Minggu, 27 Agustus 2023

 

Petualangan Marthen Indey

Francisca Christy Rosana :  Jurnalis Majalah Tempo

MAJALAH TEMPO, 13 Agustus 2023

 

 

                                                           

DARI tangan orang-orang Jepang, Marthen Indey dan rombongan polisi Hindia Belanda merebut sebuah peti mati pada suatu malam di Manokwari, pada sekitar 1941. Orang-orang Jepang itu akan mengubur peti ketika Marthen dan kawanannya datang. 

 

Marthen lantas menanyakan isi peti itu kepada mereka. Kumpulan orang Jepang itu pun menjawab isi peti adalah mayat pekerja perkebunan. Tak percaya begitu saja, Marthen lalu membongkarnya. “Ternyata isinya meriam kecil, granat tangan, senapan mesin berbagai ukuran, dan berbagai jenis peluru,” kata Marthen kepada George Junus Aditjondro pada 1985. Wawancara Marthen terekam dalam tulisan yang diterbitkan majalah Prisma edisi Februari 1987.

 

Marthen, yang bekerja untuk Belanda sebagai agen polisi kelas II, lalu merampas peti itu. Nicodemus Risakota, anak angkat Marthen, mengatakan bapaknya terbiasa menangani granat, termasuk menjinakkan bom tangan, selama menjadi polisi. Karena itu, dia kerap diandalkan untuk menaklukkan ranjau.

 

Tak hanya menundukkan granat, Marthen sering ditugasi tentara Belanda untuk melempar bom tangan ke arah persembunyian Jepang. Lemparannya pun hampir selalu tepat. “Bapak pernah bercerita, pada tengah malam ia mengangkat granat, turun ke jalan, dan melempar granat itu ke arah kamp Jepang. Semua habis meledak,” kata Nicodemus ketika ditemui di rumahnya di Kampung Kertosari, Distrik Sentani Barat, Jayapura, Sabtu, 22 Juli lalu.

 

Menjelang Perang Pasifik meletus, banyak orang Jepang menyebar di Papua. Mereka umumnya menyaru sebagai pekerja perkebunan kapas Nanyo Kohatsu Kabushiki Kaisha. Ada juga yang menjadi nelayan. Orang-orang itu berkeliaran di sekitar Manokwari, Nabire, hingga Sarmi dan tinggal dalam kemah dengan cara berpindah-pindah. Sebagai agen polisi Belanda, Marthen diberi tugas membuntuti mereka. Tugas itu dia terima pada 1940-1941, sebelum akhirnya Perang Pasifik pecah. Tentara Jepang menguasai wilayah Pasifik hingga pantai utara Papua dalam waktu singkat.

 

Untuk menembus kawasan-kawasan yang ditinggali orang Jepang, Marthen menyamar sebagai warga lokal yang sedang berburu di hutan. Saat menyamar dia berkomunikasi dengan warga lokal di distrik-distrik yang dilewati.

 

Nicodemus bercerita, Marthen mengajari para penduduk bercocok tanam. Keterampilan itu dia peroleh saat menempuh pendidikan di sekolah kepolisian di Sukabumi, Jawa Barat, pada 1933-1934. “Ia suka mengajari orang menanam sayur-sayuran, buah-buahan. Kepada keluarga pun begitu,” ucap Nicodemus.

 

Dua tahun sebelum mulai membuntuti Jepang, Marthen mendapat perintah melaksanakan Ekspedisi Leher Burung. Ekspedisi yang bertujuan membuka jalur Belanda untuk masuk ke daerah-daerah pedalaman ini berlangsung pada 1938-1940. Perjalanan Marthen—yang kala itu berusia 30 tahun—dimulai dengan menyisir pantai utara Napan. Dari situ, ia melewati hutan belantara sampai Danau Paniai. Menyusuri medan berat, rute pengembaraan Marthen berakhir di pantai selatan Mimika. 

 

Karena ekspedisi itu Marthen menjadi sangat kuat berjalan kaki. Dia mampu berjalan kaki berhari-hari, seperti yang ia ceritakan kepada anak-anaknya. Nico menggambarkan otot kaki Marthen keras, bahkan sampai dia tua.

 

Selama Ekspedisi Leher Burung, Marthen mengawal sejumlah pejabat Belanda. Salah satunya Komisaris Kelas Dua Polisi Manokwari Jan Pieter Karel van Eechoud. Tak jelas susur-galur tim ekspedisi itu. Tapi delapan bulan setelah ekspedisi itu berlangsung, pemerintah Belanda memberi Marthen penghargaan Trouw en Verdienste sebagai imbalan atas loyalitasnya. 

 

•••

 

KEMAMPUAN Marthen Indey tak datang tiba-tiba. Ia akhirnya menempuh karier sebagai polisi Belanda setelah beberapa kali berpindah sekolah, dari Indonesia timur ke Indonesia barat. Dalam nukilan buku berjudul Biografi Pahlawan Nasional Marthin Indey dan Silas Papare yang diterbitkan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan pada 1997, Marthen menempuh pendidikan kepolisian di Sukabumi selepas lulus dari sekolah kelautan di Makassar, Sulawesi Selatan.

 

Pendidikan di Sukabumi ia jalani selama setahun pada 1934-1935. Seperti ditulis dalam berbagai literatur, Marthen mengambil spesialisasi ilmu spionase atau mata-mata. Karena itu, dalam berbagai operasi, ia diterjunkan sebagai mata-mata kubu Belanda.

 

Selesai bersekolah di Sukabumi, Marthen ditempatkan di Ambon. Ketika menjadi polisi di Ambon, ia beberapa kali dikirim untuk bertugas ke Papua. Dalam wawancara dengan George Junus Aditjondro yang terbit di majalah Prisma, Marthen menceritakan pengalamannya menyusup di suku Asmat, Papua, yang tak terlupakan pada masa awal ia menjadi polisi mata-mata untuk Belanda. 

 

Suatu hari pada 1935, Kampung Ayam yang dihuni penduduk Asmat berkonflik dengan polisi-polisi asal Ambon. Bentrokan itu dipantik oleh serangan warga Kampung Ayam terhadap masyarakat di Kokonao, Mimika. Alih-alih memakai jalan damai untuk meredam konflik, polisi Belanda malah menembaki warga. Walhasil, perang meluas. Marthen lalu menyusup ke Kampung Ayam untuk bernegosiasi. Dia berpenampilan seperti warga lokal, bertelanjang dada, dan berkomunikasi dengan para kepala suku. “Akhirnya mereka setuju untuk tidak menyerang lagi,” ujar Marthen kepada George.

 

Penyamaran juga pernah ia lakukan ketika menjalankan operasi di Tobati, Jayapura. Menurut anak angkatnya, Nicodemus Risakota, saat itu Marthen sedang ditugasi menangani konflik yang terjadi di sekitar Teluk Youtefa. Lagi-lagi Marthen membaur seperti warga lokal dan mengajak mereka makan bersama. “Papa makan papeda dengan orang-orang itu, lalu berunding. Itu cara dia menyelesaikan konflik,” ucapnya.

 

Kemampuan dan kecerdasannya itu mungkin berasal dari orang tuanya yang berstatus petinggi adat. Marthen yang lahir di Doromena, Jayapura, pada 16 Maret 1912 adalah anak Indey, seorang ondoafi atau kepala marga. Marthen kecil diberi nama Sorowai Indey oleh orang tuanya.

 

Pada usia delapan tahun, Sorowai kecil diangkat anak oleh seorang pendeta asal Ambon keturunan Jerman, yakni Johannes Bremer. Bremer tinggal bersama keluarga Indey saat Marthen berumur dua tahun. Pemuka agama Kristen yang dibawa zending Belanda masuk Doromena itu membaptis Sorowai dengan nama Marthen.

 

Bremer pula yang memboyong Marthen ke Ambon bersama saudara kandungnya, Karel Indey, pada 1921 untuk menempuh sekolah tinggi. Setelah tiba di Ambon, Marthen menjalani pendidikan di volkschool atau sekolah desa. Untuk bersekolah di sana, Marthen mengubah nama belakangnya menjadi Bremer agar diterima oleh sekolah milik Belanda itu. Nama Bremer bercokol terus sebagai nama belakang Marthen sampai ia menikah dengan Agustina Heumasse pada 1936.

 

Adapun sekolah dasar volkschool Marthen tamatkan dalam lima tahun. Tumbuh remaja, Marthen yang sudah lulus pendidikan tingkat pertama memilih bekerja ketimbang meneruskan sekolah. Ia bekerja di Department van Burgerlijk Openbare Werken, semacam kantor pekerjaan umum sipil, di Kota Ambon. Pekerjaannya adalah membangun infrastruktur di sejumlah daerah. Marthen pun berkeliling ke banyak tempat, dari Ambon, Banda Neira, sampai Fakfak, untuk membangun gedung pemerintah dan fasilitas umum.

 

Tapi pekerjaan yang mapan itu tak membuat dia terbuai dan puas. Pada 1932, Marthen merantau ke Makassar untuk menempuh pendidikan di Kweekschool voor Inlandsche Schepelingen atau sekolah pelayaran. Dari belahan Indonesia timur, Marthen kembali bertualang ke Sukabumi untuk masuk sekolah polisi.

 

Sejarawan Universitas Cenderawasih, Albert Rumbekwan, mengatakan Marthen satu dari sejumlah tokoh angkatan awal di Papua yang namanya dikenal sampai ke luar negeri. Kedekatannya dengan pendeta membantu dia lebih mudah mengakses pendidikan sampai menjadi polisi.

 

Bekerja di bawah Belanda, Marthen pun berada pada sejumlah peristiwa penting, seperti Perang Dunia II. Dia juga berada dalam pusaran peristiwa politik saat operasi perebutan kembali Papua oleh Indonesia dari Belanda berlangsung. “Marthen masuk lingkaran aktor sentral di Papua setelah kemerdekaan Indonesia,” ucap Albert di Jayapura, Selasa, 25 Juli lalu. 

 

Marthen menerima gelar pahlawan dari Presiden Soeharto pada September 1993. Dia dianggap menjadi salah satu pejuang yang ikut menyatukan Papua dan Indonesia. Toh, di akhir episode hidupnya, Marthen kerap menceritakan kekecewaannya terhadap pemerintah Indonesia kepada sejumlah orang. Termasuk kepada Sekretaris Jenderal Presidium Dewan Papua Thaha Alhamid. 

 

Mimpi Marthen Indey soal kesejahteraan Papua yang dia bayangkan tak juga terwujud. Padahal, menurut Thaha, Marthen dan tokoh Papua lain berangan-angan Papua bisa sejahtera jika menjadi bagian dari Indonesia. ●

 

Sumber :   https://majalah.tempo.co/read/laporan-khusus/169464/petualangan-marthen-indey

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar