Minggu, 27 Agustus 2023

 

Bagaimana Silas Papare Keras Mendidik Anaknya

Hussein Abri Dongoran :  Jurnalis Majalah Tempo

MAJALAH TEMPO, 13 Agustus 2023

 

 

                                                           

KAPAL yang dikemudikan oleh Silas Papare tak bisa berlayar di kawasan Waren, Kabupaten Waropen, suatu hari pada 1967. Gundukan pasir perlahan mengepung kapal yang sedang membawa kayu olahan itu. Silas mewanti-wanti anak ketujuhnya, Musa Antonius Papare, agar tak turun dari kapal dan bermain pasir.

 

Peringatan tersebut tak didengar oleh Musa, yang saat itu berusia 11 tahun. Ia menyusul temannya, William G. Engels, yang terjun lebih dulu dari kapal dan bermain pasir. William adalah anak bos tempat Silas memulai usaha olahan kayu.

 

Silas naik pitam melihat kelakuan dua anak itu. “Papa marah sekali. Kami dipukul pakai rotan,” ujar Musa menceritakan peristiwa itu kepada Tempo di rumahnya di Fandoi, Biak Kota, Kabupaten Biak Numfor, Papua, Kamis, 3 Agustus lalu.

 

Musa, kini 67 tahun, bercerita, Silas kerap menghukum anak-anaknya yang ketahuan berbuat nakal. Ia kerap melihat kakaknya, Marthen Robert Papare, mendapat sanksi dari ayahnya. Robert kerap mengambil uang dari kantong Silas. Kadang-kadang rokok kretek milik Silas juga dicolong oleh Robert. “Dia yang paling sering dihukum,” ucap Musa.

 

Hukuman dari Silas beragam. Dari melarang anaknya bermain ke luar rumah hingga menyuruh mereka duduk di bawah meja kerja Silas. Namun, entah kenapa, Silas jarang memberikan hukuman kepada anak ketiganya, Leonora Alexandrina Papare. Menurut Musa, papanya selalu membela Leonora setiap kali terjadi pertengkaran dengan saudaranya.

 

Leonora masih berusia delapan bulan ketika Silas dipenjara pada September 1946. Kala itu Silas ketahuan akan memberontak. Ia pun diasingkan ke Serui.

 

Agusthin Wabisen Papare, istri Musa, mengatakan Silas sangat tegas dan berdisiplin, terutama soal pendidikan. Ia mendapat cerita dari istri Silas, Regina Aibui, tentang sikap ayah mertuanya itu. Silas berupaya agar anak-anaknya bisa bersekolah dengan benar dan tak salah bergaul. “Kalau ada nilai jelek pasti kena hukuman,” kata Agusthin. Jika hal itu terjadi, rotan pun kembali melayang.

 

Silas memang tertatih-tatih memperoleh pendidikan di kampungnya di Pulau Nau. Ia ingin anak-anaknya bisa mengenyam pendidikan tinggi. Namun hanya sebagian dari sebelas anak Silas yang berhasil dalam urusan sekolah. Musa Papare mencontohkan, anak pertama dan kedua Silas, Merry Helena dan Katharina Louisa Papare, pernah bersekolah di luar negeri.

 

Kesempatan itu didapat mereka ketika Silas berada pada masa keemasannya dalam dunia politik, yaitu saat menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat pada 1956-1960. Empat tahun setelah tak lagi duduk di Senayan, Silas malah ditahan selama enam bulan di Rumah Tahanan Guntur, Jakarta, karena dituding sebagai pendukung Partai Komunis Indonesia.

 

Adapun Musa tak bernasib sama seperti kakak-kakaknya yang menempuh pendidikan tinggi. Ia tak lulus sekolah menengah atas di Manokwari, Papua, karena tidak ada biaya setelah Silas meninggal pada 7 Maret 1979. “Yang berkesempatan mendapat pendidikan baik hanya beberapa anak,” tuturnya.

 

Kini Musa hanya beraktivitas di rumah. Sedangkan istrinya, Agusthin, menjadi Kepala Posyandu Matoa I Kelurahan Fandio, Kabupaten Biak Numfor, yang beroperasi satu bulan sekali. Untuk menutup kebutuhan sehari-hari, Agusthin berjualan pinang dan sirih di pekarangan rumahnya. Harganya hanya Rp 1.000 per butir pinang.

 

Musa masih mengingat pesan ayahnya agar keluarganya tak terjun ke dunia politik atau mencari duit dari situ. Silas mengibaratkan aktivitas di bidang politik seperti bermain air dan api. Jika bermain air akan basah dan bermain api terbakar. “Cukup saya saja,” ujar Musa menceritakan pesan Silas Papare. ●

 

Sumber :   https://majalah.tempo.co/read/laporan-khusus/169450/pendidikan-silas-papare

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar