Rabu, 15 September 2021

 

Mural Sosial dan Reklame Politik di Ruang Publik

Sumbo Tinarbuko  ;  Pemerhati Budaya Visual dan Dosen Komunikasi Visual FSR ISI Yogyakarta

KOMPAS, 9 September 2021

 

 

                                                           

”… apabila usul ditolak tanpa ditimbang

 

suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan

 

dituduh subversif dan mengganggu keamanan

 

maka hanya ada satu kata: mural’’

 

Seperti itulah penampakan visual mural sosial yang direkatkan di ruang publik. Materi pesan verbal mengutip sebagian puisi fenomenal karya Wiji Thukul, berjuluk ”Peringatan”. Mural sosial didominasi warna merah darah. Sisi kiri diterakan ilustrasi wajah Wiji Thukul. Tangan kanan mengepal sambil memekikkan diksi mural!

 

Mural sosial tersebut memancarkan daya ganggu visual sangat tinggi di mata publik. Mengapa demikian? Karena sang pembuat mural sosial mendekonstruksi sekaligus mempelesetkan diksi lawan diganti diksi mural. Adapun ilustrasi tangan Wiji Thukul tidak digambarkan mengepalkan jarinya, tetapi dipelesetkan menggenggam kuas rol untuk mempertegas visualisasi diksi mural.

 

Dalam perspektif komunikasi visual, pelesetan pesan verbal dan pesan visual mural sosial sungguh cerdas. Mural sosial yang diunggah akun Instagram @aktivismahasiswa.ind tersebut menggunakan pendekatan guyon parikena. Terjemahan bebasnya: bergurau dalam konteks menyindir. Pola komunikasi visual semacam ini memerlukan kecerdasan visual tingkat tinggi.

 

Mengapa sang pembuat mural sosial memilih memparodikan diksi lawan diganti diksi mural? Patut diduga, pameran mural sosial di ruang publik menjadi trending topic pada era pandemi ini. Hal itu terjadi karena mural sosial dimasukkan ke dalam kotak pro dan kontra ketika direkatkan konteks kritik sosial.

 

Masalahnya kemudian, mengapa keberadaan mural sosial dianggap menjadi bagian gangguan visual di ruang publik? Adapun baliho dan billboard politik mendapatkan perlakukan sebaliknya?

 

Pada titik ini, sejatinya ada garis perjuangan yang sama antara mural sosial dan reklame politik. Keduanya didedikasikan menjalankan kerja komunikasi visual. Mereka berupaya menyampaikan gagasan pesan verbal dan pesan visual. Ditujukan kepada siapa? Tentu diperuntukkan bagi para pihak yang diposisikan sebagai komunikan alias target sasaran.

 

Sementara itu, perbedaan fisik di antara keduanya tampak mencolok. Mural sosial memiliki niat mulia menyampaikan realitas sosial atas permasalahan ekonomi, kesehatan, pendidikan, sosial, serta kebudayaan yang membelit hidup dan kehidupan masyarakat. Di dalam goresan visual mural sosial tidak tampak upaya untuk memperebutkan kursi kekuasaan. Mereka mengejar implementasi sila kedua Pancasila. Kata kunci dari mural sosial: kemanusiaan, keadilan, dan bermartabat.

 

Sebaliknya, pesan visual dan pesan verbal reklame politik tertuju pada satu pintu gerbang besar, yakni bagaimana upaya partai politik mengumandangkan nama ketua parpolnya. Ikhtiar politik seperti itu sengaja dilakukan secara terstruktur, sistematis, dan masif. Tujuannya sangat pragmatis, memperoleh dukungan publik dalam kontestasi perebutan kursi calon presiden pada ajang Pilpres 2024.

 

Baliho politik

 

Perjamuan demokrasi Pilpres 2024 belum dimulai. Namun, sejumlah parpol mengawalinya dengan menggelar pesta reklame politik di ruang publik. Medianya berwujud billboard, spanduk, dan baliho politik. Siapakah personel pesta reklame politik? Secara kasatmata, terlihat parpol dengan penanda visual merah, kuning, dan hijau. Ketiga parpol itu dengan bangga unjuk diri di ruang publik. Mereka bersuara nyaring melantunkan lagu berisi pesan visual dan pesan verbal politik.

 

Apa pesan politik yang dikumandangkannya? Parpol dengan penanda merah: Puan Maharani Ketua DPR RI, ”Kepak Sayap Kebhinekaan’’. Parpol warna hijau: Gus Muhaimin 2024, ”Padamu Negeri Kami Berbakti’’. Adapun parpol warna kuning: Airlangga Hartarto 2024, ”Kerja untuk Indonesia’’.

 

Sejatinya, pesan politik itu dikumandangkan guna mengatrol jenama ketua parpol yang menjadi jagoan mereka. Pada pesta reklame politik ini, ketua parpol diposisikan sebagai komoditas politik. Mereka ditawarkan lewat bursa kontestasi politik calon presiden Pilpres 2024.

 

Strategi komunikasi politik semacam itu sepintas terlihat sukses. Realitas sosialnya jauh panggang dari api. Yang mereka terima bukan dukungan dan sanjungan. Justru kebalikannya. Mereka diserang warganet lewat protes digital. Wujudnya unggahan meme serta teks status bernada sumbang yang berhamburan di linimasa medsos. Pada titik ini, mereka justru terjerembab di tengah ikhtiar mendongkrak elektabilitas jenama sang ketua parpol. Ironisnya, mereka terperosok dalam perkara miskomunikasi politik.

 

Miskomunikasi politik

 

Pesta reklame politik yang digelar sejumlah parpol diberi nilai jelek oleh masyarakat dan warganet. Rangkaian kerja komunikasi visual guna mengumandangkan nama jagoannya menyebabkan mereka masuk ke dalam kubangan miskomunikasi politik. Sebuah jalinan proses komunikasi politik yang gagal menggandeng kesepahaman makna antarpara pihak yang dijadikan target sasaran.

 

Fenomena miskomunikasi politik merepresentasikan tabiat egoisme politik. Oknumnya sejumlah parpol yang menggelar pesta reklame politik. Dampaknya, patembayatan sosial warganet dan masyarakat menjadi gaduh, bahkan terbelah dalam polarisasi warna penanda visual parpol.

 

Selain menciptakan kegaduhan sosial, peserta pesta reklame politik senang menebar sampah visual reklame politik. Mereka mengabaikan ekologi dan keramahan visual di ruang publik. Akibat turunannya, kemerdekaan visual masyarakat di ruang publik tercerabut dari akarnya. Ujungnya menjadi bencana sosial. Celakanya, teroris visual sebagai pelaku penebar sampah visual reklame politik merasa tidak berdosa.

 

Masyarakat dan warganet juga menganggap pergelaran pesta reklame politik sebagai tindakan nir-empati. Di tengah keprihatinan nasional akibat serangan massal virus korona, mereka menggelontorkan fulus dalam jumlah besar. Dana tanpa batas itu digunakan membayar mahar produksi reklame politik.

 

Hal itu menyebabkan jurang kesenjangan sosial semakin meluas dan melebar. Di satu sisi, masyarakat dan warganet tidak memiliki uang untuk memenuhi kebutuhan primer. Adapun penampakan visual reklame politik di ruang publik terlihat melimpah ruah. Peristiwa itu semakin meneguhkan makna konotasi surplus gizi politik yang dimiliki parpol peserta pesta reklame politik.

 

Agar miskomunikasi politik dapat didekonstruksi sesuai fitrah komunikasi politik yang baik dan benar. Sudah saatnya pesta reklame politik di ruang publik dihentikan. Mereka wajib banting setir. Mereka harus membangun komunikasi dialogis. Sebuah proses komunikasi politik dua arah berdasarkan rasa empati yang tinggi.

 

Semua itu wajib dilakukannya agar calon pemilih mendapatkan rasa keadilan yang bermartabat. Sebab, sesungguhnya mereka tidak butuh pencitraan tebaran billboard, spanduk, dan baliho politik di ruang publik.

 

Parpol berikut ketua yang dijagokan menjadi capres seyogianya mengedepankan niat tulus untuk merangkul masyarakat dan warganet. Pelukan hangat itu diejawantahkan lewat program pemberdayaan warga terdampak pandemi Covid-19. Yang tidak boleh dilupakan, bantulah dan berpihaklah kepada mereka. Yang harus senantiasa diingat: tunjukkan karya nyata yang langsung dapat dirasakan kebermanfaatannya. ●

 

Sumber :  https://www.kompas.id/baca/opini/2021/09/09/mural-sosial-dan-reklame-politik-di-ruang-publik/

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar