Rabu, 15 September 2021

 

Pelajaran dari Afghanistan

Raja J Antoni ;  Politisi PSI; Alumni the Department of Peace Studies, Universitas Bradford, Inggris

KOMPAS, 13 September 2021

 

 

                                                           

Tanggal 31 Agustus 2021 merupakan hari terakhir tentara Amerika Serikat dan sekutunya di Afghanistan setelah dua dekade bercokol di sana. Dua pekan sebelumnya, 15 Agustus 2021, Kabul jatuh ke tangan Taliban. Tidak hanya terpanjang, perang ini juga tercatat sebagai perang termahal yang menguras anggaran AS sekitar 2 triliun dollar AS.

 

Banyak pertanyaan tersisa. Bagaimana gelar pasukan yang sedemikian panjang, mahal, dan melibatkan teknologi persenjataan yang paling canggih dapat dikalahkan dalam waktu yang super kilat oleh Taliban? Apa implikasi naiknya kembali Taliban ke tampuk kekuasaan bagi keamanan internasional dan domestik Indonesia?

 

Kalah perang

 

Tanggal 16 Agustus 2021, sehari setelah Kabul jatuh ke tangan Taliban, CNN.com menampilkan foto the fall of Saigon yang disandingkan dengan foto lainnya the fall of Kabul. Dua foto yang mirip menampilkan helikopter yang mengevakuasi warga AS. Dua foto dengan dua latar belakang perang yang beda konteks politiknya, namun menggambarkan hal yang sama: Amerika kalah perang.

 

Fareed Zakaria menyebut kekalahan AS di Afghanistan sebenarnya terprediksi dan sudah terjadi sejak lama. AS dan tentara Afghanistan tidak pernah benar-benar menguasai seluruh teritori Afghanistan yang kebanyakan masih rural.

 

Tercatat pada tahun 2016 sebelum AS memulai menarik pasukannya, pemerintah Afghanistan hanya bisa mengontrol 65 persen dari seluruh distrik. Perang panjang dan brutal pada musim panas 2018, misalkan, menewaskan tentara paling banyak selama dua dekade. Sebanyak 280.000 rakyat menjadi pengungsi yang menimbulkan ketidakpercayaan yang memuncak kepada AS dan pemerintah Afghanistan. Survei pada tahun 2018 menunjukan dukungan terhadap tentara AS di kalangan rakyat Afghanistan hanya 55 persen, menurun tajam dari 90 persen 10 tahun sebelumnya.

 

Sebanyak 300.000 tentara baru Afghanistan yang dilatih dan dipersenjatai Amerika dan sekutu tidak memiliki fondasi moral untuk bertempur. Para prajurit tahu benar bahwa mereka dipimpin oleh pemerintah dan komandan yang korup. Secara ideologis seolah mereka gamang untuk kepentingan apa dan siapa mereka harus mengangkat senjata kecuali untuk menerima gaji tiap bulan.

 

Mengutip Carter Malkasian dalam bukunya, the American War in Afghanistan, Taliban berperang untuk sebuah keyakinan untuk surga dan membunuh orang-orang kafir. Sedangkan tentara dan polisi Afghanistan berperang untuk mencari uang belaka.

 

Banyak yang berpendapat apabila saja Presiden Biden dapat mengelola proses penarikan pasukan AS dengan lebih baik dari Afghanistan maka AS bisa keluar dari perang dengan lebih elegan. Pendapat ini dibantah oleh Zakaria. Baginya, tidak ada cara elegan dalam kalah perang.

 

Nasionalisme gagal

 

Perdebatan yang lebih mendasar sebenarnya bagaimana kita mengelola hubungan dan keamanan internasional agar dunia tempat kita tinggal bersama ini lebih damai. Sejak lama para filosof seperti Michael Walzer dalam bukunya, Just and Just Wars: A Moral Argument with Historical Illustrations, membuka perdebatan tentang tentang dilema moral perang. Kriteria moral apa sebuah perang dapat dijustifikasi (jus ad bellum) dan bagaimana sebuah peperangan harus dilakukan (jus in bello).

 

Taruhlah enam prinsip jus ad bellum terpenuhi untuk memulai perang di Afghanistan. Namun apakah tujuan perang seperti yang disampaikan oleh Jenderal Stanley McChrystal, yaitu untuk mendukung sebuah pemerintahan yang memiliki kontrol kuat teritorinya untuk mendukung stabilitas regional dan mencegah teritori itu dipergunakan untuk terorisme internasional, tercapai? Rasanya tidak.

 

Dalam waktu yang relatif singkat kekuatan militer AS dapat menjungkalkan Taliban dari kekuasaan. Rezim Taliban yang melindungi Al Qaeda dan melakukan pelanggaran terhadap hak-hak warganya, berakhir. Namun rekonstruksi pasca perang (post-war reconstruction) dan pembangunan perdamaian pasca-konflik (post-conflict peacebuilding) yang melibatkan aspek sosiologis dan antropologis gagal dijalankan.

 

Daron Acemoglu penulis buku Why Nations Fail menyempat menulis artikel pendek soal ini. Lebih mendasar, baginya, pendekatan lama, proses nation-building dari atas dalam sejarah politik bangsa-bangsa telah ditakdirkan gagal. Kasus Afghanistan hanya pengulangan kesalahan sejarah saja. AS tidak belajar dari sejarah. Pendekatan state first tanpa diikuti dengan pelibatan masyarakat sipil sebagai bagian dari proses bottom up dan pelibatan grassroots membuat rakyat teralienasi dari apa yang dikerjakan AS dan elite Afghanistan yang korup.

 

Akhirnya, dukungan terhadap proses demokrasi dan pemerintahan sangat lemah. Pemilu 2019, misalkan, hanya diikuti sekitar 1,8 juta pemilih dari 39 juta yang memiliki hak pilih. Tidak banyak yang bisa diharapkan dari sebuah rezim yang lahir tanpa ada dukungan dan partisipasi politik dari akar rumput.

 

Selain itu, nasionalisme di Afghanistan sangat rapuh. Tidak ada yang disebut oleh Benedict Anderson sebagai imagined communities. Tidak ada tonggak-tonggak sejarah yang membangun imajinasi mereka sebagai bagian dari sebuah bangsa.

 

Konsep Afghanistan sebagai sebuah negara-bangsa sangat asing di tengah rakyat Afghanistan. Setiap orang lebih merasa sebagai anak etnis, klan dan afiliasi bahasa ketimbang sebagai anak bangsa. Hal ini tentu saja diperburuk oleh perang saudara berbasis etnis-politik yang berkepanjangan di kawasan tersebut.

 

”Taman bermain” teroris

 

Zabiullah Mujahid, juru bicara resmi Taliban, berusaha keras menyakinkan publik internasional bahwa Taliban sekarang berbeda dengan Taliban yang berkuasa 1996-2001. Taliban berjanji mengubah praktik sosial politik keagamaannya. Mereka akan lebih membuka ruang partisipasi terhadap perempuan, menghargai hak-hak minoritas seperti Hazara, dan menghargai keberagaman.

 

Apakah Taliban benar berubah? Saya ragu. Taliban adalah kelompok ideologis yang memobilisasi dukungan politik dengan mempergunakan doktrin agama yang literal, eksklusif, dan hitam-putih. Belajar dari kelompok serupa (meski tidak sama), seperti Ikhwanul Muslimin di Mesir, tidak mudah bagi kelompok semacam ini secara tiba-tiba mengubah pandangan keagamaan mereka.

 

Mungkin pada level elite ada kelompok yang lebih realistis dan pragmatis. Namun, dipastikan akan terjadi ketegangan antara ”faksi realis” dan ”faksi ideologis” yang berujung pada perpecahan internal. Pemimpin yang paling konservatif-ideologis, agaknya, akan memenangkan pertarungan level elite karena didukung massa yang memang konservatif-fundamentalis.

 

Indonesia mempunyai kepentingan besar akan stabilitas Afghanistan. Perang dan konflik berkepanjangan di Afghanistan telah menarik banyak anak muda Indonesia untuk bergabung berjihad di sana. Para ”teroris asli” Indonesia kebanyakan adalah ”alumni Afghanistan” atau yang berinteraksi dengan mereka.

 

Melihat konservatisme yang makin merebak di Tanah Air, apabila kondisi Afghanistan semakin buruk tidak menutup kemungkinan akan menjadi ”taman bermain” para kader teroris baru. Seperti konflik Suriah yang telah mengundang banyak Muslim Indonesia untuk bergabung bersama ISIS.

 

Bulan ini kita memperingati dua dekade tragedi 9/11 yang telah mengubah wajah dunia dalam war on terror termasuk di Afghanistan. Dengan rendah hati perlu diakui bahwa dunia tempat kita tinggal ini tidak lebih damai dibandingkan sebelum 9/11 terjadi. ●

 

Sumber :  https://www.kompas.id/baca/opini/2021/09/13/pelajaran-dari-afghanistan/

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar