Senin, 28 Agustus 2023

 

Geliat Pengikut Ahmadiyah di Inggris Raya

Yandhrie Arvian :  Redaktur Eksekutif Koran Tempo sejak Juli 2021

MAJALAH TEMPO, 27 Agustus 2023

 

 

                                                           

SUDAH empat kali Aboubacarr Drammeh datang ke Jalsah Salanah di Britania Raya. Empat kali pula penganut Ahmadiyah asal Gambia ini menghirup atmosfer yang berbeda. Bukan hanya bertemu dengan pengikut Ahmadiyah dari pelbagai penjuru dunia, Drammeh merasakan pengalaman spiritual yang unik setiap kali berkunjung ke sana.

 

“Setiap pulang dari Jalsah Salanah, saya memetik pelajaran,” ujar ilmuwan biomedis yang bekerja di Champlain, Minnesota, Amerika Serikat, ini kepada Tempo, Sabtu, 29 Juli lalu.

 

Pengetahuan baru itu, antara lain, ia peroleh dari khalifah kelima Ahmadiyah, Hazrat Mirza Masroor Ahmad. Di Jalsah Salanah, Drammeh dapat mendengarkan langsung nasihat-nasihat Masroor Ahmad. Pengalaman dari Jalsah Salanah, Drammeh menambahkan, memberi pengetahuan yang dapat mengangkat akhlak dan spiritualitasnya.

 

Sama seperti sebelumnya, pertemuan tahunan komunitas Ahmadiyah ini juga mengundang berbagai pembicara dari berbagai negara. Ada anggota parlemen, akademikus, aktivis buruh, tokoh agama, dokter, dan perwakilan komunitas adat. Topik yang dibicarakan beragam, dari kebebasan beragama, kekerasan dan persekusi, hingga pentingnya kampanye damai Ahmadiyah.

 

Daya pikat itulah yang membawa Drammeh kembali ke Jalsah Salanah. Dari Amerika Serikat, pria 40 tahun ini terbang ke tanah kelahirannya, Gambia, sebelum memboyong ibunya ke Inggris demi menghadiri Jalsah Salanah. Bersama ribuan anggota jemaah lain, Drammeh bermalam di tenda pria. Sementara itu, ibunya menginap di tenda perempuan.

 

Menyemut di lapangan rumput yang basah, tenda-tenda itu bertebaran di sekujur Hadeeqatul Mahdi, Oakland Farm, Alton—satu setengah jam perjalanan naik mobil dari London. Di area seluas 87 hektare itulah Jalsah Salanah berlangsung pada 28-30 Juli 2023.

 

Hujan hampir tiap hari mengguyur Hadeeqatul Mahdi. Dari siaran radio lokal saya mendengar: inilah musim panas paling lembap dalam beberapa tahun terakhir. Di lokasi Jalsah Salanah, tanah berlumpur melapisi jalanan di antara tenda-tenda, menghambat laju kerumunan manusia. Tapi kendala itu tidak menyurutkan tekad mereka antre menuju tenda utama.

 

Di dalam tenda utama, pekik "Nara-e-takbeer…Allahu Akbar...Islam Ahmadiyah…." terus bergema. Setiap hari ada sesi pembacaan Al-Quran. Doa dan salawat memuja Nabi Muhammad dilantunkan.

 

Panitia mencatat setidaknya 41.654 orang memadati Jalsah Salanah di Britania Raya 2023. Mereka berasal dari 118 negara. Menurut Mirza Masroor Ahmad, jumlah peserta Jalsah Salanah tahun ini naik dari tahun sebelumnya, yang mencapai 39.829 orang. Boleh jadi inilah pertemuan terbesar komunitas Ahmadiyah di seluruh dunia sejak mereka memindahkan pusat operasional dari Pakistan ke Inggris pada 1984.

 

Pengikut Ahmadiyah pada dasarnya punya Jalsah Salanah di negara masing-masing. Di Amerika Serikat, Jalsah Salanah berlangsung beberapa pekan sebelum pertemuan di Britania Raya. “Tapi Jalsah Salanah di Inggris adalah pusatnya. Induk dari semua Jalsah,” kata Faheem Younus Qureshi, ahli penyakit menular dari University of Maryland, Amerika Serikat.

 

Dibanding Jalsah Salanah pertama, perhelatan di Hadeeqatul Mahdi telah menjadi pertemuan raksasa. Jalsah Salanah pertama digelar pada 1891, tak lama setelah Mirza Ghulam Ahmad mendirikan Ahmadiyah di Qadian, India. Pengikut yang hadir hanya 75 orang. Jalsah Salanah terus berkembang dan menarik perhatian. Sebelum Ahmadiyah memindahkan pusatnya ke Rabwah, Pakistan, pada 1947, Jalsah Salanah 1946 di Qadian pernah dihadiri 40 ribu anggota jemaah.

 

Di Inggris, Jalsah Salanah pertama berlangsung di Masjid Fazl, London, pada Agustus 1964. Menteri Negara Inggris untuk Timur Tengah, Afrika Utara, Asia Selatan, dan Perserikatan Bangsa-Bangsa Lord Tariq Ahmad punya sepotong cerita. Dia mengungkapkan, ide penyelenggaraan Jalsah Salanah muncul ketika ayahnya, Mansoor Ahmad BT, bertemu dengan Bashir Ahmad Rafiq Khan, Imam Masjid Fazl. Keduanya teman lama di India sebelum Mansoor Ahmad pindah ke Skotlandia. “Mereka berpikir, kenapa tidak menyelenggarakan Jalsah Salanah di Inggris,” ucap Tariq Ahmad. Gayung bersambut. Pertemuan digelar di halaman masjid.

 

Dalam Jalsah pertama itu ada sebuah foto yang menunjukkan Bashir Ahmad Rafiq Khan duduk di sebelah Abdul Aziz Deen, Amir Ahmadiyah Britania Raya. Di sebelahnya, Menteri Luar Negeri Pakistan (1947-1954) Muhammad Zafrullah Khan menyampaikan pidato. Sementara itu, Mansoor Ahmad berdiri di belakang mereka, bertugas menjaga keamanan. “Pertemuan itu sungguh simbolis,” tutur Tariq Ahmad kepada Tempo.

 

Sejak saat itu, Jalsah Salanah di Inggris makin ramai. Tempat pertemuan pun berpindah-pindah, dari balai kota Wandsworth ke bundaran Robin Hood di Roehampton hingga ke aula Tolworth. Rata-rata jumlah anggota jemaah yang hadir 2.500-3.000 orang.

 

Memanasnya situasi politik di Pakistan mendorong khalifah keempat Ahmadiyah, Hazrat Mirza Tahir Ahmad, hijrah ke London pada April 1984. Ketika itu rezim militer Jenderal Muhammad Zia-ul-Haq melarang jemaah Ahmadiyah beribadah. Amendemen kedua konstitusi Pakistan menyatakan Ahmadiyah bukan Islam. Pemerintah Pakistan juga melarang penyelenggaraan Jalsah Salanah. Padahal pada tahun sebelumnya pertemuan akbar di Rabwah dihadiri 250 ribu Ahmadi—sebutan bagi pengikut Ahmadiyah. Sejak saat itu, pusat Ahmadiyah berpindah ke Masjid Fazl.

 

•••

 

MASJID putih dengan kubah hijau itu terletak di Gressenhall Road, Southfields, London. Didesain oleh firma arsitek TH Mawsons and Sons, bangunan itu menggabungkan gaya Mughal klasik dan kontemporer Inggris. Di salah satu sudut tembok terpahat tulisan: “Masjid London dibangun pada 1924 oleh gerakan Islam Ahmadiyah”. Inilah Masjid Fazl, masjid pertama di London dan masjid kedua di Britania Raya.

 

Hazrat Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad, khalifah kedua Ahmadiyah, meletakkan batu pertama pada 19 Oktober 1924. Pembelian lahan dan biaya pembangunan bersumber dari donasi umat, terutama dari Lajnah Imaillah (perempuan hamba Allah), organisasi perempuan Ahmadiyah. Biaya akuisisi tanah dan konstruksi saat itu 6.233 pound sterling. Mampu menampung 150 anggota jemaah, masjid ini resmi dibuka pada 23 Oktober 1926.

 

Tidak hanya membangun masjid, jemaah Ahmadiyah membeli properti di sepanjang Gressenhall Road dan Melrose Road. “Beberapa rumah di jalan ini milik warga Ahmadiyah,” ucap Kandali Ahmad Lubis, juru bicara Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI), sambil menunjuk deretan rumah di depan Masjid Fazl. Jejeran rumah putih itu kini menjadi guest house. Ada juga yang menjadi kantor sekaligus tempat tinggal.

 

Bangunan yang banyak menyimpan sejarah adalah Melrose Road 61 dan 63. Mereka menyebutnya Rumah Misi. Lokasinya persis di pertigaan antara Melrose Road dan Gressenhall Road. Dalam catatan hariannya, Bashir Ahmad Rafiq Khan menulis: “Awal-awal tiba di London pada 1959, saya tinggal di sebuah flat dua kamar. Letaknya di lantai empat Melrose Road 61.” Setelah diangkat menjadi imam masjid pada 1964, Rafiq Khan pindah ke Melrose Road 63.

 

Salah satu satu tetangga jauh Rafiq Khan adalah Abdus Salam. Ia tinggal 2,4 kilometer dari Masjid Fazl. Masih menurut catatan Rafiq Khan, Abdus Salam rajin menunaikan salat di Masjid Fazl. Profesor fisika teoretis di Imperial College London ini juga acap mengundang Rafiq Khan bersantap sarapan di rumahnya. Belakangan, Abdus Salam dianugerahi Nobel Fisika pada 1974.

 

Empat tahun setelah Jalsah Salanah digelar pada 1964, Melrose Road 61 dan 63 dibongkar. Bangunan ini bersalin rupa menjadi Mahmood Hall, bersebelahan dengan Masjid Fazl. Di situ ada aula, kantor, dan apartemen kecil di lantai atas.

 

Menurut Amir JAI Maulana Mirajuddin Shahid, apartemen inilah yang kemudian ditempati Mirza Tahir Ahmad setelah hijrah pada 1984. Sejak saat itu pula Masjid Fazl menjadi pusat koordinasi Ahmadiyah internasional.

 

Sejak hijrah dari Pakistan, komunitas Ahmadiyah di Inggris makin membesar. Setahun kemudian mereka membeli lahan seluas 10,3 hektare di Tilford, Surrey, pada April 1985. Saat itu nilainya 80 ribu pound sterling. Di lahan ini mereka membangun sebuah kompleks bernama Islamabad. Untuk mempertahankan sabuk hijau kawasan Tilford, Ahmadiyah hanya boleh memanfaatkan lahan seluas 4 hektare sebagai area pembangunan.

 

Pada 26 Juli 2023, saya berkeliling di dalam Islamabad. Salah satunya ke Masjid Mubarak. Masjid ini punya satu kubah yang dikelilingi 32 sirip. Pada siang hari, cahaya matahari menembus kaca yang menempel di setiap sirip. Dua menara setinggi 13 meter menancap di kedua sisi. Setiap menara memiliki finial berlapis emas. Atap kubahnya dirancang khusus oleh firma arsitek Sutton Griffin—salah satu firma arsitek tertua di Inggris yang didirikan pada 1910.

 

Adalah Osman Chou yang meletakkan batu pertama masjid itu pada 2016. Ia adalah cendekiawan Ahmadiyah asal Cina. Mirajuddin menerangkan, Osman Chou banyak menerjemahkan ayat Al-Quran ke bahasa Cina. Ia belajar dan mengenal Islam di Rabwah, Pakistan. Pembangunan masjid rampung tiga tahun kemudian.

 

Sejak 2019, Mirza Masroor Ahmad pindah ke sebuah rumah di samping Masjid Mubarak. Sejak saat itu pula pusat koordinasi Ahmadiyah global bergeser ke Masjid Mubarak di Islamabad, setelah 35 tahun bermarkas di Fazl. Sebelumnya, Mirza Masroor Ahmad tinggal di kompleks Fazl. Ia menjadi khalifah kelima menggantikan Mirza Tahir Ahmad yang wafat pada 2003.

 

Sebenarnya Ahmadiyah pernah menyelenggarakan Jalsah Salanah di lapangan rumput Islamabad pada 1985-2004. Bagai cendawan di musim hujan, jumlah penganut Ahmadiyah terus berkembang. Tak hanya di Inggris, tapi juga di negara-negara Eropa, Asia, Afrika, dan Benua Amerika. Membeludaknya jumlah pengikut membuat mereka mesti mencari lahan baru. Pada pertengahan 2005, Ahmadiyah mengakuisisi area pertanian yang kemudian dinamai Hadeeqatul Mahdi, lokasi Jalsah Salanah sampai hari ini.

 

•••

 

BERKEMBANGNYA komunitas Ahmadiyah setelah hijrah dari Rabwah ke London membetot banyak perhatian. Sejumlah peneliti berusaha mencari jawaban. Salah satunya Kepala Organisasi Riset Ilmu Pengetahuan Sosial dan Humaniora Badan Riset dan Inovasi Nasional, Ahmad Najib Burhani. Najib menuturkan, setidaknya ada tiga faktor yang membuat makin banyak orang bergabung dengan Ahmadiyah.

 

Pertama, ikatan yang erat antar-anggota Ahmadiyah. Ini ditunjukkan dengan sikap saling membantu dalam pembangunan ekonomi. Faktor kedua adalah keyakinan spiritual dan mistik, seperti keyakinan mesianik dan keterlibatan Tuhan dalam membantu Ahmadiyah dalam urusan duniawi. Yang ketiga adalah etika dan moralitas pengikut Ahmadiyah. “Terlihat dari perilaku para mubalignya, terutama ketika mereka dihina oleh lawan-lawannya,” ujar Najib yang menulis disertasi mengenai Ahmadiyah saat menempuh studi doktoral di University of California, Santa Barbara, Amerika Serikat.

 

Untuk yang pertama, komunitas Ahmadiyah punya konsep pengorbanan harta yang disebut candah, di luar zakat dan fitrah. Besarnya bisa 1/16, 1/10, dan 1/3 dari penghasilan rutin Ahmadi. Pengelolaan candah dimanfaatkan untuk pembangunan masjid serta kegiatan kemanusiaan lain.

 

Dari pengorbanan harta ini pula aset Ahmadiyah bertebaran di mana-mana. Tak hanya di sekitar London, aset properti Ahmadiyah menyebar di seantero Britania Raya. Totalnya ada 49 aset berupa tanah dan bangunan.

 

Secara teologis, pengikut Ahmadiyah juga merasa punya pengalaman yang sama seperti yang dialami Nabi Muhammad, terutama menyangkut diskriminasi atau persekusi di masa-masa awal kenabian. “Pengikut Ahmadiyah merasakan pengalaman serupa,” kata Najib. “Untuk menegakkan kebenaran, mereka memiliki suka-duka seperti yang dialami oleh Nabi Muhammad dan para sahabatnya.”

 

Penjelasan Najib senada dengan Faheem Younus Qureshi. Menurut Qureshi, persekusi telah membuat banyak pengikut Ahmadiyah di Pakistan memilih bermigrasi dengan damai, seperti yang dilakukan oleh Nabi Muhammad dan pengikutnya ketika hijrah dari Mekah menuju Madinah. Kala itu orang-orang Mekah berusaha menghabisi Muhammad. “Apa yang terjadi setelah itu?” ucap Qureshi. “Islam makin menyebar.”

 

Di Inggris, mereka hidup nyaris tanpa persekusi. Menjamin kebebasan beragama atau berkeyakinan, kata Lord Tariq Ahmad, merupakan prioritas mendasar bagi pemerintah Inggris. “Hukum ada di tangan warga negara untuk melindungi hak-hak mereka, terlepas dari komunitas atau keyakinan yang mereka anut,” tuturnya.

 

Tanpa ada persekusi di perantauan, Ahmadiyah lebih mudah mengirim para mubalig sebagai misionaris ke berbagai sudut belahan dunia. “Misi ini menjadi salah satu kegiatan penting di Ahmadiyah,” ujar Najib.

 

Untuk menyiapkan mubalig, Ahmadiyah punya institusi pendidikan, namanya Jamia Ahmadiyah. Sekolah mubalig ini tersebar di banyak negara, antara lain Inggris, Indonesia, Jerman, Kanada, dan Tanzania. Ribuan mubalig lahir dari sekolah ini. Di Inggris, Jamia Ahmadiyah berdiri pada 2005 di Colliers Wood, sebelum pindah ke Haslemere, Surrey, pada 2012. Di Jamia, calon mubalig menempuh pendidikan selama empat-tujuh tahun untuk menjadi misionaris.

 

Sebastijan Ernst, Ahmadi asal Slovenia, mengaku mendalami Islam setelah bertemu dengan komunitas Ahmadiyah di London pada sekitar 2019. Kemudian, seorang mubalig di Slovenia mengirimkan sejumlah literatur. Beberapa buku bahkan sudah diterjemahkan ke bahasa Slovenia. Rupanya mubalig ini alumnus Jamia Ahmadiyah Inggris. Dia dikirim ke Slovenia untuk menyebarkan Islam Ahmadiyah di sana, sekaligus membangun komunitas.

 

“Ia membimbing dan menjawab setiap pertanyaan yang ada di kepala saya,” ujar Ernst. Makin banyak Ernst memperoleh jawaban, makin dekat ia dengan Islam. Pada usia 24 tahun, Ernst beralih menjadi muslim Ahmadiyah pada Desember 2022. Sebelumnya, mahasiswa University of Primorska ini beragama Kristen.

 

Ahmadiyah bukan tanpa kritik. Sejumlah kalangan menyoroti kebiasaan Ahmadi yang hanya menikah dengan sesama Ahmadi serta tidak bersedia menjadi makmum bagi komunitas lain. Menurut seorang anggota jemaah Ahmadiyah, persoalan persekusi dan fatwa yang menyebutkan Ahmadiyah bukan Islam adalah alasan Ahmadi hanya menunaikan salat di masjid mereka sendiri.

 

Kritik lain yang paling krusial adalah persoalan kenabian: apakah Mirza Ghulam Ahmad adalah imam mahdi dan Almasih yang dijanjikan? Anggapan bahwa Ghulam Ahmad sebagai nabi setelah Muhammad, kata Najib, paling sering dijadikan alat menyerang Ahmadiyah. Perihal kontroversi tersebut, Miradjuddin menjelaskan, Mirza Ghulam Ahmad adalah pembantu dan bayangan Muhammad. Dari ceramah selama Jalsah Salanah, lebih dari 90 persen referensinya adalah Al-Quran dan hadis Nabi Muhammad.

 

Di hari terakhir Jalsah Salanah 2023, jemaah di dalam tenda dan luar tenda bersama-sama mengucapkan baiat internasional. Inilah acara yang paling ditunggu-tunggu jemaah Ahmadiyah. “Telepon seluler terbaik pun baterainya perlu diisi ulang. Pada akhirnya jiwa kita perlu diisi ulang, tidak peduli seberapa baik diri kita,” ujar Qureshi. Penyegaran spiritual inilah yang menjadi alasan sebagian besar anggota jemaah Ahmadiyah datang ke Jalsah Salanah.  

 

Di ujung pertemuan, “Nara-e-takbeer...Allahu Akbar...Islam Ahmadiyah….” kembali bergema di Hadeeqatul Mahdi. ●

 

Sumber : https://majalah.tempo.co/read/selingan/169575/ahmadiyah-inggris

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar