Demokrasi,
Sopan Santun, dan Civic Intelligence Aad
Satria Permadi : Dosen
Psikologi Politik, Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta |
REPUBLIKA, 10 Agustus 2023
Narasi 'Bajingan Tolol Rocky Gerung' ramai di
media massa dan maya. Pihak yang paling ribut adalah mereka yang tidak suka
dengan penyataan RG. Ada yang menuntut RG minta maaf, ada yang balik menghina
RG, sampai ada yang demonstrasi dengan massa yang dapat dihitung dengan jari
tangan dan kaki. Reaksi tersebut viral di media massa, terutama di dunia
maya. Intinya, orang-orang yang terganggu dengan
pernyataan RG menuntut sopan santun jika mengkritik Presiden. Presiden adalah
simbol negara, kata mereka. Ada juga yang menganggap Presiden sebagai
keluarganya. "Presiden Jokowi adalah bapak kami," kata mereka. Tentu keduanya salah kaprah. Presiden itu diganti
secara periodik, sehingga tidak mungkin dianggap sebagai simbol negara,
apalagi sebagai 'bapak'. Namun, begitulah kemarahan, kadang perlu diikuti
dengan dramatisasi yang di luar nalar, agar memancing kemarahan orang lain
juga. Budaya sopan santun Jika memakai etika budaya, terutama budaya Jawa,
tentu perkataan RG akan terasa tidak sopan. Hal ini karena budaya masyarakat
Jawa yang terbiasa dengan feodalisme. Dalam bahasa akademiknya, high power
distant. Seseorang dengan power, jabatan, atau usia yang lebih tinggi, sudah
seharusnya diperlakukan dengan sopan. Bahasa perlu di-hinggil-kan,
postur-gestur tubuh perlu dibungkuk-kan, dan intonasi suara perlu
direndahkan. Semua dilakukan semata-mata untuk menjaga perasaan orang yang
dianggap 'lebih tinggi' tersebut. Tapi bukan berarti, orang Jawa tidak memiliki
cara untuk menyampaikan ketidaksetujuannya kepada orang yang dianggap
derajatnya lebih tinggi. Di dalam keraton, etikanya adalah tidak boleh
berkata tidak atas titah raja. Namun, ketika penasehat kerajaan merasa
pendapat rajanya benar-benar salah, maka mereka tetap berkata tidak dengan
cara yang berbeda. Biasanya, para penasehat tersebut membenarkan
terlebih dahulu pendapat rajanya, lalu diikuti dengan mengingatkan dampak
yang terjadi jika keputusan raja dilaksanakan. Setelah itu, gongnya adalah
memberikan pesan bahwa dirinya sudah mengingatkan dan tidak ikut-ikut
bertanggung jawab. Misalnya, jika diterjemahkan dalam bahasa Indonesia,
penasehat berkata, "baik Tuanku, pendapat tuan sangat bagus. Saya hanya
mengingatkan saja. Misalnya ada apa-apa, saya hanya bisa membantu di belakang
Tuan". Yang paling nyeni dari perilaku orang Jawa adalah
mereka juga menggunakan gaya sopan-santun justru untuk menghina orang yang
mereka anggap pantas dihina. Saya teringat berita kriminal, seorang pencuri
ditangkap polisi. Lalu ketika sampai di kantor polisi, pencuri itu disambut
oleh polisi seperti mereka sedang menyambut tamu istimewa. Padahal si pencuri
sedang diborgol, dan kalau tidak salah dalam keadaan pincang kakinya. Entah mengapa kakinya sampai seperti itu.
Sehingga yang terlihat adalah pemandangan yang aneh. Ada sekelompok orang
berperilaku sopan santun kepada sosok yang jelas kebejatannya. Orang yang
kecerdasan indigenous-nya bagus, pasti paham, bahwa itu adalah tindakan
pelecehan. Penghormatan yang berlebihan terhadap perilaku
yang tidak terhormat, sebenarnya adalah penghinaan. Sama seperti, seorang
anak yang bapaknya hansip. Lalu ketika bermain dengan teman-temannya, ia
dipanggil dengan 'anak jendral'. Maka sebenarnya itu adalah penghinaan, bukan
pujian. Itulah sebabnya, dalam teologi Islam, Allah
subhanahu wa ta’ala melaknat orang yang mengatakan Nabi Isa sebagai anak
Tuhan. Selain karena hal tersebut melecehkan Tuhan, panggilan 'Anak Tuhan'
adalah pelecehan terhadap Nabi Isa AS itu sendiri. Nabi Isa adalah anak manusia. Memanggilnya dengan
sebutan 'Anak Tuhan' adalah penghinaan orang yahudi kepada Nabi Isa AS. Kalau
dalam psikologi, sering dipahami dengan, "sesuatu yang berlebihan,
justru menimbulkan makna yang sebaliknya." Bukankah jika orang terlalu sering tertawa,
justru perlu dimaknai sebagai orang yang penuh beban hidup? Bahkan orang jika
terlalu bahagia justru akan menangis. Dengan perspektif di atas, sebenarnya perilaku
politik Indonesia itu penuh dengan penghinaan. Bahkan, yang menghina merasa
mendukung. Contoh, timses capres atau buzzer tokoh tertentu, sering
melebih-lebihkan atribut sosial junjungannya. Semasa kampanya pilpres 2019, seringkali capres
diberi label yang melampaui kapasitasnya. Ada yang disamakan dengan Sayyidina
Umar bin Khattab. Ada yang disamakan seperti Nabi Isa. Ada juga yang
dikatakan titisan Bung Karno. Padahal masyarakat melihat sendiri, betapa jauh
kualitas capres-capres tersebut dari Sayyidina Umar, Sayyidina Usman, apalagi
dengan Nabi Isa AS. Ini sebenarnya penghinaan. Tapi karena mereka tidak punya
kecerdasan indigenous, maka merasa hal tersebut hanya sekedar promosi,
layaknya iklan-iklan di televisi. Hakikat penghinaan dan pujian Penghinaan adalah memberikan atribut negatif atau
buruk terhadap perilaku atau sifat orang lain. Pujian adalah kebalikan dari
penghinaan. Namun, hakikatnya hinaan dan pujian itu sifatnya netral. Menghina
orang lain belum tentu buruk, dan memuji orang lain belum tentu baik. Hinaan bisa saja dianggap sebagai kebaikan, atau
sebagai akhlak yang mulia. Begitu juga pujian. Ia dapat dikatakan sebagai
akhlak mulia, juga dapat dikatakan sebagai akhlak tercela. Semua tergantung
konteks hinaan atau pujian tersebut. Penghinaan baru dapat berkonotasi buruk jika
atribut negatif dilekatkan kepada orang yang berperilaku baik. Jika ada
Muslimah menjadi ibu rumah tangga karena taat kepada suaminya, lalu anda
katakan dia sebagai budak lelaki, maka istilah 'budak lelaki' adalah
penghinaan. Karena taat kepada suami dalam perkara-perkara yang tidak haram
adalah kebaikan, sedangkan 'budak lelaki' adalah istilah merendahkan perilaku
kebaikan tersebut. Namun, misal ada pejabat yang korupsi uang bansos,
lalu anda beri attribut 'bajingan tengik' pada perilaku korupsinya, maka itu
tidak bisa dikatakan akhlak tercela. Justru hal tersebut bisa diartikan
sebagai akhlak terpuji. Alasannya adalah memberi label buruk kepada perilaku
buruk, memang sudah sepantasnya. Selain itu, efek sosialnya adalah edukasi dan
efek jera. Masyarakat akan lebih paham dengan istilah yang mengandung unsur
sentimen daripad argumen. Melekatkan atribut 'bajingan tengik' kepada
koruptor bansos akan membuat masyarakat jijik dengan perilaku tersebut. Ada yang membantah, contoh kedua di atas tidak
sesuai dengan nilai-nilai agama. Siapa bilang! Kalau merujuk tarikh Islam,
para penjahat kakap yang kejahatannya memberikan dampak sosial yang luas pada
masyarakat, diberi label buruk oleh Rasulullah salallahu ‘alaihi wa sallama. Contoh, Amr bin Hisyam, seorang petinggi Quraish
musuh bebuyutan Rasulullah salallahu ‘alaihi wa sallama. Masyarakat Quraish
memberinya gelar 'Abul Hakam' atau bapak kebijaksanaan. Kalau zaman Yunani,
ia setara filosof, karena pembawaannya santun dan kata-katanya dianggap
sangat bijaksana kala itu. Namun ia adalah orang yang sebenarnya korup dan
menentang kebenaran. Sehingga masyarakat Quraish kala itu benar-benar terbelakang
karena orang ini. Rasulullah salallahu ‘alaihi wa sallama melarang
sahabat-sahabatnya memanggi Amr bin Hisyam dengan panggilan 'Abul Hakam'.
Beliau menyematkan atribut baru kepada Amr bin Hisyam yaitu 'Abu Jahal', atau
biangnya kedunguan. Semata-mata agar orang Quraish memahami hakikat perilaku
Amr bin Hisyam dari nama barunya tersebut. Juga agar orang Quraish jijik dan
menjauh darinya. Apakah Rasulullah salallahu ‘alaihi wa sallama
melakukan penghinaan? Ya jelas itu! Tapi apakah penghinaan yang dilakukan
Rasulullah salallahu ‘alaihi wa sallama adalah bentuk akhlak tercela? Tidak!
Justru itu adalah sebaik-baik akhlak. Akhlak inilah yang pernah coba ditiru
oleh Pemuda Muhammadiyah ketika dipimpin oleh Dahnil Anzar Simanjuntak.
Dahnil membuat gerakan memanggil koruptor dengan sebutan 'maling'. Karena
kata 'maling' itu secara psiko-kultural lebih dipahami, dan merendahkan
harkat derajat pelakunya. Selain itu, lebih menggerakkan masyarakat untuk
menjauhi perilaku korupsi, dan menjauhi pelaku korupsi. Sebaliknya, pujian itu tidak selalu baik. Pujian
bisa jadi buruk jika tidak tepat konteks. Anda memuji perilaku baik, adalah
kebaikan. Namun, jika anda memuji-muji perilaku, atau orang yang jelas-jelas
melakukan keburukan, maka itu justru akhlak yang tercela. Bayangkan saja, ada orang yang di hadapan anda
mengatakan, "Masya Allah...baik sekali presiden kita, memberikan
lapangan kerja kepada warga negara asing". Padahal di negaranya,
pengangguran merajalela. Apalagi lapangan kerja yang diberikan kepada orang asing
itu adalah lapangan kerja yang mampu dikerjakan oleh tenaka kerja lokal.
Pujian seperti itu, selain salah kaprah, salah tempat, juga nir-empati sama
sekali. Atau lebih mudahnya, pujian yang seperti itu adalah pujian yang
tercela. Etika demokrasi Dalam konteks berbangsa dan bernegara, etika
demokrasi dijunjung tinggi. Salah satu prinsip demokrasi adalah kesetaraan.
Kesetaraan pada dasarnya anti-tesis dari feodalisme, yang mewajibkan sebagian
masyarakat merendahkan diri kepada sebagian kelompok masyarakat lain.
Konsekuensinya adalah, etika hubungan sosialnya juga akan berbeda dengan
etika budaya feodal. Seseorang dapat mengatakan ketidaksetujuan secara lugas
kepada pengelola pemerintahan, tanpa perlu mempertimbangkan apakah pejabatnya
tersinggung atau tidak. Singkatnya, prinsip yang dikenal demokrasi adalah
kesetaraan dan kebebasan berpendapat, bukan sopan santun. Dalam demokrasi, kebebasan berpendapat tidak
boleh dihalangi dengan syarat apapun, termasuk syarat 'tidak boleh menghina'.
Karena jika berpendapat diikuti dengan syarat 'tidak boleh menghina' maka itu
artinya orang wajib memuji ketika berpendapat. Hal tersebut tidak bisa
diterima oleh demokrasi karena syarat 'tidak boleh menghina' sama dengan
menghilangkan prinsip kebebasan. Warga negara tidak memiliki kebebasan
menghina atau memuji. Jadinya, warga negara hanya diwajibkan memuji saja. Ini
yang ditolak demokrasi. Namun, kebebasan dalam demokrasi bukanlah
kebebasan dalam arti bebas memaksakan kehendak. Warga negara dibebaskan
menyampaikan pendapatnya dengan ekspresi apa pun, namun tidak bolek
memaksakan pendapatanya harus diterima oleh penguasa. Penguasa punya hak
mendengar atau tidak mendengar aspirasi dari warga negara. Atau dalam bahasa
metaforisnya, pemerintah boleh tutup telinga, tapi tidak boleh menutup mulut
warga negara. Pemerintah menjamin kebebasan berpendapat, tapi boleh tidak
menanggapi sama sekali. Kalau kita kembali ke kasus RG yang dianggap
menghina warga negara, maka hubungan antara RG dan presiden Jokowi tidak ada
masalah dalam perspektif demokrasi. RG melampiaskan kekesalannya dengan
mengatakan presiden Jokowi 'Bajingan tolol' dan presiden Jokowi diam saja
alias tidak menanggapi kritik RG. Sudah benar itu hubungan keduanya! Presiden
Jokowi tidak menuntut RG atas tindakan penghinaan, itu artinya presiden
Jokowi menjaga kebebasan berpendapat warga negara. Presiden diam artinya
'tutup telinga', dan itu hak demokratis seorang penguasa. Civic intelligence Yang tersinggung justru orang-orang yang tidak
berkaitan sama sekali dengan interaksi RG dan presiden Jokowi. Bahkan,
orang-orang yang tersinggung ini adalah orang-orang pemerintahan.
Ketersinggungan mereka sampai pada taraf tidak cerdas berwarga negara, alias
civic intelligence-nya rendah. Alasannya paling tidak ada dua. Pertama, warga
negara Indonesia memilih presiden, bukan raja. Presiden adalah kekuasaan
sekaligus jabatan publik yang diberikan secara demokratis. Oleh karenanya,
interaksi antara warga negara dan presiden menggunakan etika demokrasi, bukan
etika kerajaan. Dalam etika demokrasi, warga negara bebas
menyampaikan pendapatnya. Kebebasan ini tidak boleh dihalangi oleh kaedah
'tidak boleh menghina' atau sejenisnya. Saya hanya ingin mengatakan, orang
yang ikut-ikutan tersinggung dengan ucapan RG kepada presiden Jokowi seperti
orang yang kesadarannya masih terjebak di masa feodalisme. Sampai-sampai
menuntut RG untuk dipenjara. Mereka seperti ikut pemilu, tapi bukan untuk
mengangkat presiden. Mereka seperti orang yang ke TPS untuk memilih raja.
Aneh bin ajaib! Orang yang civic intelligence-nya bagus, akan
mengerti konteks interaksi sosial. Mereka tidak akan menggunakan etika
keluarga ketika sedang berinteraksi sebagai warga negara. Tapi kenyataannya,
banyak yang tersinggung dengan RG sampai-sampai mengatakan, "Jokowi
adalah bapak kami". Padahal bapak itu sifatnya permanen, sedangkan
presiden adalah jabatan sementara. Orang-orang yang membawa-bawa perasaan
kekeluargaan, padahal bukan siapa-siapanya Jokowi, adalah orang yang civic
intelligence-nya tidak berfungsi sehingga kesadarannya diambil alih oleh
perasaan-perasan yang tidak masuk akal. Kedua, orang yang tersinggung, padahal mereka
bagian dari pemerintahan, seharusnya mereka memberikan counter argument
kepada RG. Sampaikan data-data yang menunjukkan bahwa RG keliru. Bukan malah
mengajak masyarakat untuk memenjarakan warga negara lain. Apa yang mereka
lakukan ini seperti centeng (preman) kerajaan. Artinya sama saja, tubuh para
pejabat ini hidup di zaman demokrasi, namun kesadarannya masih ada di zaman
feodal. Sadar konteks etika Orang yang cerdas berwarga negara, mengetahui
konteks etika interaksi sosial. Orang-orang ini paham perbedaan etika dalam
keluarga, pertemanan, hubungan guru dan murid, dengan etika bernegara secara
demokratis. Problem kritisime sebenarnya bukan hina-menghina, atau
puji-memuji. Namun lebih pada kecerdasan warga negara membedakan konteks
interaksis sosial. Masalah muncul ketika orang menilai interaksi bernegara
dengan kacamata etika keluarga atau etika kerajaan, seperti yang sudah
dijabarkan di atas. Atau di dunia kampus, mahasiswa memakai etika bernegara-demokrasi
ketika berinteraksi dengan dosennya. Sehingga menganggap mahasiswa memiliki
kedaulatan tertinggi di kampus. Padahal kesetaraan dan kedaulatan di kampus
adalah kesetaraan dan kedaulatan intelektualitas. Bukan kedaulatan berkaitan
dengan kepemilikan dan penentuan kebijakan kampus. Ini yang masih menjadi
tantangan kita bersama. Sebagai penutup, yang perlu kita khawatirkan
bukan perpecahan bangsa karena kritik. Namun lebih kepada ketidakcerdasan
berwarga negara. RG dan Presiden Jokowi sudah cerdas berwarga negara.
Keduanya menampilkan interaksi bernegara dengan etika demokrasi yang tepat.
Justru yang perlu introspeksi adalah mereka yang merasa tersinggung dengan
interaksi RG dan Presiden Jokowi. ● Sumber :
https://news.republika.co.id/berita/rz5sj2291/demokrasi-sopan-santun-dan-civic-intelligence |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar