Menjaga Marwah Pendidikan Tinggi Idi Subandy Ibrahim :Peneliti Budaya, Media,
dan Komunikasi; Pengajar di Magister Ilmu Komunikasi (MIK) Pascasarjana
Universitas Pasundan Bandung; Pengajar LB di MIK Pascasarjana FISIP
Universitas Brawijaya (UB) Malang: dan Pengajar LB di Program Doktor (S-3)
Agama dan Media/Studi Agama-agama Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung
Djati Bandung. |
KOMPAS, 12 Agustus 2023
Menjelang tahun ajaran baru,
persoalan pendidikan mengemuka kembali. Mengapa untuk urusan pendidikan yang
begitu penting bagi pembudayaan nilai dan pencerdasan manusia kita masih
seperti jalan di tempat, pada persoalan tata kelola yang dinilai sebagian
masyarakat belum sejalan dengan cita-cita luhur pendidikan nasional. Kemudian diperkisruh mulai dari
perjokian dan korupsi di perguruan tinggi (PT), melonjaknya biaya kuliah di
hampir semua PTN hingga ekses yang muncul dari sistem zonasi dalam
pendaftaran peserta didik baru (PPDB). Dalam hal PPDB di tingkat pendidikan
dasar dan menengah, di satu sisi, kita melihat meningkatnya keinginan
masyarakat dalam menempuh pendidikan di sejumlah daerah yang sejatinya
meningkatkan angka partisipasi pendidikan. Di sisi lain, animo tersebut belum
sepenuhnya mampu diantisipasi dengan tata kelola yang solid dan terpadu
sehingga masih membuka celah bagi sebagian orang untuk berbuat curang atau
mempermainkan aturan. Kemudian bila mengarahkan perhatian
ke tingkat PT, khususnya PTN, persoalan penerimaan peserta didik baru juga
memunculkan dilemanya sendiri dengan diterapkannya kebijakan kemandirian PTN.
Bagaimana bisa meningkatkan dana operasional pendidikan dengan menaikkan
biaya kuliah seperti UKT tanpa mengorbankan prinsip keadilan dan pemerataan
pendidikan bagi calon mahasiswa pintar dan berprestasi tetapi kurang mampu? Bukan ”kapal keruk” Beberapa pengamat pendidikan menilai
PTN memang belum memiliki pengalaman seperti PTS dalam mencari dana
pendidikan mandiri. Politik kebijakan kemandirian PTN dengan pengurangan
subsidi negara, di satu sisi, mendorong kreativitas di beberapa PTN, di sisi
lain, ”memaksa” untuk berkinerja dan berpromosi seperti PTS sehingga PTN
seperti mengalami ”benturan” cita-cita idealnya. Ketika menyaksikan
universitas-universitas negeri berlomba-lomba menerima banyak mahasiswa dari berbagai
jalur, Guru Besar Bidang Hukum Internasional Universitas Padjadjaran Atip
Latipulhayat dalam suatu kesempatan mengibaratkan ”universitas sebagai kapal
keruk”. Seperti kapal keruk, yang mengeruk sebanyak-banyaknya kekayaan alam,
universitas seperti dipaksa untuk mengeruk sebanyak-banyaknya dari kantong
masyarakat. Terutama kantong sebagian orangtua
yang sangat berambisi dan merasa bergengsi kalau anaknya bisa berkuliah di
PTN. Sepertinya, berapa pun mereka mau membayar, alih-alih memikirkan konsekuensinya.
Kondisi seperti ini mungkin ikut membudayakan ”calo” atau ”makelar” dalam
penerimaan mahasiswa baru yang melibatkan beberapa oknum di beberapa PTN. Impikasi serius Kisah keunggulan PTN sebagai tempat
impian belajar ideal bagi anak muda dari sejumlahdaerah di Tanah Air tanpa
memandang latar berhadapan dengan rendahnya anggaran pendidikan tinggi,
disertai hasrat sebagian besar orangtua agar anaknya bisa berkuliah di PTN
jika tidak diantisipasi akan berimplikasi serius setidaknya pada beberapa
sisi. Pertama, marwah PTN sebagai tempat
mendidik anak-anak terbaik (termasuk dari keluarga biasa) dari sejumlah
daerah perlahan tetapi pasti kian tergerus ketika biaya menjadi faktor
penting bahkan penentu untuk berpartisipasi dalam pendidikan tinggi. Di sini jelas
anak-anak muda potensial bisa tersingkir sebelum bertanding. Keterbatasan
kemampuan orangtua memupus impian mereka memasuki lapangan permainan. Kondisi
seperti ini tidak terjadi sampai akhir 1990-an. Ketika untuk memasuki
universitas terbaik, faktor kecerdasan, kerja keras dan nasib baik anak muda
di seluruh Indonesia belum dikalahkan biaya pendidikan! Kedua, budaya akademis yang tidak
sehat akan terbentuk sebagai ekses dari kebijakan yang semata-semata atas
nama ekonomi dan materi tanpa berempati pada dimensi humanistik dari
pendidikan dan akan berakibat jangka panjang, yakni meningkatnya ketimpangan
akses dan tercederainya prinsip keadilan pendidikan untuk semua. Tak heran
kebijakan pendidikan yang terlalu mengandalkan pemasukan dari masyarakat dikritik
sebagian kalangan sebagai hanya cara negara lepas tangan dari tanggung jawab
mencerdaskan kehidupan bangsa yang diamanatkan dalam konstitusi. Harapan menjadikan universitas
menjual produk pengetahuan sebagai basis pengembangan industri dan kebijakan strategis
juga hanya angan-angan jika kalangan pemangku kepentingan di luar universitas
hanya berkepentingan menjadikan universitas tempat mencari status atau
pengukuhan gelar. Alih-alih mengangankan ilmuwan Indonesia bisa meraih Nobel!
Seperti menggantang asap atau mengukir langit! Ketiga, kebijakan kemandirian PTN
berimplikasi lebih jauh karena ikut memukul sebagian (untuk tidak mengatakan
sebagian besar) PTS di Indonesia pascapandemi yang mengandalkan pemasukan
dana dari penerimaan mahasiswa. Tersedotnya calon mahasiswa ke berbagai PTN
dalam jangka panjang akan melumpuhkan keberlangsungan PTS yang sudah sekian
dekade ikut berkontribusi mencerdaskan anak bangsa. Kita tidak meremehkan
adanya program studi di segelintir PTS yang tidak kalah dengan di PTN. Tetapi
menganggap semua PTS bisa berkompetisi dengan PTN jelas tidak memahami
kenyataan dunia pendidikan di Tanah Airnya. Jika tidak ada pembatasan atau
aturan main yang jelas, cepat atau lambat, kemungkinan akan banyak PTS yang
gulung tikar. Jika ini adalah akibat yang diharapkan, kita layak prihatin. Akhirnya, PT memang bukan kapal
keruk. Sejatinya lebih seperti kapal paray, yang mengantar banyak penumpang
menuju tujuan dengan biaya terjangkau. Tanggung jawab pendidikan memang bukan
hanya pada pemerintah. Ki Hadjar Dewantara jauh hari mengingatkan, masyarakat
ikut bertanggung jawab atas haluan pendidikan bangsanya. Seyogianya
permasalahan pendidikan yang mengusik rasa keadilan mendapat perhatian kita
semua: pemerintah, wakil rakyat, dan pemangku kepentingan untuk sama-sama
menyiapkan generasi emas. Jika pendidikan sebagai pembudayaan nilai, melepas
pendidikan semata-mata ke ”mulut” pasar, tidak hanya menjauhi amanah
konstitusi, tetapi juga perlahan membentuk generasi dengan nilai hidup
materialistik, bukan humanistik..● |
Sumber
:https://www.kompas.id/baca/opini/2023/08/11/menjaga-marwah-pendidikan-tinggi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar