lima Butir Konsensus ASEAN tentang Myanmar, AIPA harus siap mencari terobosan-terobosan dalam membangun dialog dengan pihak-pihak terkait di Myanmar." Lima Butir Konsensus itu adalah pengiriman bantuan kemanusiaan, penghentian aksi kekerasan, dialog inklusif di antara para pihak, pembentukan utusan khusus, dan kunjungan utusan khusus ke Myanmar.

 

Sidang AIPA ini dihadiri semua ketua parlemen dari negara anggota Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara atau ASEAN, kecuali Myanmar. Sebanyak 18 negara lain juga hadir sebagai pengamat dan tamu. Pertemuan ini menghasilkan 30 resolusi dari tujuh komite. Isu Myanmar dibahas khusus dalam Komite Urusan Politik yang dipimpin Fadli Zon, Ketua Badan Kerja Sama Antar-Parlemen DPR RI.

 

Komite Urusan Politik menyumbang enam resolusi, yang dua di antaranya merupakan usul delegasi Indonesia, yakni  Resolusi Menjaga Perdamaian, Keamanan, dan Stabilitas Kawasan melalui Dialog dan Kolaborasi serta Resolusi Kerja Sama Parlemen dalam Berkontribusi pada Perdamaian Jangka Panjang di Myanmar. Komite juga bersepakat parlemen anggota AIPA membentuk tim untuk memantau upaya-upaya damai di Myanmar. “Kami akan membentuk satu badan atau komite, mungkin komite ad hoc, untuk memantau pelaksanaan lima poin konsensus ASEAN dari sisi parlemen,” ujar Fadli Zon dalam pernyataannya.

 

Fadli menjelaskan, tim tersebut juga akan mengunjungi Myanmar untuk melihat langsung kondisi masyarakat di sana. Dia membandingkannya dengan pembentukan gugus tugas untuk Ukraina yang dibentuk Inter-Parliamentary Union, organisasi antar-parlemen sedunia. Namun, hingga sidang AIPA berakhir, perkara tim pemantau ini belum mencapai suara bulat di antara peserta sidang komite.

 

Mekanisme pengambilan keputusan di AIPA mirip dengan ASEAN. Suatu keputusan diambil atas persetujuan semua anggota. Bila sidang sekarang belum bisa mencapai kata sepakat soal tim pemantau, hal tersebut dapat dibahas kembali dalam sidang AIPA berikutnya, yang dijadwalkan berlangsung di Laos pada Oktober 2024. Bila waktu pertemuan lanjutan ini tak berubah, delegasi Indonesia yang akan hadir adalah anggota DPR terpilih hasil pemilihan anggota legislatif tahun depan, bukan anggota Dewan yang sekarang. Itu sebabnya Fadli Zon dalam sidang penutupan AIPA mengusulkan Laos menimbang kembali jadwal pertemuan tersebut.

 

Wong Chen, Ketua Anggota Parlemen ASEAN untuk Hak Asasi Manusia (APHR) Cabang Malaysia, menilai resolusi-resolusi AIPA itu persuasif dan aspirasional, tapi tetap sejalan dengan posisi ASEAN. APHR adalah organisasi anggota dan mantan anggota parlemen ASEAN yang mempromosikan demokrasi dan hak asasi manusia di Asia Tenggara.

 

"Kekuatan nyata AIPA adalah fakta bahwa para wakil di sana adalah legislator senior dari negara anggota ASEAN," ucap Wong Chen, anggota parlemen Malaysia, Jumat, 18 Agustus lalu. "Ketika AIPA mengangkat isu Myanmar, pemerintah harus mendengar dan mencatat sikap para legislator. Di negara-negara demokrasi ASEAN yang lebih maju, seperti Indonesia dan Malaysia, parlemen melalui panitia khusus punya pengaruh yang dalam terhadap kebijakan pemerintah, termasuk kebijakan luar negeri."

 

Wong Chen mengakui AIPA tak punya anggaran sendiri untuk menjalankan programnya, tapi para legislator dapat meminta pemerintah negara masing-masing untuk memantau isu-isu utama, seperti pelanggaran hak asasi manusia dan dugaan kejahatan perang di Myanmar. Pemantauan itu tak selalu berarti harus dilakukan dengan datang ke Myanmar. "Pemantauan dapat dilakukan melalui citra satelit dan bahkan data logistik serta perdagangan. Misalnya, baru-baru ini ada dugaan sejumlah bahan bakar jet yang digunakan junta militer Myanmar untuk pesawat tempur mereka dijual melalui sebuah pelabuhan Malaysia. Anggota parlemen Malaysia yang peduli terhadap hal ini sedang memeriksa data perdagangan dan logistik serta mendorong transparansi penuh dari pemerintah."

 

Yuyun Wahyuningrum, Perwakilan Indonesia untuk Komisi Antar-Pemerintah ASEAN untuk Hak Asasi Manusia (AICHR), memaklumi posisi AIPA yang tidak bisa bertindak langsung karena mereka anggota parlemen, bukan eksekutif. "Tugas mereka lebih pada memantau, mengingatkan, mengecek, dan meminta akuntabilitas serta berbicara atas nama rakyat," tuturnya, Kamis, 17 Agustus lalu. Namun dia mengkritik resolusi AIPA yang tidak spesifik, karena, "Resolusi yang sifatnya umum, normatif, bisa saja diartikan berbeda."

 

Tuan Haji Ahmad Fadhli Shaari, anggota parlemen Malaysia yang mengikuti sidang AIPA, menilai Lima Butir Konsensus ASEAN sebenarnya sudah baik tapi perlu terus digaungkan dan diperbaiki pelaksanaannya oleh para pemimpin ASEAN. "Kalau Bapak Jokowi senantiasa mengulanginya, Perdana Menteri kami, Bapak Anwar Ibrahim, juga terus mengulangi, lalu perdana menteri Singapura, Thailand, dan lainnya mengulangi, saya yakin Myanmar juga akan terkesan," ujarnya pada Senin, 7 Agustus lalu. "Tapi, kalau kita sekadar melontarkan resolusi, kemudian kita biarkan ia berlalu, saya pikir hal itu tidak akan memberikan efek apa-apa."

 

Puan Maharani berharap penyelesaian konflik di Myanmar dapat dilakukan dengan lebih baik dan cepat. Namun, dalam konferensi pers setelah penutupan sidang AIPA, dia mengakui penyelesaian masalah Myanmar tampaknya menemui jalan buntu. "Walaupun kita sudah sepakat untuk menyelesaikan Lima Butir Konsensus ASEAN, itu masih dalam perdebatan dan pembahasan. Karena itu, parlemen dan AIPA mendorong pihak-pihak terkait dalam masalah Myanmar ini untuk tetap memperjuangkan, berusaha agar hal itu diselesaikan," katanya.

 

Penyelesaian masalah Myanmar berkejaran dengan waktu. Hal ini tergambar dalam laporan Thomas H. Andrews, Pelapor Khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang situasi hak asasi manusia di Myanmar untuk Komisioner Tinggi Hak Asasi Manusia PBB pada Maret lalu. Laporan itu mencatat bahwa, sejak terjadi kudeta militer pimpinan Jenderal Senior Min Aung Hlaing pada 1 Februari 2021, serangan Dewan Administrasi Negara, nama resmi junta militer Myanmar, telah menghanguskan sekitar 58 ribu rumah dan bangunan sipil. Lebih dari 1,3 juta orang mengungsi dan lebih dari 3.000 warga sipil tewas. Junta juga memenjarakan lebih dari 16 ribu tahanan politik.

 

Pada saat yang sama, Juni lalu, Mekanisme Penyelidik Independen untuk Myanmar melaporkan kemajuan yang nyata dalam penyelidikannya. Tim bentukan Dewan Hak Asasi Manusia PBB itu menemukan bukti kuat bahwa kejahatan internasional yang serius dilakukan terhadap warga Myanmar. Mekanisme menerbitkan tiga laporan analitis utama untuk diserahkan kepada pengadilan nasional dan internasional dengan fokus pada struktur dan jalur pelaporan dalam militer Myanmar; kegagalan otoritas Myanmar untuk menyelidiki atau menghukum kejahatan seksual dan berbasis gender; serta penyebaran konten ujaran kebencian yang terorganisasi di Facebook oleh militer Myanmar sebelum, selama, dan setelah “operasi pembersihan” kaum Rohingya pada 2017. ●

 

Sumber :    https://majalah.tempo.co/read/internasional/169541/parlemen-asean-krisis-myanmar

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar