Trial
and Error Kebijakan Pendidikan Cecep Darmawan ; Guru Besar Universitas Pendidikan Indonesia
dan Sekjen Asosiasi Ilmuwan Administrasi Negara |
MEDIA INDONESIA,
14 September 2021
INDONESIA
dipredikasi akan mengalami bonus demografi tahun 2045. Di era Indonesia Emas
tersebut, kita memasuki satu abad Indonesia. Sudah sejauh mana kesiapan
bangsa ini dalam menyongsong momentum penting 2045. Sampai saat
ini, dokumen resmi berupa peta jalan seluruh sektor atau bidang pembangunan
secara detail belum ada. Begitu pun pada sektor pendidikan, belum memiliki
peta jalan pendidikan sampai 2045, meskipun memang pernah mengemuka diskursus
peta jalan pendidikan sampai dengan 2035. Konon, draf peta jalan pendidikan
tersebut telah direvisi dan masih disusun Kemendikbud. Pascareformasi,
belum ada perkembangan dan perubahan yang signifikan dalam pembangunan
nasional, khususnya pada bidang pendidikan. Padahal, pendidikan merupakan
tonggak utama yang akan mengantarkan bangsa Indonesia menuju era bonus
demografi 2045. Pendidikan merupakan instrumen utama untuk membentuk sumber
daya manusia unggul yang akan mengisi era Indonesia Emas 2045. Akhir-akhir
ini, kebijakan pendidikan kerap menimbulkan kontroversi, bahkan
kontraproduktif. Mulai dari kontroversi draf peta jalan pendidikan, persoalan
asesmen nasional (AN), perdebatan PP No 57 Tahun 2021, wacana penarikan pajak
pertambahan nilai (PPN) pada jasa pendidikan, sampai pada yang terakhir yakni
pembubaran BSNP yang tidak tertib hukum.
Testing the Water Berbagai
kontroversi kebijakan bidang pendidikan, jika ditarik benang merahnya, ialah
akibat adanya inkonsistensi regulasi dan kebijakan pendidikan. Persoalan
regulasi pendidikan saat ini sudah menunjukkan lampu kuning dan berpotensi
menciptakan benang kusut sistem regulasi pendidikan di Indonesia. Di sisi lain,
telah terjadi inflasi peraturan perundang-undangan sebagai turunan dari
Undang-Undang No 20 Tahun 2003 tentang sistem Pendidikan Nasional yang acap
inkonsisten dan disharmoni dalam materi muatannya. Persoalan
kebijakan pendidikan pun kerap mendapat sorotan tajam berbagai pihak.
Pasalnya, regulasi yang dibuat selain kurang memperhatikan hierarki peraturan
perundang-undangan, juga minim kajian akademik. Berbagai kebijakan baru
tersebut kurang melibatkan partisipasi publik. Akibatnya, kebijakan
pendidikan kerap mendapat protes dan penolakan dari berbagai pihak. Uniknya,
Kemendikbud sering kali memberikan klarifikasi atas kebijakannya itu sendiri.
Kondisi ini, jika dibiarkan dan terus berulang, akan menjadi preseden buruk
dan menciptakan persepsi di masyarakat bahwa kebijakan pendidikan yang
dibentuk saat ini seolah-olah sedang melakukan testing the water. Persoalan
‘ganti menteri ganti kebijakan’ sudah dianggap seperti hal yang lumrah
terjadi dalam dunia pendidikan di Indonesia. Padahal, kesinambungan atau
keberlanjutan suatu kebijakan merupakan hal yang sangat krusial. Pembenahan
kebijakan pendidikan pun kerap bersifat parsial dan belum berdampak secara
signifikan terhadap perbaikan seluruh komponen sistem pendidikan. Belum lagi
terkait persoalan keselarasan dan konsistensi antara kebijakan pemerintah
pusat dan pemerintah daerah. Tak jarang terjadi tarik-menarik kebijakan dan
saling lempar tanggung jawab di antara para pemangku kepentingan pendidikan.
Padahal Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah sudah
mengatur pendidikan sebagai urusan konkuren yang berkaitan dengan urusan
pemerintahan wajib layanan dasar. Sayangnya,
saat ini otonomi pendidikan cenderung melemah akibat menguatnya
resentralisasi pendidikan. Selain disebabkan oleh belum lengkapnya norma,
standar, pedoman, dan kriteria (NSPK) yang mengatur secara detail mengenai
mana saja urusan pendidikan yang menjadi kewenangan pemerintah pusat dan
pemerintah daerah, juga karena kurangnya pemahaman pemangku kepentingan
tentang konsepsi otonomi pendidikan. Solusi Melihat
berbagai problematika kebijakan pendidikan di atas, perlu adanya alternatif
yang mampu menjawab persoalan dan tantangan secara cepat, komprehensif, dan
berkelanjutan. Jangan sampai menunggu lonceng kematian sistem pendidikan di
Indonesia. Untuk itu, setidaknya ada beberapa solusi yang dapat
direkomendasikan. Pertama, urgensi dibentuknya undang-undang sistem
pendidikan nasional baru dengan model omnibus law. Hal ini
penting guna menjalankan amanat konstitusi yang menghendaki adanya satu
sistem pendidikan nasional yang komprehensif dan juga membenahi benang kusut
regulasi pendidikan yang kerap tumpang-tindih dan inkonsisten. Kedua, perlu
adanya grand design atau peta jalan
pendidikan nasional yang mampu membawa arah pendidikan mencapai Indonesia
Emas 2045. Peta jalan pendidikan nasional ini merupakan hal yang penting agar
memberikan gambaran kontinuitas implementasi kebijakan pendidikan secara step by step sebagai pemandu perencanaan pembangunan
pendidikan. Ketiga, perlu
dibuat NSPK secara detail dan berpihak pada semangat otonomi pendidikan agar
mampu menciptakan keselarasan dan keharmonisan kebijakan pendidikan antara
pusat dan daerah. Terakhir ialah
perlu dilibatkannya seluruh elemen pendidikan dan pemangku kebijakan
pendidikan dalam merumuskan setiap kebijakan. Perlu adanya
tim khusus para pakar kebijakan pendidikan yang merepresentasikan berbagai
elemen pendidikan yang mampu memberikan berbagai masukan kepada Kementerian
Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. Tim tersebut dapat terdiri atas
para ahli atau pakar di perguruan tinggi sesuai bidangnya, guru, dosen, LSM,
maupun organisasi kemasyarakatan yang memiliki kontribusi bagi kemajuan dunia
pendidikan. Dengan
demikian, berbagai alternatif tersebut diharapkan mampu membenahi sistem
pendidikan nasional melalui kebijakan pendidikan yang inklusif, sistematis,
berbasis akademis, dan partisipatif, juga berkelanjutan tanpa harus terlebih
dahulu melakukan coba-coba (trial and
error) kebijakan pendidikan. ● |
Sumber : https://mediaindonesia.com/opini/432457/trial-and-error-kebijakan-pendidikan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar