Rabu, 15 September 2021

 

Bapanas dan Kebijakan Perberasan

Khudori ;  Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) dan Komite Pendayagunaan Pertanian (KPP)

REPUBLIKA, 13 September 2021

 

 

                                                           

Presiden Jokowi mengeluarkan Peraturan Presiden No 66 Tahun 2021 tentang Badan Pangan Nasional (Bapanas). Bapanas merupakan amanah UU Pangan No 18 Tahun 2012, yang harus dibentuk paling telat 17 November 2015.

 

Meski telat, harapan ditumpukan pada institusi baru ini. Pertama, perpres mendesain Bapanas lembaga superbodi: mengurus pangan hulu-hilir dari ketersediaan, stabilisasi pasokan dan harga, penganekaragaman konsumsi, kerawanan pangan dan gizi, serta keamanan pangan.

 

Kedua, Bapanas punya tiga tugas strategis: melakukan koordinasi, perumusan, dan penetapan kebijakan pangan; koordinasi pelaksanaan kebijakan pangan; dan pengadaan, pengelolaan, dan penyaluran cadangan pangan melalui BUMN bidang pangan.

 

Ada sembilan komoditas yang diurus, yakni beras, jagung, kedelai, gula konsumsi, bawang, daging ruminansia, daging unggas, telur unggas, dan cabai. Daftar bisa berubah sesuai situasi.

 

Ketiga, Bapanas menerima pengalihan wewenang dan kuasa urusan pangan dari Kementan, Kemendag, dan Kementerian BUMN.

 

Ini menyangkut kebijakan stabilisasi harga dan distribusi pangan, ekspor-impor pangan, jumlah cadangan pangan pemerintah yang dikelola BUMN pangan, penetapan harga pembelian pemerintah dan rafaksi harga, dan penugasan ke Bulog.

 

Diakui atau tidak, urusan yang dialihkan itu selama ini menjadi biang keributan antarkementerian, karena ego sektoral atau melindungi pemburu renten. Salah satu contoh yang baik adalah kebijakan di beras.

 

Sejak 2017, pemerintah mengubah  kebijakan subsidi pangan dari beras sejahtera (Rastra, dulu bernama Raskin) jadi bantuan pangan nontunai (BPNT) atau Program Sembako. Semula terintegrasi hulu-tengah-hilir, menjadi terfragmentasi.

 

Di hilir, Kementan mewajibkan Bulog menyerap gabah/beras petani sesuai harga pembelian pemerintah (HPP). Di tengah, Bulog mengelola dan mendistribusikan beras ke seluruh wilayah RI.

 

Di hilir, Bulog menyalurkan beras untuk korban bencana, bantuan pangan, dan operasi pasar. Di luar itu, tatkala masih ada Raskin/Rastra, Bulog bisa menyalurkan hampir 3 juta ton beras per tahun buat pasar tertawan: 15,5 juta keluarga.

 

Setelah berubah jadi Program Sembako, keluarga sasaran tak lagi menerima beras Bulog, tapi uang transferan setiap bulan Rp 200 ribu. Uang hanya bisa dibelanjakan kebutuhan pokok, salah satunya beras, di outlet yang ditunjuk.

 

Dibandingkan Rastra, Program Sembako lebih tepat administrasi, sasaran, dan waktu. Skema ini juga tidak mendistorsi pasar gabah/beras dan rumah tangga miskin/rentan tak perlu menyediakan Rp 1.600/kg beras untuk menebus seperti pada Rastra.

 

Dana APBD pendamping dari kabupaten/kota seperti saat Rastra dapat direalokasikan untuk yang lain. Itu pelbagai keuntungan perubahan ini.

 

Masalahnya, seiring perubahan itu, penyaluran beras Bulog di hilir anjlok drastis, dari rata-rata 2,825 juta ton periode 2014-2017, tinggal 351 ribu ton pada 2019, dan habis pada 2020.

 

Sebagai pengganti outlet penyaluran yang hilang, pemerintah menyediakan opsi operasi pasar yang disebut ketersediaan pasokan dan stabilisasi harga (KPSH). Agar volumenya besar, operasi pasar digelar sepanjang tahun.

 

Selain menyalahi prinsip dasar operasi pasar, langkah ini membuat subsidi terarah menjadi tercemar subsidi umum. Lebih dari itu, cara ini juga akan membuat salah urus perberasan nasional makin akut.

 

Seperti diatur di Inpres 5 Tahun 2015, Perpres 48 Tahun 2016, dan PP 13 Tahun 2016, kebijakan perberasan masih terintegrasi, tetapi implementasinya terbuka di hilir. Maka itu, kala tak ada lagi penyaluran beras di hilir, tak relevan mengharuskan Bulog menyerap gabah/beras petani di hulu.

 

Seiring hilangnya outlet penyaluran pasti itu, manajemen Bulog mengerem penyerapan domestik. Periode 2010-2016, rerata penyerapan beras 2,4 juta ton/tahun, tapi dua tahun terakhir (2019-2020) hanya 1,2 juta ton. Tahun ini bisa jadi lebih kecil lagi.

 

Penyerapan gabah/beras yang mengecil membuat petani tak terlindungi. Buktinya, sepanjang Januari-Agustus 2021, harga gabah di petani dan penggilingan jatuh di bawah HPP. Kasus bulanan antara 5,29-46,66 persen di petani, di penggilingan 5,43-44,68 persen.

 

Umumnya, harga gabah jatuh di bawah HPP saat panen raya (Februari-Mei). Persentasenya pun kecil. Pada 2016-2019, persentase kejatuhan tertinggi hanya 11 persen. Harga gabah jatuh saat panen gadu yang mulai Juni amat langka.

 

Rupanya, kasus harga gabah jatuh di petani sudah masif terjadi sejak 2020: berlangsung sembilan bulan. Tahun-tahun sebelumnya tiga hingga lima bulan per tahun. Perubahan drastis kebijakan perberasan membuat kebijakan jadi fragmentaris. Petani menjadi pihak paling dirugikan.

 

Saat ini, selain daya beli terpukul pandemi, beleid harga eceran tertinggi beras membuat pasar lesu. Penggilingan/pedagang mengerem penyerapan karena merosotnya insentif giling gabah, menyetok beras, dan mendistribusikannya, pasar beras kian lunglai.

 

Bulog, pihak terakhir yang bisa menggairahkan pasar justru mengerem penyerapan. Ada kebutuhan mendesak mereformulasi kebijakan perberasan agar beleid yang fragmentaris kembali terintegrasi. Tangan dingin Bapanas amat ditunggu. ●

 

Sumber :  https://www.republika.id/posts/20226/bapanas-dan-kebijakan-perberasan

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar