Rabu, 15 September 2021

 

Mengubah Politik Hukum Kita

Hamid Awaludin  ;  Menko Polhukam RI (20 Oktober 2004-8 Mei 2007), Dosen Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Makassar

KOMPAS, 11 September 2021

 

 

                                                           

Nurani kemanusiaan kita kembali terusik, menyaksikan 43 orang mati terpanggang api di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Tangerang. Mereka tak kuasa menyelamatkan diri, menunda panggilan Ilahi. Lalu, sebagian di antara kita, mulai membangun berbagai hipotesa tentang kejadian serupa di beberapa lapas sebelumnya.

 

Ahli penologi AS, Robert Johnson, sudah lama mengingatkan, kehidupan dalam penjara, di mana pun, adalah refleksi dari kehidupan di luar penjara. Dinamika dan segala keribetan hidup di luar tembok penjara, secara otomatis terekam dan terjadi pada kehidupan di lembaga pemasyarakatan (Johnson, Hard Time).

 

Dinamika pertumbuhan penduduk di luar, pasti serta- merta diikuti oleh pertumbuhan narapidana, yang sekaligus berarti, pembengkakan populasi warga binaan.

 

Maka, sangat tidak adil bila setiap kejadian dalam lembaga pemasyarakatan/tahanan, kita menolak dan mencibiri alasan over populasi sebagai, antara lain, penarik pelatuk masalah. Ini fakta yang sangat pelik untuk membantahnya. Kelebihan dan kepadatan populasi membawa aneka masalah dalam berbagai aspek, misalnya keamanan, kesehatan, perilaku, pembinaan dan seterusnya.

 

Bila kita runut secara kronologis, pembengkakan populasi narapidana kita, terutama 15 tahun terahir, kontributor utamanya kejahatan narkotika.

 

Mengurai benang kusut

 

Bagaimana mengurai benang kusut masalah lembaga pemasyarakatan kita? Ini tidak sekadar mengubah kebijakan dan kiat-kiat menyelesaikan soal. Hulu penyelesaian masalah ada pada politik hukum negara. Paradigma penegakan hukum kita sudah harus berubah total.

 

Sudah tiba saatnya kita berpikir dan berprinsip bahwa hukuman atas perbuatan yang melanggar hukum, tak identik, dan tak harus dengan mengerangkeng badan pelaku. Cara pandang seperti itu, digelitik oleh motif pembalasan (revenge), bukan pembinaan.

 

Pada saat kita menggunakan motif pembalasan dalam kaitan penegakan hukum, saat itu jugalah dunia pemasyarakatan kita tak pernah lagi menjadi tempat pembinaan. Kita akan menjejali terus dengan orang-orang yang hendak kita jadikan obyek pembalasan demi hukum.

 

Selama paradigma dan prinsip menegakkan hukum identik dengan penjara tetap kita pakai, selama itu pula gemuruh masalah lembaga pemasyarakatan kita tidak akan pernah berakhir. Masalahnya, kepadatan populasi warga binaan adalah sumber berbagai masalah.

 

Membangun lembaga pemasyarakatan baru, berapa pun banyaknya, tetap tidak memecahkan masalah secara jangka panjang. Hanya menunda masalah secara jangka pendek. Apalagi, dengan kemampuan negara yang ada, tak mungkin bisa melakukan pembangunan lembaga pemasyarakatan secara masif.

 

Hukuman badan bukan satu-satunya bentuk hukuman untuk menegakkan keadilan. Untuk jenis dan tingkat kejahatan tertentu, tidak perlu dihukum badan. Sebagai alternatif, bisa saja negara menghukum mereka dengan community services (kerja sosial).

 

Jenis hukuman ini memberi dampak langsung kepada masyarakat karena pelaku kejahatan yang tidak disenangi oleh masyarakat, bisa membayar kesalahannya dengan cara, memberi pelayanan sosial untuk kemaslahatan masyarakat yang disakitinya. Semacam remedies atas kesalahannya.

 

Tentu ada yang mengatakan, hukuman alternatif seperti itu, tidak akan membawa efek jera. Saya berbeda pendapat dengan itu. Hukuman kerja sosial justru bisa membawa efek jera karena pelaku kejahatan tidak mau diketahui oleh publik secara terbuka bahwa dia berbuat kesalahan. Bila mereka masuk bui, mereka justru menganggap masyarakat luas tidak mengetahui di mana mereka berada,

 

Dalam konteks ini, polisi sebagai penyidik dan jaksa sebagai penuntut, sudah saatnya melakukan reorientasi penegakan hukum. Paradigmanya harus berubah. Yang kita saksikan sekarang, justru lembaga-lembaga ini sangat piawai dan terampil menegakkan hukum lewat pendekatan hukuman badan.

 

Kita lihat, misalnya, pemakai obat terlarang. Undang-undang sudah jelas mengatakan bahwa pemakai cukup dihukum dengan rehabilitasi. Tetapi faktanya, banyak yang dimasukkan bui. Apakah masalah selesai karena sudah jera? Ternyata tidak. Mereka semakin menjadi-jadi dalam bui kita.

 

Tak jarang juga kita jumpai, kasus perdata murni, seperti hibah antara anak dan ayah saja, bisa dengan enteng dijadikan kasus pidana, yang berujung pada pemenjaraan. Hal-hal seperti inilah yang membutuhkan keseriusan negara untuk membenahi dunia pemasyarakatan kita yang cenderung selalu menggemuruh.

 

Berikutnya, ada baiknya pemerintah mulai menyiasasti kepadatan populasi dengan kebijakan terobosan. Misalnya, untuk warga binaan dengan usia lanjut, anak-anak, perempuan yang memiliki anak kecil di luar, warga binaan yang memiliki penyakit tak bisa disembuhkan, dan sebagainya, setelah menjalani sekian persen masa hukumannya, sebaiknya dikeluarkan saja dan diserahkan ke keluarganya untuk pembinaan.

 

Masa asimilasi membutuhkan hitungan waktu yang panjang sehingga tidak bisa diharapkan mengatasi masalah populasi yang kian membengkak. Kebijakan seperti ini memang tidak populer, tetapi demi kemanusiaan, sebaiknya segera dilakukan.

 

Masalah infrastruktur

 

Belajar dari kejadian Lapas Tangerang, saya yakin, kasus seperti ini bakal terjadi lagi. Masalahnya, banyak rumah tahanan dan lapas kita, sudah lapuk termakan usia. Maka, instalasi listrik mereka pun pasti mengalami pelapukan.

 

Belum lagi populasi yang kian menumpuk, membuat kebutuhan listrik kian banyak. Kapasitas listrik yang tersedia tidak sebanding dengan kebutuhan, menyebabkan pemaksaan peningkatan pemakaian. Akibatnya, instalasi-instalasi listrik mengalami masalah. Ujungnya, kebakaran.

 

Jalan keluarnya, Direktorat Jenderal Pemasyarakatan sebaiknya segera bekerja sama dengan PLN atau pun perusahaan swasta di bidang kelistrikan, untuk meminta bantuan audit-pemeriksaan mengenai instalasi-instalasi listrik di semua rutan dan lapas. Kejadian Lapas Tangerang, hanya soal waktu saja tidak menular ke lapas-lapas dan rutan-rutan lainnya.

 

Dan yang paling penting, setiap lapas dan rutan, ada staf yang memang dididik khusus untuk menangani masalah kelistrikan. Selama ini, staf kita lebih banyak difokuskan menangani masalah keamanan (warga binaan tidak berantem, tidak memberontak, tidak lari, tunduk pada aturan internal yang ada dalam lapas dan rutan, dan sebagainya). Tidak ada yang ditugasi khusus mengenai teknis kelistrikan.

 

Searas dengan ini, peralatan tentang sistem detektor asap/api, memang sudah seharusnya dipakai di dalam rutan/dan lapas kita sekarang ini. Ini yang sebaiknya diberi prioritas utama, terutama rutan dan lapas yang menampung ribuan warga binaan. Ya, apa boleh buat, negara harus menyiapkan dana khusus mengenai agenda ini.

 

Pelibatan swasta dalam pengelolaan lapas dan rutan, bukan sebuah ide ilusi, tetapi layak dicoba. Swasta bisa efisien dan efektif dalam manajemen. Kreativitas dan inovasi juga bisa dengan mudah diwujudkan dalam sektor swasta. ●

 

Sumber :  https://www.kompas.id/baca/opini/2021/09/11/mengubah-politik-hukum-kita/

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar