Bagaimana Silas
Papare Keras Mendidik Anaknya Hussein Abri Dongoran : Jurnalis Majalah Tempo |
MAJALAH TEMPO, 13
Agustus 2023
KAPAL yang dikemudikan
oleh Silas Papare tak bisa berlayar di kawasan Waren, Kabupaten Waropen,
suatu hari pada 1967. Gundukan pasir perlahan mengepung kapal yang sedang
membawa kayu olahan itu. Silas mewanti-wanti anak ketujuhnya, Musa Antonius
Papare, agar tak turun dari kapal dan bermain pasir. Peringatan tersebut tak
didengar oleh Musa, yang saat itu berusia 11 tahun. Ia menyusul temannya,
William G. Engels, yang terjun lebih dulu dari kapal dan bermain pasir.
William adalah anak bos tempat Silas memulai usaha olahan kayu. Silas naik pitam melihat
kelakuan dua anak itu. “Papa marah sekali. Kami dipukul pakai rotan,” ujar
Musa menceritakan peristiwa itu kepada Tempo di rumahnya di Fandoi, Biak
Kota, Kabupaten Biak Numfor, Papua, Kamis, 3 Agustus lalu. Musa, kini 67 tahun,
bercerita, Silas kerap menghukum anak-anaknya yang ketahuan berbuat nakal. Ia
kerap melihat kakaknya, Marthen Robert Papare, mendapat sanksi dari ayahnya.
Robert kerap mengambil uang dari kantong Silas. Kadang-kadang rokok kretek
milik Silas juga dicolong oleh Robert. “Dia yang paling sering dihukum,” ucap
Musa. Hukuman dari Silas
beragam. Dari melarang anaknya bermain ke luar rumah hingga menyuruh mereka
duduk di bawah meja kerja Silas. Namun, entah kenapa, Silas jarang memberikan
hukuman kepada anak ketiganya, Leonora Alexandrina Papare. Menurut Musa,
papanya selalu membela Leonora setiap kali terjadi pertengkaran dengan
saudaranya. Leonora masih berusia
delapan bulan ketika Silas dipenjara pada September 1946. Kala itu Silas
ketahuan akan memberontak. Ia pun diasingkan ke Serui. Agusthin Wabisen Papare,
istri Musa, mengatakan Silas sangat tegas dan berdisiplin, terutama soal
pendidikan. Ia mendapat cerita dari istri Silas, Regina Aibui, tentang sikap
ayah mertuanya itu. Silas berupaya agar anak-anaknya bisa bersekolah dengan
benar dan tak salah bergaul. “Kalau ada nilai jelek pasti kena hukuman,” kata
Agusthin. Jika hal itu terjadi, rotan pun kembali melayang. Silas memang
tertatih-tatih memperoleh pendidikan di kampungnya di Pulau Nau. Ia ingin
anak-anaknya bisa mengenyam pendidikan tinggi. Namun hanya sebagian dari
sebelas anak Silas yang berhasil dalam urusan sekolah. Musa Papare
mencontohkan, anak pertama dan kedua Silas, Merry Helena dan Katharina Louisa
Papare, pernah bersekolah di luar negeri. Kesempatan itu didapat
mereka ketika Silas berada pada masa keemasannya dalam dunia politik, yaitu
saat menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat pada 1956-1960. Empat tahun
setelah tak lagi duduk di Senayan, Silas malah ditahan selama enam bulan di
Rumah Tahanan Guntur, Jakarta, karena dituding sebagai pendukung Partai
Komunis Indonesia. Adapun Musa tak bernasib
sama seperti kakak-kakaknya yang menempuh pendidikan tinggi. Ia tak lulus
sekolah menengah atas di Manokwari, Papua, karena tidak ada biaya setelah
Silas meninggal pada 7 Maret 1979. “Yang berkesempatan mendapat pendidikan
baik hanya beberapa anak,” tuturnya. Kini Musa hanya
beraktivitas di rumah. Sedangkan istrinya, Agusthin, menjadi Kepala Posyandu
Matoa I Kelurahan Fandio, Kabupaten Biak Numfor, yang beroperasi satu bulan
sekali. Untuk menutup kebutuhan sehari-hari, Agusthin berjualan pinang dan
sirih di pekarangan rumahnya. Harganya hanya Rp 1.000 per butir pinang. Musa masih mengingat pesan
ayahnya agar keluarganya tak terjun ke dunia politik atau mencari duit dari
situ. Silas mengibaratkan aktivitas di bidang politik seperti bermain air dan
api. Jika bermain air akan basah dan bermain api terbakar. “Cukup saya saja,”
ujar Musa menceritakan pesan Silas Papare. ● Sumber : https://majalah.tempo.co/read/laporan-khusus/169450/pendidikan-silas-papare |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar