Rabu, 15 September 2021

 

Stigma tak Logis di Pernyataan Bahasa Arab Ciri-Ciri Teroris

Muhbib Abdul Wahab ;  Wakil Ketua Umum IMLA Indonesia, Ketua Prodi Magister Pendidikan Bahasa Arab FITK UIN Jakarta

REPUBLIKA, 9 September 2021

 

 

                                                           

Seperti disambar petir di siang bolong tanpa awan dan hujan, pernyataan pengamat intelijen, Susaningtyas Nefo Kertopati, tentang bahasa Arab itu sangat tendensius, provokatif, tidak berdasar. Pernyataannya pun sangat tidak logis, dan cenderung menebar ujaran kebencian (hate speech) terhadap umat Islam, khususnya para santri, siswa, mahasiswa, guru, kiai, dan dosen bahasa Arab se-Indonesia.

 

Susaningtyas menyatakan, “Penyebaran terorisme dengan memperbanyak bahasa Arab sangat mengkhawatirkan generasi penerus bangsa. Anak muda yang sudah tergerus bahasa Arab melupakan bahasa Indonesia, bahkan tidak mau hormat kepada bendera Indonesia.”

 

Dia mengkhawatirkan anak muda tidak mau lagi hormat pada bendera RI, tidak mau menyanyikan lagu Indonesia Raya, lalu diperbanyak bahasa Arab. Selain itu, ada yang patut dipertanyakan motifnya, pengamat tersebut juga membuat pernyataan tanpa data dan fakta bahwa ciri sekolah yang berorientasi terorisme itu berkiblat ke Taliban, siswa dan gurunya tidak mau pasang foto Presiden dan Wapres, tidak mau menghafal nama-nama menteri dan parpol-parpol. Adakah data akurat hasil penelitian yang menunjukkan tuduhan tersebut?

 

Logika sesat dan menyesatkan

 

Kontan saja, pernyataan tersebut mendapat respon dari sejumlah ulama dan tokoh. Ketua Majelis Ulama (MUI) Pusat, Kiai Muhammad Cholil Nafis dalam pemberitaan di Republika.co.id, langsung merespon pernyataan tersebut yang menuding banyak sekolah di Indonesia berkiblat pada militan Taliban dan bahasa Arab sebagai ciri teroris.

 

Menurutnya, pernyataan Susaningtyas bukan sebagai pengamat melainkan penyesat. Patut diduga, pengamat ini tidak memahami bahasa Arab dan boleh jadi tidak pernah belajar bahasa Arab, sehingga mengaitkannya dengan teroris.

 

Senada Kiai Cholil Nafis, Dadang Kahmad juga sangat menyayangkan pernyataan pengamat yang tidak berbasis data dan fakta. Pernyataan bahwa bahasa Arab dikaitkan dengan terorisme itu sangat berbahaya. Bahkan, pernyataan Susaningtyas menurut Dadang merupakan bagian dari Islamofobia. Menurut Ketua PP Muhammadiyah, pernyataan itu dapat memicu gerakan pendiskreditan simbol-simbol agama yang lainnya.

 

Benar bahwa terorisme itu ada dan nyata, dan dilakukan tidak hanya oleh oknum beragama Islam. Dalam agama lain juga ada oknum-oknum yang terlibat aksi terorisme. Misalnya saja serangan teror (penembakan brutal) yang terjadi di Masjid al-Noor dan Linwood Islamic Centre di Christchurch, Selandia Baru (15/3/2019) dan menewaskan sedikitnya 50 orang dan 20 lainnya korban luka. Pelakunya jelas bukan Muslim.

 

Sebelum itu, penembakan brutal terhadap jamaah shalat Isya’ juga terjadi di Pusat Kebudayaan Islam Kota Quebec, Sainte-Foy (29/1/2017). Aksi terorisme yang menimpa umat Islam ini menyebabkan 6 orang meninggal dan 5 lainnya kritis. Aksi terorisme berdarah kembali terjadi di Quebec dengan pembunuhan keji terhadap seorang Muslim di Kota Toronto, Provinsi Ontario (12/9/2020) Korban meninggal, Mohamed-Aslim Zafis, relawan Organisasi Muslim Internasional (IMO) sekaligus pengurus Masjid Etobicoke.

 

Beberapa bulan usai penusukan seorang relawan Muslim di Toronto (6/6/2021), Provinsi Ontario menjadi saksi bisu pembunuhan keji lainnya terhadap umat Islam. Empat anggota keluarga Muslim di Kanada tewas pada Ahad (6/6) akibat tertabrak sebuah truk pikap yang melompati trotoar di London, Kanada.

 

Menurut penyelidikan polisi, penabrakan dilakukan secara sengaja oleh orang yang menyasar kejahatan rasial anti-Islam. Terorisme juga tidak hanya dilakukan oleh individu, kelompok, tetapi juga dilakukan oleh negara.

 

Israel sejatinya merupakan negara teroris yang paling keji dalam membunuhi rakyat Palestina yang tidak berdosa. Selain merampas tanah rakyat Palestina, menuduh Hamas sebagai organisasi teroris, tentara Zionis Israel secara keji dan biadab juga telah mempertontonkan aksi terorisme paling brutral sepanjang sejarah kemanusiaan terhadap Palestina.

 

Jadi, ideologi terorisme dan aksi teror itu sama sekali tidak ada kaitan dengan bahasa Arab. Karena, secara linguistik, bahasa apa pun di muka bumi itu netral, bebas dari segala “tuduhan dan penistaan” yang tidak berdasar. Bahkan, jika bahasa Arab disangkutpautkan dengan terorisme, maka secara tidak langsung penuduhnya itu telah menista Alquran yang diturunkan dalam bahasa Arab. Dengan demikian, penalaran yang mengaitkan bahasa Arab sebagai salah satu ciri terorisme merupakan logika yang kacau, sesat, dan menyesatkan.

 

Bahasa Arab itu superkeren

 

Selain sesat dan menyesatkan, logika tersebut juga merupakan bentuk stigmatisasi negatif terhadap bahasa Arab sebagai bahasa paling sempurna dan paling mulia di dunia. Stigmatisasi bahasa Arab melalui framing dan penggiringan opini yang jahat ini jelas dilatarbelakangi oleh ketidakpahaman terhadap ajaran Islam. Stigmatisasi ini juga menunjukkan “alam bawah sadar” penuduhnya bahwa dia cenderung anti Islam atau terpapar Islamofobia.

 

Padahal, bahasa Arab itu superkeren. Karena bahasa Arab merupakan satu-satunya bahasa yang mendapat garansi pemeliharaan dari Allah SWT (QS al-Hijr [15]:9), karena dipilih sebagai bahasa kitab suci yang multimukjizat. Tidak hanya isi dan pesannya yang sarat mukjizat, tetapi penggunaan bahasanya, mulai dari diksi, redaksi, gaya bahasa, keserasian kata dan maknanya juga sarat mukjizat, sekaligus menjadi bukti bahwa Islam itu agama yang benar berasal dari Allah SWT.

 

Menurut Said Nursi, dalam al-Mu’jizat al-Qur’aniyyah, bahasa Alquran itu strukturnya luar biasa apik dan fasih. Gaya bahasanya indah, puitis, dan menyentuh hati. Makna huruf, kata, frasa, klausa, kalimat, dan wacananya luas dan dalam.

 

Redaksi dan retorikanya sangat logis dan efektif. Diksi dan narasi kalimatnya sangat singkat, padat, lugas, berterima, dan bermakna. Bahasa Alquran itu menunjukkan universalitas yang superkeren, baik dari segi lafal, makna, dan ilmunya maupun gaya bahasa dan pancaran cahaya keagungan-Nya.

 

Sekadar contoh, mengapa Allah menggunakan diksi “hatta zurtum al-maqabir” (QS at-Takatsur [102]:2), bukan “dakhaltum” atau “dufintum”, padahal umumnya diterjemahkan “hingga kamu masuk ke dalam kubur”, bukan berziarah ke pekuburan. Di antara rahasia penggunaan diksi tersebut adalah kata “zurtum” itu berkonotasi kesementaraan, tidak abadi. Maksudnya, manusia berada di alam kubur itu hanya sementara, semacam alam “transit” menuju alam akhirat, sedangkan kata dakhaltum (masuk) atau dufintum (dikubur) tidak mengandung arti kesementaraan, sebagaimana orang berziarah yang tidak akan selama-lamanya berada di tempat yang diziarahinya.

 

Bahasa Arab merupakan salah satu bahasa rumpun Semitik --penggunanya tersebar di Timur Tengah, Afrika Utara dan Afrika Timur-- yang paling tua, paling dinamis, dan paling kaya kosakata. Dibandingkan dengan rumpun Semitik lainnya, seperti bahasa Aramea (Aramaik) yang hampir punah atau Bahasa Ibrani (Hebro) yang cenderung menjadi bahasa ekseklusif komunitas Yahudi, bahasa Arab mampu beradaptasi dengan perubahan zaman, sehingga kosakata yang dimilikinya terus berkembang. Dalam kamus terbesar, Lisan al-‘Arab, bahasa Arab memiliki lebih dari 80.000 akar kata dan 12.300.000 kosakata.

 

Sebagai salah satu bahasa resmi PBB sejak 1973, penutur bahasa Arab berjumlah lebih dari 467 juta orang, menjadi bahasa resmi lebih dari 22 negara di kawasan Timur Tengah dan Afrika. Dalam perspektif geolinguistik, bahasa Arab juga termasuk paling berpengaruh di dunia karena sebagian besar bahasa dunia “meminjam” kosakata dari bahasa Arab.

 

Kata azan, salat, zakat, haji, imam, makmum, mimbar, benara, kubah, rakyat, masyarakat, dewan, majelis, rukun, adil, makmur, umur, sukuk, makzul, saham, madrasah, akbar, takabur, tamak, tarif, dan sebagainya (sekitar 10 persen dari kosakata dalam KBBI) adalah kata serapan dari bahasa Arab. Artinya, bangsa Indonesia “berutang budi” terhadap bahasa Arab karena kosakatanya banyak diserap dan dipinjam darinya “tanpa pernah dikembalikan”.

 

Fakta sosial historis menunjukkan bahwa sebagian besar pendiri RI, pahlawan nasional, dan guru bangsa adalah figur teladan yang menguasai bahasa Arab. Agus Salim, KH Wahid Hasyim, Ki Bagus Hadikusumo, KH Ahmad Dahlan, KH Hasyim Asy’ari, Mas Mansur, Wahab Hasbullah, Kahar Muzakkir, Buya Hamka, Abdurrahman Wahid, M Quraisy Shihab, Ma’ruf Amin Wapres RI saat ini, dan sebagainya adalah tokoh nasional yang fasih berbahasa Arab. Apakah etis dan masuk akal, mereka yang menguasai bahasa Arab “dicap” sebagai teroris?

 

Menurut data Direktorat Pondok Pesantren Kemenag RI, santri, siswa, dan mahasiswa yang mempelajari bahasa Arab di Indonesia merupakan jumlah terbesar di seluruh dunia. Karena jumlah pesantren di Nusantara lebih dari 12 ribu dengan santri di atas 5 juta. 

Jika ditambahkan data Direktorat Jenderal Pendidikan Islam, madrasah berjumlah 82.418 buah, plus PTKIN dan PTAIS dengan jumlah pelajar dan mahasiswa lebih dari 10 juta, maka jumlah yang mempelajari bahasa Arab  di Indonesia diperkirakan lebih dari 15 juta orang. Apakah hanya karena belajar bahasa Arab mereka lalu distigmatisasi teroris?

 

Masuk akalkah mereka warga Indonesia melupakan bahasa Indonesia karena belajar bahasa Arab? Walhasil, stigmatisasi negatif terhadap bahasa Arab itu sangat merugikan dan tidak logis, bahkan berpotensi memecah belah anak bangsa. Karena itu, pengurus dan anggota IMLA (Ittihad Mudarrisi al-Lughah al-‘Arabiyyah) atau Ikatan Guru dan Dosen Bahasa Arab se-Indonesia dengan lebih dari 10.000 anggota sangat menyesalkan pernyataan dan stigmatisasi tersebut.

 

Sebagai pelajaran terpetik (lessons learned), siapapun perlu berkonsultasi dan berdiskusi dengan ahlinya sebelum menyampaikan pernyataan di ruang publik. Semoga pernyataan pengamat itu hanya keseleo lidah saja. Dan, kita semua pasti mendambakan keadaban, kearifan, dan kesantunan dalam berkomunikasi yang berbasis dan bersemi dari hati tulus dan pikiran positif.  

 

Sumber :  https://www.republika.co.id/berita/qz617f282/stigma-tak-logis-di-pernyataan-bahasa-arab-ciriciri-teroris

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar