Kesepian Kita Qaris Tajudin : Wartawan Tempo, Sarjana Hadis dari
Universitas Al Azhar Kairo |
MAJALAH TEMPO, 27
Agustus 2023
PADA sebuah senja bertahun
lalu, saya duduk di atap biara di Lembah Natrun, Mesir, bersama seorang
rohaniwan Kristen Koptik. Saya memanggilnya Abuna Shedraq. Abuna adalah
panggilan semacam romo dalam tradisi Katolik. Jubah Abuna hitam, juga
penutup kepalanya. Ada tato salib di atas urat nadi kirinya. Sudah beberapa
tahun ia tinggal di sana: terisolasi, terkurung padang pasir, tanpa televisi,
koran, radio, apalagi telepon seluler dan Internet. Abuna dan belasan rekannya
meneruskan tradisi menyepi yang sudah berlangsung selama hampir dua milenial.
Sejak abad pertama Masehi, pendahulu Shedraq mendirikan beberapa biara di
lembah itu untuk menghindari kejaran tentara Romawi dan penguasa zalim lain. Mereka membangun tembok
lima meter dengan pintu kayu kokoh berlapis. Sebuah bel digantung di atas
gerbang untuk dibunyikan para tamu sebagai tanda mengetuk. “Pendahulu kami
hanya membuka pintu untuk para kafilah yang kehabisan air dan ingin menimba
dari sumur biara,” kata Abuna. Ancaman itu sudah lama hilang, tapi dinding
tinggi itu tetap berdiri, sebagai pengingat bahaya dunia luar. Senja itu, di atas biara,
kami menatap cakrawala. Yang terlihat hanya padang pasir kecokelatan juga
sejumput pohon zaitun. Terkepung kekosongan
padang pasir, tiba-tiba saya disergap kehampaan. Beberapa jam yang lalu saya
masih terjebak lalu lintas Kairo yang bising, dan kini berada di tengah
kehampaan yang menyerap semua suara. “Apakah Abuna tidak takut
kesepian?” tanya saya. Saya tak ingat benar jawabannya, tapi dia tersenyum
dan menggeleng. Sebentar lagi gelap dan para pengunjung biara harus keluar.
Pintu berat kembali ditutup dan kesunyian datang menyergap. Pertanyaan saya mungkin
terdengar konyol. Saya tidak bisa membedakan kesepian (loneliness) dan
kesendirian (solitude). Dalam bahasa Indonesia, kesepian dan menyepi punya
arti yang berbeda, meski keduanya dibentuk dari kata asal yang sama. Mendefinisikan kesepian
memang bukan perkara mudah. Daniel Russell, peneliti di Iowa State
University, Amerika Serikat, mencoba membuat definisi. Katanya, “Kesepian ada
saat hubungan yang kita miliki—jaringan sosial kita—tidak sesuai dengan
harapan kita.” Di sana terasa ada keterasingan yang akut. Namun kesepian tidak
selalu hadir sebagai keterasingan seperti yang digambarkan oleh William
Wordsworth dalam puisinya, “I wandered lonely as a cloud.” Kadang ia juga
datang sebagai ketakutan luar biasa seperti dalam catatan Virginia Woolf
dalam A Writer’s Diary. “Often down here I have entered into a sanctuary…;
and always some terror; so afraid one is of loneliness.” Belakangan, kesepian bukan
hanya milik satu-dua orang. “Kesepian telah menjadi epidemi,” kata Fay Bound
Alberti dalam bukunya, A Biography of Loneliness: The History of an Emotion.
Alberti memulai bukunya tentang kesepian itu dengan mengutip cuitan The
Economist di Twitter, “Loneliness is the leprosy of the 21st century.”
Kesepian adalah wabah di abad ke-21. Ini bukan hal baru, tentu
saja. Lima puluh tahun sebelumnya, Paul McCartney sudah menulis lagu “Eleanor
Rigby”. “All the lonely people. Where do they all come from?” Mereka yang kesepian tidak
hanya berada di Eropa dan Amerika Utara. Pada 2021, sebuah survei di
Indonesia menunjukkan bahwa 98 persen responden merasa kesepian. Tentu ini
berhubungan dengan pandemi Covid-19 yang membuat orang terkurung. Tapi
sejumlah survei sebelum dan sesudahnya menunjukkan meningkatnya kesepian di
Indonesia, meski angkanya tak setinggi itu. “Neoliberalisme, tentu
saja, bisa disalahkan atas kesepian,” kata Alberti. Kapitalisme melahirkan
industrialisasi yang memicu urbanisasi. Ada yang tercabut dari akarnya, ada
nilai-nilai komunal yang menipis karena hak pribadi menebal. Itulah yang
melahirkan orang-orang kesepian seperti Eleanor Rigby di negara-negara maju,
tapi tidak di negara berkembang seperti Indonesia. Di Indonesia, kita mungkin
bisa bersembunyi dari kesepian akibat perubahan ekonomi, tapi tidak dari
kesepian yang muncul dari teknologi. Dalam gelombang digital, sekarang semua
bisa tertular kesepian. Wabah kesepian yang ditulis oleh The Economist dan
Alberti bisa dilihat di mana-mana. Digitalisasi memberikan
ilusi tentang kebersamaan. Kita sibuk menyapa, mengomentari, saling colek,
menangis dan tertawa bersama, di dunia maya. Itu semua memberi ilusi
terpenuhinya kebutuhan akan kebersamaan. Seolah-olah dengan semua kesibukan
itu kita merasa bersama. Tapi ternyata ada rasa suwung yang muncul karena tak
ada kebersamaan yang nyata. Kesepian bukan sekadar
reaksi kimia di dalam otak. Itulah kenapa Stephanie Cacioppo—neurosaintis
dari University of Chicago, Amerika—berhenti memberikan obat kepada penderita
kesepian, meski sempat berhasil mengusir kegundahan dalam otak mereka di awal
eksperimennya. Satu-satunya cara untuk mengatasinya, menurut dia, adalah
memiliki hubungan nyata. Pada akhirnya, kesendirian dan kesepian tidak jauh
berbeda, meski tetap tak sama. Tak jauh dari biara Abuna
Shedraq, masih di Lembah Natrun, ada danau asin, tempat orang-orang di masa
lalu memanen garam. Konon, kata natrium (garam) diambil dari nama lembah ini. Salah satu fungsi utama
garam Natrun adalah sebagai zat pengawet jenazah para firaun. Bukan hanya
penguasa yang dimumikan, tapi juga anggota keluarga, pembantu, bahkan
binatang peliharaan mereka. Bagi keluarga yang ditinggalkan, mendiang tak
boleh kesepian saat bangkit dari kematian. Kelak. ● Sumber : https://majalah.tempo.co/read/marginalia/169578/kesepian-kita |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar