Stigma
tak Logis di Pernyataan Bahasa Arab Ciri-Ciri Teroris Muhbib Abdul Wahab ; Wakil Ketua Umum IMLA Indonesia, Ketua Prodi
Magister Pendidikan Bahasa Arab FITK UIN Jakarta |
REPUBLIKA, 9 September 2021
Seperti disambar petir di
siang bolong tanpa awan dan hujan, pernyataan pengamat intelijen,
Susaningtyas Nefo Kertopati, tentang bahasa Arab itu sangat tendensius,
provokatif, tidak berdasar. Pernyataannya pun sangat tidak logis, dan
cenderung menebar ujaran kebencian (hate speech) terhadap umat Islam,
khususnya para santri, siswa, mahasiswa, guru, kiai, dan dosen bahasa Arab
se-Indonesia. Susaningtyas menyatakan, “Penyebaran terorisme dengan memperbanyak
bahasa Arab sangat mengkhawatirkan generasi penerus bangsa. Anak muda yang
sudah tergerus bahasa Arab melupakan bahasa Indonesia, bahkan tidak mau
hormat kepada bendera Indonesia.” Dia mengkhawatirkan anak
muda tidak mau lagi hormat pada bendera RI, tidak mau menyanyikan lagu Indonesia
Raya, lalu diperbanyak bahasa Arab. Selain itu, ada yang patut dipertanyakan
motifnya, pengamat tersebut juga membuat pernyataan tanpa data dan fakta
bahwa ciri sekolah yang berorientasi terorisme itu berkiblat ke Taliban,
siswa dan gurunya tidak mau pasang foto Presiden dan Wapres, tidak mau
menghafal nama-nama menteri dan parpol-parpol. Adakah data akurat hasil
penelitian yang menunjukkan tuduhan tersebut? Logika
sesat dan menyesatkan Kontan saja, pernyataan
tersebut mendapat respon dari sejumlah ulama dan tokoh. Ketua Majelis Ulama
(MUI) Pusat, Kiai Muhammad Cholil Nafis dalam pemberitaan di Republika.co.id,
langsung merespon pernyataan tersebut yang menuding banyak sekolah di
Indonesia berkiblat pada militan Taliban dan bahasa Arab sebagai ciri teroris. Menurutnya, pernyataan
Susaningtyas bukan sebagai pengamat melainkan penyesat. Patut diduga,
pengamat ini tidak memahami bahasa Arab dan boleh jadi tidak pernah belajar
bahasa Arab, sehingga mengaitkannya dengan teroris. Senada Kiai Cholil Nafis,
Dadang Kahmad juga sangat menyayangkan pernyataan pengamat yang tidak
berbasis data dan fakta. Pernyataan bahwa bahasa Arab dikaitkan dengan
terorisme itu sangat berbahaya. Bahkan, pernyataan Susaningtyas menurut
Dadang merupakan bagian dari Islamofobia. Menurut Ketua PP Muhammadiyah,
pernyataan itu dapat memicu gerakan pendiskreditan simbol-simbol agama yang
lainnya. Benar bahwa terorisme itu
ada dan nyata, dan dilakukan tidak hanya oleh oknum beragama Islam. Dalam
agama lain juga ada oknum-oknum yang terlibat aksi terorisme. Misalnya saja
serangan teror (penembakan brutal) yang terjadi di Masjid al-Noor dan Linwood
Islamic Centre di Christchurch, Selandia Baru (15/3/2019) dan menewaskan
sedikitnya 50 orang dan 20 lainnya korban luka. Pelakunya jelas bukan Muslim. Sebelum itu, penembakan
brutal terhadap jamaah shalat Isya’ juga terjadi di Pusat Kebudayaan Islam
Kota Quebec, Sainte-Foy (29/1/2017). Aksi terorisme yang menimpa umat Islam
ini menyebabkan 6 orang meninggal dan 5 lainnya kritis. Aksi terorisme berdarah
kembali terjadi di Quebec dengan pembunuhan keji terhadap seorang Muslim di
Kota Toronto, Provinsi Ontario (12/9/2020) Korban meninggal, Mohamed-Aslim
Zafis, relawan Organisasi Muslim Internasional (IMO) sekaligus pengurus
Masjid Etobicoke. Beberapa bulan usai
penusukan seorang relawan Muslim di Toronto (6/6/2021), Provinsi Ontario
menjadi saksi bisu pembunuhan keji lainnya terhadap umat Islam. Empat anggota
keluarga Muslim di Kanada tewas pada Ahad (6/6) akibat tertabrak sebuah truk
pikap yang melompati trotoar di London, Kanada. Menurut penyelidikan
polisi, penabrakan dilakukan secara sengaja oleh orang yang menyasar
kejahatan rasial anti-Islam. Terorisme juga tidak hanya dilakukan oleh
individu, kelompok, tetapi juga dilakukan oleh negara. Israel sejatinya merupakan
negara teroris yang paling keji dalam membunuhi rakyat Palestina yang tidak
berdosa. Selain merampas tanah rakyat Palestina, menuduh Hamas sebagai
organisasi teroris, tentara Zionis Israel secara keji dan biadab juga telah
mempertontonkan aksi terorisme paling brutral sepanjang sejarah kemanusiaan
terhadap Palestina. Jadi, ideologi terorisme
dan aksi teror itu sama sekali tidak ada kaitan dengan bahasa Arab. Karena,
secara linguistik, bahasa apa pun di muka bumi itu netral, bebas dari segala
“tuduhan dan penistaan” yang tidak berdasar. Bahkan, jika bahasa Arab
disangkutpautkan dengan terorisme, maka secara tidak langsung penuduhnya itu
telah menista Alquran yang diturunkan dalam bahasa Arab. Dengan demikian,
penalaran yang mengaitkan bahasa Arab sebagai salah satu ciri terorisme
merupakan logika yang kacau, sesat, dan menyesatkan. Bahasa
Arab itu superkeren Selain sesat dan
menyesatkan, logika tersebut juga merupakan bentuk stigmatisasi negatif
terhadap bahasa Arab sebagai bahasa paling sempurna dan paling mulia di
dunia. Stigmatisasi bahasa Arab melalui framing dan penggiringan opini yang
jahat ini jelas dilatarbelakangi oleh ketidakpahaman terhadap ajaran Islam.
Stigmatisasi ini juga menunjukkan “alam bawah sadar” penuduhnya bahwa dia
cenderung anti Islam atau terpapar Islamofobia. Padahal, bahasa Arab itu
superkeren. Karena bahasa Arab merupakan satu-satunya bahasa yang mendapat
garansi pemeliharaan dari Allah SWT (QS al-Hijr [15]:9), karena dipilih
sebagai bahasa kitab suci yang multimukjizat. Tidak hanya isi dan pesannya
yang sarat mukjizat, tetapi penggunaan bahasanya, mulai dari diksi, redaksi,
gaya bahasa, keserasian kata dan maknanya juga sarat mukjizat, sekaligus
menjadi bukti bahwa Islam itu agama yang benar berasal dari Allah SWT. Menurut Said Nursi, dalam
al-Mu’jizat al-Qur’aniyyah, bahasa Alquran itu strukturnya luar biasa apik
dan fasih. Gaya bahasanya indah, puitis, dan menyentuh hati. Makna huruf,
kata, frasa, klausa, kalimat, dan wacananya luas dan dalam. Redaksi dan retorikanya
sangat logis dan efektif. Diksi dan narasi kalimatnya sangat singkat, padat,
lugas, berterima, dan bermakna. Bahasa Alquran itu menunjukkan universalitas
yang superkeren, baik dari segi lafal, makna, dan ilmunya maupun gaya bahasa dan
pancaran cahaya keagungan-Nya. Sekadar contoh, mengapa
Allah menggunakan diksi “hatta zurtum al-maqabir” (QS at-Takatsur [102]:2),
bukan “dakhaltum” atau “dufintum”, padahal umumnya diterjemahkan “hingga kamu
masuk ke dalam kubur”, bukan berziarah ke pekuburan. Di antara rahasia
penggunaan diksi tersebut adalah kata “zurtum” itu berkonotasi kesementaraan,
tidak abadi. Maksudnya, manusia berada di alam kubur itu hanya sementara,
semacam alam “transit” menuju alam akhirat, sedangkan kata dakhaltum (masuk) atau
dufintum (dikubur) tidak mengandung arti kesementaraan, sebagaimana orang
berziarah yang tidak akan selama-lamanya berada di tempat yang diziarahinya. Bahasa Arab merupakan
salah satu bahasa rumpun Semitik --penggunanya tersebar di Timur Tengah, Afrika
Utara dan Afrika Timur-- yang paling tua, paling dinamis, dan paling kaya
kosakata. Dibandingkan dengan rumpun Semitik lainnya, seperti bahasa Aramea
(Aramaik) yang hampir punah atau Bahasa Ibrani (Hebro) yang cenderung menjadi
bahasa ekseklusif komunitas Yahudi, bahasa Arab mampu beradaptasi dengan
perubahan zaman, sehingga kosakata yang dimilikinya terus berkembang. Dalam
kamus terbesar, Lisan al-‘Arab, bahasa Arab memiliki lebih dari 80.000 akar
kata dan 12.300.000 kosakata. Sebagai salah satu bahasa
resmi PBB sejak 1973, penutur bahasa Arab berjumlah lebih dari 467 juta
orang, menjadi bahasa resmi lebih dari 22 negara di kawasan Timur Tengah dan
Afrika. Dalam perspektif geolinguistik, bahasa Arab juga termasuk paling
berpengaruh di dunia karena sebagian besar bahasa dunia “meminjam” kosakata
dari bahasa Arab. Kata azan, salat, zakat,
haji, imam, makmum, mimbar, benara, kubah, rakyat, masyarakat, dewan,
majelis, rukun, adil, makmur, umur, sukuk, makzul, saham, madrasah, akbar,
takabur, tamak, tarif, dan sebagainya (sekitar 10 persen dari kosakata dalam
KBBI) adalah kata serapan dari bahasa Arab. Artinya, bangsa Indonesia
“berutang budi” terhadap bahasa Arab karena kosakatanya banyak diserap dan
dipinjam darinya “tanpa pernah dikembalikan”. Fakta sosial historis
menunjukkan bahwa sebagian besar pendiri RI, pahlawan nasional, dan guru
bangsa adalah figur teladan yang menguasai bahasa Arab. Agus Salim, KH Wahid
Hasyim, Ki Bagus Hadikusumo, KH Ahmad Dahlan, KH Hasyim Asy’ari, Mas Mansur,
Wahab Hasbullah, Kahar Muzakkir, Buya Hamka, Abdurrahman Wahid, M Quraisy
Shihab, Ma’ruf Amin Wapres RI saat ini, dan sebagainya adalah tokoh nasional
yang fasih berbahasa Arab. Apakah etis dan masuk akal, mereka yang menguasai
bahasa Arab “dicap” sebagai teroris? Menurut data Direktorat
Pondok Pesantren Kemenag RI, santri, siswa, dan mahasiswa yang mempelajari
bahasa Arab di Indonesia merupakan jumlah terbesar di seluruh dunia. Karena
jumlah pesantren di Nusantara lebih dari 12 ribu dengan santri di atas 5
juta. Jika ditambahkan data
Direktorat Jenderal Pendidikan Islam, madrasah berjumlah 82.418 buah, plus
PTKIN dan PTAIS dengan jumlah pelajar dan mahasiswa lebih dari 10 juta, maka
jumlah yang mempelajari bahasa Arab di
Indonesia diperkirakan lebih dari 15 juta orang. Apakah hanya karena belajar
bahasa Arab mereka lalu distigmatisasi teroris? Masuk akalkah mereka warga
Indonesia melupakan bahasa Indonesia karena belajar bahasa Arab? Walhasil,
stigmatisasi negatif terhadap bahasa Arab itu sangat merugikan dan tidak
logis, bahkan berpotensi memecah belah anak bangsa. Karena itu, pengurus dan
anggota IMLA (Ittihad Mudarrisi al-Lughah al-‘Arabiyyah) atau Ikatan Guru dan
Dosen Bahasa Arab se-Indonesia dengan lebih dari 10.000 anggota sangat
menyesalkan pernyataan dan stigmatisasi tersebut. Sebagai pelajaran terpetik
(lessons learned), siapapun perlu
berkonsultasi dan berdiskusi dengan ahlinya sebelum menyampaikan pernyataan
di ruang publik. Semoga pernyataan pengamat itu hanya keseleo lidah saja.
Dan, kita semua pasti mendambakan keadaban, kearifan, dan kesantunan dalam
berkomunikasi yang berbasis dan bersemi dari hati tulus dan pikiran positif. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar