Minggu, 13 Agustus 2023

Rocky Gerung, Rendra, dan Kritik yang Merdeka

Raudal Tanjung Banua : Penyair dan Anggota Grup Kuncen Pantai Barat

JAWA POS, 11 Agustus 2023

 

                                                

 

KRITIK Rocky Gerung (RG) yang terbilang keras (sebagian menyebut kasar) atas kinerja Presiden Joko Widodo sejatinya tak mengejutkan di negara demokrasi, boro-boro bikin heboh. Setidaknya jika dikaitkan dengan dua hal pokok: sosok dan posisi. Sosok RG selama ini dikenal kritis dengan narasi-narasi filosofisnya. Posisinya pun di luar ring kekuasaan.

 

Ada memang tambahan ketiga: situasi. Kita tahu, sekarang adalah ’’tahun politik” di mana segala sesuatu menyangkut politik rawan memancing kehebohan publik. Tapi, benarkah ’’bonus” tahun politik membuat kasus RG heboh? Atau ketidaksiapan menerima risiko demokrasi? Lalu, siapa gerangan paling heboh?

 

Menurut saya, ada dua kategori. Pertama, mereka yang heboh karena ’’terkejut” atau ’’pura-pura terkejut” lantaran risalah moral. Dalam tradisi masyarakat timur, kata mereka, kritik harus santun dan sopan. Cara dan kata yang dianggap tak sesuai unggah-ungguh niscaya batal demi adab, sekalipun konten kritiknya benar.

 

Hal ini dapat ditengarai dari sebagian pihak yang gusar karena istilah verbal pelaku dalam mengkritik. Mereka anggap itu pelecehan simbol negara sehingga perlu dibawa ke ranah hukum. Sebagian menghadang acara RG dan unjuk rasa ke kediamannya. Pangsa ini sebenarnya sudah direngkuh pemain politik yang berkepentingan dengan tahun politik.

 

Kedua, mereka yang menyoal hal substansial. Bagi mereka bukan tetek bengek istilah teknis, melainkan efek kritik bagi kemaslahatan. Jika kritik meminimalkan efek mubazir, itu lebih baik karena terbebas dari kehebohan sesaat dan kritik pun jernih sampai alamat.

 

Kritik yang Merdeka

 

Akan tetapi, bagi penyoal substansial, termasuk saya, dua hal pokok di atas –sosok dan posisi pengkritik– jauh lebih menentukan. Sosok RG yang kritis sangat dibutuhkan bangsa ini, sekalipun kadang verbal, itu soal lain. Bahasa bisa beda, apalagi mengekspresikan situasi yang, pinjam Chairil Anwar, terasa ’’menekan-mendesak’’.

 

Hanya saja, dari segi posisi, RG tampak mudah ’’digeret” ke sana kemari oleh jaringan yang mengatasnamakan kelompok kritis. Posisinya jadi kurang jelas. Alih-alih membuatnya tampak sebagai artis ketimbang aktivis. Pikiran-pikirannya ’’tercecer” dan terfragmen, karena posisinya yang ngambang, akademisi atau praktisi? Inilah soalnya.

 

Dewasa ini, dalam level tertentu, kritik-mengkritik bukan barang mahal. Di media sosial berseliweran aneka kritik parsial. Sebagai sosok akademis, RG seharusnya bisa lebih mengelaborasi dan mengonstruksi persoalan. Tentu melampaui lintasan isu di media sosial yang potensial ’’digoreng”.

 

Tapi ingat, belakangan RG bermetamorfosis dari sosok akademik ke intelektual publik. Karena itu, simbol dan aksesnya juga bersifat publik yang relatif cair seperti media sosial atau YouTube. Beda dengan publikasi sebelumnya, di majalah, koran, atau jurnal. Dulu gagasannya ditulis dan dipresentasikan, kini berupa opini lisan yang direkam dan disebarkan.

 

Tak mudah memang bermetamorfosis menjadi intelektual publik karena arenanya beda sekali. Risiko juga tanggung sendiri. Buktinya, tak banyak sosok berlatar akademik mau mengambil posisi tersebut. Lebih mudah beralih dari ruang akademik ke kursi kekuasaan, misalnya dilantik menjadi pejabat publik. Sebagaimana tak mudah bagi sebagian pihak menggeser sosok dan posisi seseorang –seperti RG– dari citra akademis ke arena pragmatis.

 

Posisi baur tersebut membuat sosok dan posisi RG rentan bias dan rawan serangan lawan. Ia mesti memperjelas posisi, sebagaimana Arief Budiman era 90-an berhimpun bersama sejawat dalam wadah dan gerakan publik serta fokus ke isu utama seperti golput.

 

Di atas semua itu, kita butuh ruang kritik yang merdeka. Tanpa itu, kritik mudah dipelintir oleh situasi. Jika perlu dalam bulan kemerdekaan ini, kibarkan bendera ’’kurikulum kritik merdeka” supaya situasi tak jadi ruang aji mumpung.

 

Pertama, merdeka sejak dalam pikiran, artinya bebas merawat dan menyatakan pikiran. Bagaimanapun ekspresi seseorang –sepanjang bisa dipertanggungjawabkan– perlu mendapat jaminan kebebasan. Kedua, merdeka dari posisi di mana pikiran itu disampaikan. Pengkritik tidak tersandera oleh kepentingan kelompok yang mengundang dan menggadang-gadangnya. Kritik adalah untuk kemaslahatan bersama.

 

Ketiga, merdeka dari ancaman dan tuntutan, fisik maupun nonfisik. Baik tuntutan maaf maupun hukum. Meski tuntutan hukum jelas lebih baik dibanding tindakan di luar hukum, tapi juga jadi preseden jalan pintas. Apalagi jika memakai UU ITE yang bermasalah.

 

Spirit Rendra

 

Dulu, sosok Rendra dikenal tajam mengkritik rezim Orde Baru. Ideologi pembangunanisme jadi bulan-bulanan dalam apa yang ia namakan ’’puisi pamflet”.

 

Tanggal 28 April 1978 Rendra dilempari amonia ketika membaca puisi di TIM. Tapi, acara dilanjutkan setelah mantan Kapolri Hoegeng yang duduk sederet dengan Bung Hatta berdiri di atas kursinya. ”Terus, terus,” teriaknya (Tempo, 6 Mei 1978 dalam Ketika Rendra Baca Sajak, ed Edi Haryono, 2004: 59).

 

Rendra menjawab, ”Saya tidak mundur. Apakah saudara akan mundur?” Penonton menyambut: ’’Tidaaaak.” Maka, Rendra membaca puisinya kembali: Apabila kritik hanya boleh melalui saluran resmi, maka kehidupan akan menjadi sayur tanpa garam…”

 

Tapi, besoknya justru Rendra dipanggil Kodim 0501 Jakarta Pusat. Setelah diinterogasi, ia ditahan Laksusda Jaya. Tak kepalang tanggung: enam bulan tanpa pengadilan. Ia dituduh melanggar Pasal 154, 155, dan 156 KUHP tentang Penyebaran Kebencian (Kompas, 18 Oktober 1978, ibid). Situasi saat itu memang represif. Akan tetapi, Rendra tak mundur. Sosok dan posisinya jelas sampai ia berpulang, 6 Agustus 2009.

 

Kita pantas mengenang 14 tahun Rendra berpulang dengan mewarisi spiritnya yang kritis dan merdeka. Rendra juga mencetuskan gagasan ’’gagah dalam kemiskinan” untuk aktor-aktor Bengkel Teater supaya semangat berpentas dalam keterbatasan. Begitu pula kiranya di pentas kebangsaan. HUT Ke-78 RI perlu jadi momentum bagi aktor-aktor cendekiawan, termasuk seniman, untuk tetap kritis dalam situasi apa pun. Meski miskin apresiasi dari penguasa dan para pendukungnya. Merdeka!

 

Sumber :   https://www.jawapos.com/opini/012652852/rocky-gerung-rendra-dan-kritik-yang-merdeka

 

  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar