Cinta
dan Identitas di Balik Kelab Malam Rahasia Yoga Palwaguna ; Jurnalis dan Penulis |
DETIKNEWS, 11 September 2021
Pernahkah
terbayangkan bahwa di dalam sebuah swalayan yang tampak begitu biasa, ada
pintu rahasia menuju sebuah kelab malam eksklusif? Sonja terkejut dan tidak
menyangka ketika suatu malam dia menemukan kelab dalam swalayan. Bangunan
yang dia datangi secara kebetulan itu rupanya memiliki identitas yang tidak
tunggal. Di balik swalayan yang tersedia untuk semua orang, ada identitas
lain yang diperlihatkan pada orang-orang tertentu saja. Penemuannya itu
mengawali rangkaian pengalaman yang menyadarkan Sonja bahwa hal yang sama
juga berlaku pada manusia. *** Kelab
dalam Swalayan yang merupakan novel debut dari penulis Abi Ardianda bercerita
tentang Sonja, seorang desainer di sebuah perusahaan mode yang tengah sibuk
mempersiapkan pernikahannya. Calon suaminya adalah laki-laki dengan berbagai
kualitas unggulan menurut standar masyarakat umum: tampan, mapan, terpandang.
Sempurna. Namun,
seiring mendekatnya waktu pernikahan, Sonja justru kian gelisah. Ia takut
pernikahan akan merenggut total kebebasannya sebagai individu. Kegelisahan
itu dilipatgandakan oleh berbagai ekspektasi dari keluarga dan teman. Di
tengah semua tekanan dan tuntutan, Sonja bertemu orang-orang yang membantunya
mengenali diri sendiri, termasuk membongkar berbagai cerita kelam yang selama
ini membayangi Sonja tanpa pernah dia sadari. Melalui
Kelab dalam Swalayan, Abi mengeksplorasi kerumitan identitas manusia. Dengan
menggambarkan interaksi antara Sonja dan orang-orang di sekelilingnya, Abi
menunjukkan bahwa ada banyak hal yang berpengaruh pada cara seseorang
membentuk identitas sosialnya. Untuk
menampilkan identitas tertentu, perlu ada sisi-sisi dalam diri manusia yang
disensor, ditahan, dan disembunyikan. Proses itu secara natural melahirkan
rahasia dan misteri. Keduanya digunakan dengan maksimal oleh penulis dalam
menyampaikan cerita dalam buku ini. Hal
itu langsung terasa sejak bagian prolog. Dalam adegan pembukanya, Abi tidak
memberikan petunjuk tentang identitas para tokoh yang muncul. Mereka
dihadirkan samar saja, seperti bayangan yang hanya ada tanpa bisa benar-benar
dikenali. Misteri dan rahasia itu yang lantas menjadi pendorong untuk terus
membuka halaman demi halaman agar dapat menemukan jawabannya. Penggunaan
sudut pandang orang pertama juga berperan penting dalam menebalkan tema
ambiguitas identitas manusia. Berbagai kilas balik, refleksi internal, dan
komentar-komentar Sonja tentang isu-isu sosial mungkin akan terasa bawel,
tetapi itu jadi petunjuk penting bagi pembaca tentang cara Sonja membentuk
persepsi atas dirinya sendiri. Betapa Sonja mengenali dirinya berdasarkan
hal-hal yang dia ingat dan dia pikirkan. Secara bersamaan, penggunaan sudut
pandang tersebut juga membuat hal-hal lain yang berada di luar pikiran sadar
Sonja menjadi sesuatu yang rahasia, yang penuh dengan teka-teki. Sembari
menggulirkan cerita, Abi juga membahas berbagai isu dan topik lain yang turut
memperkuat tema utamanya. Salah satunya adalah patriarki. Tidak
tanggung-tanggung, yang menjadi agen patriarki paling getol dalam kehidupan
Sonja adalah ibunya sendiri. Di bab-bab awal, penulis membuat adegan di mana
Sonja dikalungi untaian kembang berbentuk rantai oleh ibunya, sebagai bagian
dari tradisi sebelum pernikahan. Adegan
tersebut menjadi metafora yang penting tentang pola relasi antara Sonja
dengan ibunya. Sosok ibu yang otoriter membuat Sonja tak punya banyak ruang
untuk menjadi dirinya sendiri. Karena itulah Sonja terlatih menjadi robot
yang akan menampilkan dirinya sesuai dengan apa yang diharapkan orang-orang
di sekitarnya. Seringkali,
harapan yang mengekang itu dilekatkan pada Sonja atas nama cinta. Tak hanya
dari ibunya, kontrol berkostum cinta itu juga diterima Sonja dari teman-teman
dan pasangannya. Sebuah kutipan dari tokoh Chakra seolah mengajak pembaca
untuk memikirkan kembali esensi cinta dan kaitannya dengan kebebasan untuk
menjadi diri sendiri. "Aku enggak tahu kalau rasa sayangmu sama
seseorang berarti mengubahnya menjadi robot, sementara tanganmu erat
mencengkeram alat pengendalinya." (hal. 154) Berbeda
dengan karakternya, Sonja, melalui gaya menulisnya di buku ini, pembaca bisa
merasakan identitas Abi Ardianda sebagai penulis yang berani dan terbuka. Abi
tidak takut pada kata-kata. Dia menggunakan penis untuk penis dan orgasme
untuk orgasme. Begitu juga ketika Abi menggambarkan adegan-adegan yang
melibatkan kekerasan. Abi tidak merahasiakan darah yang mengalir atau kepala
yang pecah. Abi menyuguhkan teror dan kengerian sebagaimana adanya, tanpa
riasan yang dimaksudkan untuk menyamarkan. Ketegangan
yang muncul akibat orang-orang di sekitar Sonja yang meninggal satu per satu,
dikawinkan dengan berbagai rahasia dan misteri yang kerannya dibuka tutup
dengan cekatan adalah yang membuat "Kelab dalam Swalayan" jadi
bacaan yang menghanyutkan. Sebuah twist di akhir menjadi gong yang memuaskan
karena telah dibangun dengan baik di sepanjang cerita tanpa jadi kentara. Dengan
riset yang kuat dan digunakan secara strategis, ditambah kemampuan bertutur
yang fasih, Abi Ardianda berhasil menyuguhkan cerita thriller psikologis yang
seru untuk diikuti. Tidak hanya itu, Abi juga mampu memantik pembaca untuk
memikirkan ulang berbagai konsep dan norma yang telah lama dipercaya oleh
masyarakat beserta kaitannya dengan identitas individual kita. Abi
seolah mengajak kita untuk memeriksa, ada "kelab" macam apa di
balik identitas ala "swalayan" yang selalu kita tunjukkan hanya
demi memuaskan khalayak? ● Sumber : https://news.detik.com/kolom/d-5719174/cinta-dan-identitas-di-balik-kelab-malam-rahasia |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar