Rabu, 15 September 2021

 

Cinta dan Identitas di Balik Kelab Malam Rahasia

Yoga Palwaguna ;  Jurnalis dan Penulis

DETIKNEWS, 11 September 2021

 

 

                                                           

Pernahkah terbayangkan bahwa di dalam sebuah swalayan yang tampak begitu biasa, ada pintu rahasia menuju sebuah kelab malam eksklusif? Sonja terkejut dan tidak menyangka ketika suatu malam dia menemukan kelab dalam swalayan.

 

Bangunan yang dia datangi secara kebetulan itu rupanya memiliki identitas yang tidak tunggal. Di balik swalayan yang tersedia untuk semua orang, ada identitas lain yang diperlihatkan pada orang-orang tertentu saja. Penemuannya itu mengawali rangkaian pengalaman yang menyadarkan Sonja bahwa hal yang sama juga berlaku pada manusia.

 

***

 

Kelab dalam Swalayan yang merupakan novel debut dari penulis Abi Ardianda bercerita tentang Sonja, seorang desainer di sebuah perusahaan mode yang tengah sibuk mempersiapkan pernikahannya. Calon suaminya adalah laki-laki dengan berbagai kualitas unggulan menurut standar masyarakat umum: tampan, mapan, terpandang. Sempurna.

 

Namun, seiring mendekatnya waktu pernikahan, Sonja justru kian gelisah. Ia takut pernikahan akan merenggut total kebebasannya sebagai individu. Kegelisahan itu dilipatgandakan oleh berbagai ekspektasi dari keluarga dan teman. Di tengah semua tekanan dan tuntutan, Sonja bertemu orang-orang yang membantunya mengenali diri sendiri, termasuk membongkar berbagai cerita kelam yang selama ini membayangi Sonja tanpa pernah dia sadari.

 

Melalui Kelab dalam Swalayan, Abi mengeksplorasi kerumitan identitas manusia. Dengan menggambarkan interaksi antara Sonja dan orang-orang di sekelilingnya, Abi menunjukkan bahwa ada banyak hal yang berpengaruh pada cara seseorang membentuk identitas sosialnya.

 

Untuk menampilkan identitas tertentu, perlu ada sisi-sisi dalam diri manusia yang disensor, ditahan, dan disembunyikan. Proses itu secara natural melahirkan rahasia dan misteri. Keduanya digunakan dengan maksimal oleh penulis dalam menyampaikan cerita dalam buku ini.

 

Hal itu langsung terasa sejak bagian prolog. Dalam adegan pembukanya, Abi tidak memberikan petunjuk tentang identitas para tokoh yang muncul. Mereka dihadirkan samar saja, seperti bayangan yang hanya ada tanpa bisa benar-benar dikenali. Misteri dan rahasia itu yang lantas menjadi pendorong untuk terus membuka halaman demi halaman agar dapat menemukan jawabannya.

 

Penggunaan sudut pandang orang pertama juga berperan penting dalam menebalkan tema ambiguitas identitas manusia. Berbagai kilas balik, refleksi internal, dan komentar-komentar Sonja tentang isu-isu sosial mungkin akan terasa bawel, tetapi itu jadi petunjuk penting bagi pembaca tentang cara Sonja membentuk persepsi atas dirinya sendiri. Betapa Sonja mengenali dirinya berdasarkan hal-hal yang dia ingat dan dia pikirkan. Secara bersamaan, penggunaan sudut pandang tersebut juga membuat hal-hal lain yang berada di luar pikiran sadar Sonja menjadi sesuatu yang rahasia, yang penuh dengan teka-teki.

 

Sembari menggulirkan cerita, Abi juga membahas berbagai isu dan topik lain yang turut memperkuat tema utamanya. Salah satunya adalah patriarki. Tidak tanggung-tanggung, yang menjadi agen patriarki paling getol dalam kehidupan Sonja adalah ibunya sendiri. Di bab-bab awal, penulis membuat adegan di mana Sonja dikalungi untaian kembang berbentuk rantai oleh ibunya, sebagai bagian dari tradisi sebelum pernikahan.

 

Adegan tersebut menjadi metafora yang penting tentang pola relasi antara Sonja dengan ibunya. Sosok ibu yang otoriter membuat Sonja tak punya banyak ruang untuk menjadi dirinya sendiri. Karena itulah Sonja terlatih menjadi robot yang akan menampilkan dirinya sesuai dengan apa yang diharapkan orang-orang di sekitarnya.

 

Seringkali, harapan yang mengekang itu dilekatkan pada Sonja atas nama cinta. Tak hanya dari ibunya, kontrol berkostum cinta itu juga diterima Sonja dari teman-teman dan pasangannya. Sebuah kutipan dari tokoh Chakra seolah mengajak pembaca untuk memikirkan kembali esensi cinta dan kaitannya dengan kebebasan untuk menjadi diri sendiri. "Aku enggak tahu kalau rasa sayangmu sama seseorang berarti mengubahnya menjadi robot, sementara tanganmu erat mencengkeram alat pengendalinya." (hal. 154)

 

Berbeda dengan karakternya, Sonja, melalui gaya menulisnya di buku ini, pembaca bisa merasakan identitas Abi Ardianda sebagai penulis yang berani dan terbuka. Abi tidak takut pada kata-kata. Dia menggunakan penis untuk penis dan orgasme untuk orgasme. Begitu juga ketika Abi menggambarkan adegan-adegan yang melibatkan kekerasan. Abi tidak merahasiakan darah yang mengalir atau kepala yang pecah. Abi menyuguhkan teror dan kengerian sebagaimana adanya, tanpa riasan yang dimaksudkan untuk menyamarkan.

 

Ketegangan yang muncul akibat orang-orang di sekitar Sonja yang meninggal satu per satu, dikawinkan dengan berbagai rahasia dan misteri yang kerannya dibuka tutup dengan cekatan adalah yang membuat "Kelab dalam Swalayan" jadi bacaan yang menghanyutkan. Sebuah twist di akhir menjadi gong yang memuaskan karena telah dibangun dengan baik di sepanjang cerita tanpa jadi kentara.

 

Dengan riset yang kuat dan digunakan secara strategis, ditambah kemampuan bertutur yang fasih, Abi Ardianda berhasil menyuguhkan cerita thriller psikologis yang seru untuk diikuti. Tidak hanya itu, Abi juga mampu memantik pembaca untuk memikirkan ulang berbagai konsep dan norma yang telah lama dipercaya oleh masyarakat beserta kaitannya dengan identitas individual kita.

 

Abi seolah mengajak kita untuk memeriksa, ada "kelab" macam apa di balik identitas ala "swalayan" yang selalu kita tunjukkan hanya demi memuaskan khalayak? ●

 

Sumber :  https://news.detik.com/kolom/d-5719174/cinta-dan-identitas-di-balik-kelab-malam-rahasia

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar