Kamis, 09 September 2021

 

Cegah Kenaikan Kembali Kasus Covid-19

Tjandra Yoga Aditama  ;  Direktur Pasca Sarjana Universitas YARSI, Guru Besar FKUI, Mantan Direktur WHO Asia Tenggara dan Mantan Dirjen P2P & Ka Balitbangkes

KOMPAS, 8 September 2021

 

 

                                                           

Kita tentu patut bersyukur bahwa dengan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat atau PPKM sejak 3 Juli 2021, kasus baru Covid-19 dapat ditekan dan jelas ada kecenderungan penurunan dari hari ke hari.

 

Sejauh ini, rekor kasus harian tertinggi adalah sekitar 50.000, yang terjadi pada pertengahan Juli 2021. Angka ini kemudian turun menjadi sekitar 5.000 pada akhir Agustus. Artinya, turun sepuluh kali lipat dalam kurun waktu 1,5 bulan. Angka kepositifan juga sudah turun, demikian juga angka kematian, walaupun tentu kita harapkan jumlah yang meninggal akibat Covid-19 bisa terus diturunkan dengan tajam.

 

Di sisi lain, dengan mulai membaiknya situasi epidemiologi dan juga akibat dorongan sosial ekonomi, pemerintah mulai melakukan pelonggaran aktivitas dalam pelaksanaan PPKM. Hal-hal yang selama ini ketat, sekarang mulai dilonggarkan, apalagi cukup banyak daerah yang turun level epidemiologinya, dari level 4 ke level 3, dan seterusnya.

 

Karena kita semua sepakat bahwa penurunan kasus ini terjadi akibat dilaksanakannya PPKM dengan ketat, tentu orang jadi bertanya, bagaimana dampak dari pelonggaran PPKM yang sudah dilakukan secara bertahap selama ini. Kalau kasus turun karena PPKM ketat, apa yang harus dilakukan agar kalau PPKM dilonggarkan, jangan sampai angka kasus naik tidak terkendali lagi?

 

Untuk menjawab ini, kita perlu mengetahui bahwa ada tiga unsur yang memungkinkan kenaikan kasus atau tidak. Pertama, adanya orang yang menularkan. Kedua, tersedianya moda atau cara penularan. Dan ketiga, terjadinya penularan pada orang yang tadinya sehat-sehat saja.

 

Tingkatkan 3T dan perketat 3M

 

Sehubungan dengan tiga unsur di atas, setidaknya ada lima upaya yang harus dilakukan untuk mencegah agar kasus jangan sampai naik lagi walaupun PPKM mulai dilonggarkan.

 

Upaya pertama adalah mengurangi jumlah orang yang menularkan secara maksimal. Ada dua cara yang dapat dan harus dilakukan. Pertama, dengan menemukan mereka yang positif Covid-19 di masyarakat, walaupun tanpa gejala sekalipun. Untuk ini harus dilakukan kegiatan 3T (tes, telusur', dan terapi) serta isolasi secara maksimal.

 

Kita tahu, pemerintah telah menargetkan untuk melakukan 400.000 tes dalam sehari. Namun, realisasinya dalam beberapa hari terakhir bulan Agustus 2021, yang diperiksa kurang dari 100.000 orang. Selain itu, seyogianya pada setiap kasus yang positif, ada sekitar 15 orang kontak dari yang bersangkutan yang harus diperiksa untuk mengetahui apakah mereka tertular atau tidak.

 

Kalau dalam tes dan telusur ditemukan ada yang positif Covid-19, tentu mereka dapat menjadi sumber penularan di masyarakat. Jika ini tidak ditangani, kasus akan naik lagi. Oleh karena itu, mereka yang positif Covid-19 harus ditemukan dan kemudian ditangani kesehatannya dan diisolasi/dikarantina untuk memutus rantai penularan.

 

Cara lain meminimalkan penularan dari orang yang positif Covid-19, tapi tidak terdeteksi dan masih ada di masyarakat, adalah dengan menerapkan 3M. Kalau seseorang positif Covid-19 dan dia memakai masker dan menjaga jarak, kemungkinan menularkan penyakit menjadi agak lebih kecil, walaupun seharusnya ia diisolasi dan dikarantina.

 

Untuk upaya kedua, yakni membatasi moda dan cara penularan, ada dua cara yang harus dilakukan. Pertama, dengan tetap menjaga ketat 3M, memakai masker, mencuci tangan dan menjaga jarak. Penerapan 3M ini amat penting dalam menurunkan kemungkinan tertular Covid-19 sehingga harus terus diberlakukan secara ketat dan tampaknya tetap masih harus kita lakukan dalam jangka waktu yang panjang.

 

Cara kedua untuk membatasi moda dan cara penularan adalah dengan melakukan pelonggaran PPKM secara amat bertahap dan berhati-hati, dengan memprioritaskan aspek perlindungan kesehatan masyarakat. Perlu diatur agar jangan sampai ada kerumunan massa.

 

Di India yang kasusnya sudah turun, dalam beberapa waktu ini ada peningkatan kembali jumlah kasus di Negara Bagian Kerala, antara lain karena adanya festival dan kerumunan masyarakat.

 

Maksimalkan vaksinasi

 

Upaya ketiga untuk mencegah kasus yang sudah cenderung turun agar tidak naik lagi adalah dengan meningkatkan daya proteksi orang yang rentan untuk tertular. Ada dua cara yang penting untuk meningkatkan proteksi, yaitu dengan vaksinasi dan upaya peningkatan daya tahan tubuh secara umum, seperti makan makanan bergizi, olahraga, istirahat yang cukup dan mengelola stres dengan baik.

 

Khusus tentang vaksinasi, sekaranglah saatnya untuk memaksimalkan cakupannya. Data sampai akhir Agustus lalu, baru sekitar 20 persen masyarakat kita yang sudah divaksin sebanyak dua kali. Artinya, masih ada sekitar 80 persen masyarakat yang belum divaksin secara lengkap. Memang yang harus dinilai adalah angka vaksinasi dua kali, karena vaksin yang digunakan sekarang di Indonesia adalah untuk dua kali pemberian, agar bisa mendapatkan proteksi yang diharapkan.

 

Harian Kompas pada 28 Agustus 2021 juga menyoroti masih rendahnya cakupan vaksinasi pada kelompok lanjut usia (lansia), yang angkanya masih di bawah 20 persen, padahal lansia memiliki risiko besar untuk tertular dan sakit. Tokoh karikatur ”Mang Usil” bahkan menyentil, ”bagi-bagi vaksin Covid abaikan warga lansia. Mereka adalah orang tua kita, lo”.

 

Perlu ada program sistematis dalam beberapa bulan mendatang untuk memaksimalkan vaksinasi ini. Kita tahu memang ada masalah dalam ketersediaan vaksin di dunia. Pasokan (supply) dari pabrik vaksin, lebih rendah daripada kebutuhan (demand) untuk penduduk berbagai negara di dunia.

 

Sejauh ini ada empat sumber untuk mendapatkan vaksin. Pertama, membeli di pasar internasional kalau memang barangnya tersedia dan juga anggarannya tersedia. Kedua, mendapatkannya dari kerja sama bilateral. Menurut berita, Indonesia sudah pernah mendapat vaksin, antara lain, dari China, Amerika Serikat, Jepang, Perancis, dan mungkin juga negara lain.

 

Cara ketiga untuk mendapatkan vaksin Covid-19 adalah lewat skema kerja sama multilateral melalui COVAX, suatu inisiatif yang dikelola oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Unicef, GAVI dan CEPI, di mana saya adalah salah seorang dari 12 anggota Independent Allocation Vaccine Group (IAVG) COVAX ini. Kami dari COVAX sudah beberapa kali memberikan vaksin kepada Indonesia dan juga negara lain di dunia, dan masih akan terus melakukannya.

 

Cara keempat untuk mendapatkan vaksin tentunya adalah kalau negara mampu membuatnya sendiri. Dalam hal ini kita menunggu proses pembuatan vaksin Merah Putih yang sekarang sedang berproses sesuai kaidah ilmu pengetahuan yang sahih, agar terjamin keamanan dan efektivitasnya.

 

Kalau vaksin sudah tersedia, ada empat hal yang harus dilakukan. Pertama, adalah menjamin sistem distribusi nasional yang baik ke seluruh pelosok negeri. Tentu dalam hal ini harus dijamin proses rantai dingin (cold chain)-nya karena vaksin akan rusak kalau suhu tidak terjaga. Juga harus terjamin ketersediaan gudang farmasi di setiap provinsi dan juga kabupaten/kota, serta manajemen distribusi yang akurat.

 

Hal kedua adalah tersedianya petugas vaksinator. Hal ini seharusnya tidaklah terlalu pelik karena toh kita sudah biasa melakukan vaksinasi pada anak dan balita selama ini. Hanya perlu penyesuaian, karena kini ada cukup banyak merek vaksin Covid-19 di negara kita dan masing-masing punya spesifikasi sendiri-sendiri yang perlu diketahui para vaksinator.

 

Hal ketiga yang amat penting adalah kemudahan bagi masyarakat untuk mendapat vaksin, Kini sudah disediakan sentra vaksinasi di berbagai tempat umum seperti gedung sekolah, stadion dan ruang pertemuan lain. Memang dengan cara ini maka dapat dicakup jumlah orang yang besar sekaligus, tetapi ada risiko terjadi kerumunan orang dan juga masyarakat harus antre panjang, tidak nyaman.

 

Akan lebih baik kalau vaksinasi Covid-19 dilakukan saja di semua puskesmas dan rumah sakit di Indonesia yang jumlahnya sekitar 10.000. Semua puskesmas dan rumah sakit ini sudah memiliki tenaga kesehatan, sudah ada pengalaman memberikan vaksin selama puluhan tahun, dan lokasinya tersebar merata di seluruh Indonesia.

 

Dengan demikian, masyarakat dapat pergi dengan mudah untuk divaksin di dekat rumahnya atau di dekat tempat kerjanya dengan cara yang mudah dan nyaman. Juga kalau ada kejadian ikutan pasca-imunisasi (KIPI), akan lebih mudah terkontrol karena tinggal menghubungi puskesmas dan atau rumah sakit tempat mendapat vaksin.

 

Hal keempat, kalau jumlah vaksin memang masih terbatas, dapat dilakukan penentuan prioritas siapa yang mendapat vaksin terlebih dahulu. Ada tiga pertimbangan untuk memilihnya. Pertama, sesuai dengan risiko perseorangan untuk mendapat sakit, misalnya mendahulukan tenaga kesehatan, warga lansia, dan mereka yang punya komorbid karena mereka semua rentan tertular Covid-19.

 

Pertimbangan kedua adalah situasi epidemiologik daerah, katakanlah untuk mengendalikan situasi penularan di masyarakat yang sedang tinggi.

 

Pertimbangan ketiga adalah hal khusus, misalnya pemberian pada guru, tenaga pendidik dan murid, karena akan dimulai pertemuan tatap muka (PTM) terbatas di sekolah, atau pemberian pada daerah tertentu untuk meningkatkan pariwisata negara, atau daerah tertentu karena akan ada pertemuan besar tingkat nasional seperti olahraga, dan lain-lain.

 

Sesudah itu, pengelola program vaksinasi Covid-19 nasional dan dearah juga harus mempertimbangkan lima kelompok di masyarakat yang masing-masing perlu ditangani dengan baik. Pertama, tentu kelompok risiko tinggi seperti tenaga kesehatan dan lain-lain yang secara kesepakatan internasional memang mendapat prioritas pertama. Kedua adalah kelompok masyarakat yang perlu perlindungan khusus, seperti pekerja industri strategis, petugas lapangan yang langsung melayani masyarakat, guru, dan lain-lain.

 

Ketiga adalah populasi umum masyarakat. Masih antusiasnya masyarakat untuk divaksin sekarang menunjukkan bahwa sekarang ini kegiatan vaksinasi kita memang masih terjadi pada masyarakat secara umum.

 

Selanjutnya, kita perlu memberi perhatian khusus pada dua kelompok masyarakat lainnya, yaitu mereka yang tinggal di daerah terpencil dan sulit dijangkau (hard to reach population) dan juga anggota masyarakat kita yang dengan berbagai alasannya masih belum mau divaksin (vaccine hesitancy). Kita tahu bahwa ada mekanisme pendekatan khusus yang dapat dilakukan pada kedua kelompok terakhir ini, agar cakupan vaksinasi dapat maksimal.

 

Monitor ketat

 

Upaya keempat yang harus dilakukan untuk mencegah ledakan kasus lagi adalah dengan mengamati secara amat ketat perkembangan data per daerah secara saksama dari waktu ke waktu. Data yang dimonitor setidaknya meliputi angka kepositifan (positivity rate), angka reproduksi (reproductive number), jumlah kasus baru, jumlah kematian serta jumlah tes dan telusur yang dilakukan.

 

Dari hasil pengamatan data ketat ini maka mungkin diperlukan upaya kelima, yaitu pengetatan PPKM lagi kalau diperlukan. Pengalaman yang lalu menunjukkan jumlah kasus baru kita pernah di bawah 3.000, lalu terus naik sampai sepuluh kali lipat menjadi 27.000-an, sehingga kemudian diterapkan PPKM darurat pada 3 Juli 2021.

 

Di waktu mendatang, sebaiknya tidak perlu menunggu sampai terjadi sepuluh kali peningkatan angka kasus, mungkin lima kali peningkatan angka kasus dari sebelumnya saja, pembatasan sosial sudah harus amat diperketat lagi.

 

Semoga kecenderungan penurunan angka kasus positif Covid-19 yang terjadi sekarang ini dapat terus terjaga. Dengan penerapan kelima upaya seperti disebutkan di atas, semoga situasi tidak memburuk lagi. ●

 

Sumber :  https://www.kompas.id/baca/opini/2021/09/08/cegah-kenaikan-kembali-kasus-covid-19/

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar