Peta
Jalan Indonesia 2045 Fithra Faisal Hastiadi ; Dosen FEB UI, Koordinator Riset ILUNI UI
Masa Depan Indonesia: Manusia dan Pemimpin Indonesia 2045 |
MEDIA INDONESIA,
13 September 2021
“CONGRATS Fithra. Good, I learned a lot. Your title implies
insufficient demand for digital skills.”
Begitulah pesan yang saya terima dari Prof Mayling Oey-Gardiner setelah
menuntaskan paparan saya dalam sebuah sesi webinar internasional yang
diadakan Habibie Center beberapa waktu yang lalu sembari menjelaskan topik
presentasi beliau di forum yang lain. Prof Mayling
ialah wanita pertama yang dianugerahi guru besar dari Fakultas Ekonomi dan
Bisnis UI, saking fenomenalnya, saya ingat Prof Sri Edi Swasono dalam sebuah
sesi kelasnya melemparkan pujian setinggi langit untuk Prof Mayling. Sesempit
yang saya tahu, Prof Sri Edi bukanlah sosok yang gemar memuji sehingga ketika
pujian itu keluar, pasti bukan sembarangan. Jika ada gelar kiai haji dalam
ilmu demografi ekonomi, Prof Mayling bersama Prof Sri Moertiningsih dari FEB
UI, ialah dua wanita profesor yang pantas digelari demikian. Kembali kepada
pesan daring Prof Mayling, konteksnya ialah ketika sumber daya manusia yang
melimpah tidak mampu ditopang oleh ekosistem yang memadai. Hal ini menjadi
sebuah ironi, mengingat gemuruh perubahan terlalu cepat melilit yang diam.
Secara tekstual, kenyataan yang kita hadapi ialah proses pembangunan
Indonesia seakan berjalan dalam ruang pekat sehingga mudah terantuk papan
halang yang terbentang tak beraturan. Yuval Harari
dalam Sapiens bercerita mengenai kekuatan narasi, yang jika kita pelajari
benar secara antarwaktu, maka akan mampu menuntun kita dalam ruang yang
terselubung pekat. Perlu kaidah ajeg untuk membuka Terra Incognita. Apa dan
bagaimana Indonesia di tahun 2045? Warisan apa yang menuntun kita sampai pada
titik itu? Peta jalan Tak terasa,
hampir genap setahun, Ketua Umum Iluni UI Andre Rahadian meminta kami untuk
menjalankan sebuah riset peta jalan Indonesia 2045. Sesempit pengalaman saya
ketika membantu penelitian ASEAN 2030 di Asian Development Bank Institute
(ADBI) Tokyo, pengerjaan ini bukan suatu hal yang mudah. Perubahan yang
perpetual menghadirkan kompleksitas tersendiri, yang membuat pelbagai
skenario yang dibuat menjadi semakin kehilangan relevansinya, seiring
merayapnya waktu.Untungnya, Iluni UI dilimpahi sumber daya ahli dan jaringan
melimpah sehingga sedikit banyak membantu proses pembuatan peta jalan yang
dirajut dengan pendekatan multidisiplin. Pada awal
tahun 2021 ini, sebenarnya kami sudah cukup ajeg dengan temuan-temuan kami.
Apalagi, dari hasil data kualitatif yang cukup solid yang kami peroleh dari
para ahli di UI dari rumpun sosial humaniora, kesehatan, dan sainstek. Namun,
gejolak varian delta membuat baseline kami dalam scenario planning menjadi
tidak terlalu bisa diandalkan. Akhirnya, kami
membuat semacam penyesuaian baseline, dengan proses triangulasi, dan
validasi, yang kami buat lebih relevan. Berangkat dari kaidah tersebut, maka
muncul empat skenario masa depan Indonesia. Apakah Indonesia akan terperosok
pada jurang dalam, menyemai benih di tanah tandus, hidup tanah tak bertuan,
atau menemukan tanah harapan? Semua sangat tergantung pada dua hal,
efektivitas kebijakan dan risiliensi masyarakat. Kami membuat
landasan skenario tersebut, berdasarkan perkembangan dari pandemi covid-19,
yang secara langsung atau tidak langsung mengacaukan sistem kesehatan,
melumpuhkan ekonomi, dan mengubah perilaku manusia. Sejatinya, pandemi ini
mempercepat transformasi, khususnya di sektor teknologi digital, yang telah
terjadi bahkan sebelum wabah ini merebak. Perkembangan
lebih lanjut dari covid-19, telah mampu mengubah norma yang secara esensial
akan menjadi masa depan megatren. Megatren ialah proses transformasi jangka
panjang dengan jangkauan global, cakupan yang luas, dan berdampak mendasar,
serta dramatis. Megatren mencakup tiga dimensi, yaitu waktu (time), jangkauan
(reach), dan dampak (impact) (Vielmetter dan Sell, 2014). Megatren dalam
dimensi waktu dapat diobservasi selama beberapa dekade yang mana megatren
dapat diproyeksikan dengan tingkat kemungkinan yang tinggi, setidaknya 15
tahun ke depan. Megatren dalam dimensi jangkauan dapat menyasar semua wilayah
dan pemangku kepentingan, termasuk pemerintah, individu, dan bisnis. Megatren
dalam dimensi dampak secara fundamental mentransformasi kebijakan, masyarakat,
dan ekonomi. Pembahasan megatren sangat berpengaruh dalam pengembangan
perencanaan skenario untuk menciptakan peta jalan. Megatren dan skenario masa
depan yang berterima, masuk ke dalam pendekatan strategi penerawangan. Cerita masa
kini, bersama dengan respons yang ada, akan membentuk masa depan kita, ini
ialah ide yang disampaikan oleh Yuval Harari dalam dua seri bukunya Sapiens
dan Homodeus. Narasi, membawa manusia sebagai sentral ekosistem atau objek
derita, tergantung pada cara kita memaknai masa kini dan masa depan. Ide ini
juga, yang secara sejalan kami gunakan dalam menyusun peta jalan Indonesia,
cerita mengenai covid-19, yang menjadi lokus perubahan terkini yang akan
memicu realitas alternatif di masa depan. Integrasi
skenario dan peta jalan bermanfaat dalam proses pembuatan kebijakan dan
strategi. Dalam hal ini, penggunaan skenario dalam proses pemetaan jalan
membantu mengatasi beberapa masalah yang ditujukan terhadap peta jalan
sebagai metode tinjauan ke depan. Dengan pengenalan skenario, proses peta
jalan tidak hanya normatif, tetapi juga menjadi eksploratif, dengan
mempertimbangkan sekumpulan kemungkinan masa depan. Pemetaan Dalam pemetaan
data terkini yang kami lakukan, Indonesia akan terperosok pada jurang dalam
tak punya pendar jika kebijakan pemerintah tidak efektif dan masyarakat tidak
memiliki risiliensi yang cukup. Kuadran ini dicirikan oleh akses terhadap
kebutuhan medis yang terbatas, data yang sulit digapai, kurangnya dukungan
pemerintah pusat dalam berkolaborasi dengan pemerintah daerah, dibarengi
dengan masyarakat yang kehilangan kepercayaan, dan minim ketahanan. Ada
beberapa daerah di Indonesia yang memiliki atribut-atribut ini, dan
menghadirkan kasus infeksi covid yang buruk. Skenario
berikutnya adalah kuadran tanah tandus, yakni kebijakan pemerintah tidak
efektif tetapi dibarengi oleh risiliensi dari masyarakatnya. Beberapa atribut
dari kuadran ini ialah pada rendahnya dukungan pemerintah pusat, tetapi akses
relatif tersedia. Mengingat, kemampuan tinggi dari masyarakat, dan komunitas
untuk tetap bertahan dalam situasi sulit. Berikutnya
ialah skenario tanah tak bertuan. Dalam skenario ini, pemerintah sudah mampu
berkolaborasi dengan baik dengan pemerintah daerah. Namun, masyarakatnya
tidak memiliki kemandirian yang cukup sehingga tidak memiliki faktor
risiliensi yang memadai. Dalam skenario ini, pemerintah tampaknya akan
kehilangan kemampuan fiskalnya di jangka panjang. Mengingat, masyarakat yang
sangat tergantung pada pemerintah dan tidak memiliki kemampuan untuk bangkit
secara mandiri. Skenario yang
paling ideal ialah tanah harapan, yakni skenario pada kuadran ini
menghadirkan dua vektor risiliensi dan efektivitas kebijakan yang memadai
sehingga memunculkan resultan yang positif. Kuadran ini memiliki
atribut-atribut, seperti kemudahan akses kesehatan, transparansi, kolaborasi
pemerintah pusat dan daerah yang baik, serta masyarakat yang memiliki
ketahanan sosial yang tinggi. Skenario best practice ini menghadirkan tingkat
risiko covid yang paling rendah secara nasional. Jika
efektivitas kebijakan sudah sangat sering dibahas, bagaimana dengan
risiliensi? Faktor ini adalah garis tipis yang membedakan satu skenario
dengan skenario lain. Inaya Rakhmani, Ariane Utomo, Catherine Phillips dan
Diahhadi Setyonaluri, dalam ulasan mereka baru-baru ini di Melbourne Asia
Review mengungkapkan wanita dan konektivitas digital menjadi kekuatan pivotal
untuk melentingkan risiliensi masyarakat. Wanita memang
sudah lama menjadi faktor penyeimbang. Bahkan, Muhammad Yunus dengan Grameen
Banknya mendapatkan nobel karena faktor pemberdayaan wanita. Daya tahan dan
daya juang, sepertinya merupakan suatu yang inheren sehingga investasi pada
wanita menjadi sangat krusial. Dalam
ulasannya, Rakhmani et al menunjuk dominasi wanita selama covid di dunia
digital dengan menghasilkan 338 juta koneksi internet per bulan sebagai cara
untuk lepas dari hambatan mobilitas pandemi. Secara anekdot, kami juga
menemukan bahwa tumbuh suburnya UMKM digital di platform digital, memiliki
warna kental ‘emak-emak’ yang sedikit banyak mendefinisikan risiliensi
masyarakat. Posisi Indonesia Di manakah
posisi Indonesia sekarang? Hasil triangulasi kami dengan para pakar
menunjukkan bahwa Indonesia sekarang berdiri pada skenario Tanah Tandus.
Untungnya kita memiliki faktor risiliensi tinggi di tengah kerterbatasan
kebijakan yang membawa kita masih tetap bertahan hingga titik ini. Namun, ini
tidak ideal, skenario ini tidak akan membawa Indonesia keluar dari jebakan
pendapatan menengah pada 2045 karena beberapa kemungkinan konsekuensi, yaitu
terpentalnya investasi asing (investment diversion), deindustrialisasi yang
semakin persisten, dan akhirnya pertumbuhan ekonomi yang tidak sampai pada
threshold yang diharapkan. Untuk bisa
merekatkan risiliensi dan efektivitas memang bukan pekerjaan mudah, tetapi
bukan sesuatu yang mustahil. Berdasarkan kodifikasi kualitatif kami, ada
beberapa kata kunci yang muncul sebagai medan penghantar yang efektif, yaitu
teknologi dan digitalisasi, ekonomi dan sumber daya manusia, yang ternyata
sejalan dengan temuan Rakhmani et al mengenai wanita dan ruang digital. Harapannya,
dengan fokus pada pengembangan sumber daya manusia yang risilien, yang mampu
memanfaatkan ruang digital yang memadai, maka potensi ekonomi akan
bermunculan. Sebagaimana, telaah Amartaya Sen dalam Commodities dan
Capabilities, Anda tidak akan bisa memanfaatkan komoditas yang ada jika anda
cacat kemampuan. Dengan demikian, konsep ruang dan waktu yang relatif
terbatas akan mampu dilipat dengan kemampuan pemanfaatan potensi, searah
dengan prinsip fisika quantum entanglement. Sejatinya
waktu kita cukup terbatas. Karena itu, jika tidak piawai, kita akan
kehilangan kesempatan mencapai kondisi emas di tahun 2045. Jendela kesempatan
sempit, yakni perhitungan matematis kami menunjukkan bahwa bonus demografi
akan segera habis di tahun 2035. Namun, kondisi bonus demografi ini juga
sebenarnya sesuatu hal yang cukup meragukan karena sebagaimana nasihat Prof
Mayling kepada saya beberapa waktu yang lalu, “All too late. Can’t say anymore let us use bonus demography.” ● |
Sumber : https://mediaindonesia.com/kolom-pakar/432209/peta-jalan-indonesia-2045
Tidak ada komentar:
Posting Komentar