Rabu, 15 September 2021

 

Virus Kebencian

Ahmad Najib Burhani  ;  Profesor Riset di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)

KOMPAS, 11 September 2021

 

 

                                                           

Bangsa ini memiliki segala potensi untuk menjadi bangsa yang besar dan berjaya, baik melalui kekayaan dan keragaman alamnya maupun kekuatan manusianya. Namun, bangsa ini juga berpotensi mengikuti jejak Suriah dan Afghanistan yang terus bertikai dan porak-poranda jika kejadian seperti di Sintang Kalimantan Barat pada 3 September 2021 lalu tidak dihentikan. Sekelompok masa dengan bendera keagamaan  merusak tempat ibadah kelompok minoritas agama dan membakar gudang yang terletak di sampingnya. Tuduhannya, mereka adalah kelompok sesat dan meresahkan masyarakat.

 

Ketika bangsa ini sedang menghadapi pandemi Covid-19 yang mematikan, ternyata pada saat yang sama kita juga harus berjuang melawan virus yang tak kalah membahayakannya, yaitu virus kebencian, intoleransi, sektarianisme, eksklusivisme, dan radikalisme yang ada di masyarakat. Sejak pemerintah mengumumkan pandemi pada 5 Maret 2020, telah terjadi serangkaian diskriminasi terhadap mereka yang memiliki keyakinan berbeda.

 

Di antaranya adalah tekanan suatu kelompok terhadap Bupati Bogor agar melarang Ahmadiyah berada di tempat itu (16 Maret 2020), penyegelan Masjid Al-Aqso di Kampung Badakpaeh, Tasikmalaya (6 April 2020), penyegelan pasarean sesepuh Adat Karuhun Urang (AKUR) Sunda Wiwitan di Curug Goong, Kuningan (20 Juli 2020), pembubaran acara doa di Mertodranan Solo (8 Agustus 2020), penutupan Masjid di Ciawi, Garut (6 Mei 2021), dan terakhir perusakan dan pembakaran di Sintang. Ini belum termasuk penyebaran stigma buruk terhadap etnis Tionghoa karena dianggap membawa penyakit Covid-19.

 

Pemerintah, melalui Kementerian Agama, sebetulnya saat ini sedang giat-giatnya melakukan mainstreaming moderasi beragama yang menjadi salah satu isu penting kebangsaan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menegah Nasional (RPJMN) tahun 2020-2024. Di berbagai kampus telah didirikan Rumah Moderasi dan kampanye terus digalakkan di masyarakat. Namun, tantangan dari upaya ini rupanya tidak hanya datang dari luar, tetapi banyak juga dari internal kementerian itu sendiri dan berbagai lembaga atau institusi yang berada dalam koordinasi Kementerian Agama.

 

Selain Kementerian Agama, upaya membangun budaya yang ramah terhadap perbedaan dan menjaga kebinekaan juga digalakkan oleh Kemendikbud-Ristek. Bahkan, kementerian ini telah mengegolkan Undang-Undang No 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan yang asas pertama dan keduanya adalah toleransi dan keberagaman (Pasal 3). Sayangnya, sejak diundangkan empat tahun lalu, UU ini tak memiliki kaki-kaki untuk mengimplementasikannya.

 

Persoalan lain yang terkait moderasi beragama dan toleransi adalah konsep dan penerapannya yang sering kali bersifat delimited (memiliki batasan-batasan tertentu). Misalnya, toleransi itu tidak berlaku bagi mereka yang di luar agama yang ”diakui” oleh negara sehingga ketika Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas mengucapkan ucapan selamat Hari Raya Naw-Ruz kepada umat Baha'i muncullah polemik yang panas di masyarakat. Moderasi beragama juga tidak berlaku terhadap kelompok agama yang dicap sesat oleh otoritas keagamaan tertentu, seperti Ahmadiyah.

 

Karena itu, mereka yang berada dalam dua kategori di atas tidak mendapat perlindungan yang sama dengan kelompok agama yang ”diakui”. Bahkan, dalam keyakinan sebagian orang, mereka ini perlu ”dibina” atau, meminjam istilah dalam UU No. 1/PNPS/1965 yang dialamatkan kepada Penghayat, disalurkan ”ke arah pandangan yang sehat”.

 

Makna sehat di sini tentu saja sesuai dengan keyakinan kelompok agama yang dominan. Hal ini yang sering menjadi justifikasi adanya proses pengafiran terhadap mereka yang berkeyakinan berbeda. Kafir dalam konteks ini tidak sekadar menunjukkan perbedaan keyakinan, tetapi ada tendensi merendahkan (secara teologis) kelompok yang memiliki keyakinan berbeda tersebut. Bahwa mereka itu adalah uncivilized people (manusia yang tak berperadaban) atau heathens (pagan atau kelompok yang keagamaannya dianggap belum terbentuk secara sempurna). Pandangan ini membuat sebagian orang merasa tidak berdosa ketika melakukan pengrusakan atau pembakaran tempat ibadah milik kelompok minoritas agama tertentu.

 

Alih-alih meyakininya sebagai perbuatan keji, beberapa pelaku justru menganggap tindakannya sebagai virtue (kebajikan), sebagai panggilan keagamaan atau upaya mengawal fatwa. Saya sering menggunakan istilah messianic tendency (tendensi menjadi Mesiah) atau colonial tendency untuk menjelaskan kecenderungan ini. Ringkasnya, orang-orang ini meyakini bahwa tindakan mereka dalam menyerang atau menghancurkan tempat ibadah kelompok agama yang mereka sebut kafir atau sesat itu adalah justru untuk menyelamatkan mereka dari siksa Tuhan di neraka.

 

Implikasi lebih jauh dari pandangan ini dalam konteks kenegaraan adalah lahirnya neo-dhimmitude (pengadopsian konsep dhimmiyah dalam kenegaraan dengan kerangka baru) atau stratified citizenship (konsep kewarganegaraan yang berkelas). Ini sudah bisa dirasakan dalam beberapa kasus di masyarakat seperti dalam kesempatan untuk menjadi pemimpin atau mendapat pekerjaan.

 

Memang, gejala seperti ini tidak hanya terjadi di Indonesia. Sebagian dari penduduk bumi ini juga terinfeksi virus kebencian. Fantasi yang bersifat sektarian serta bayang-bayang ketakutan kepada mereka yang berbeda telah menjadi salah satu paradoks dari globalisasi. Fantasi sektarian ini dirumuskan oleh Slavoj Zizek dengan kalimat: ”Kalau saja mereka (yang berbeda itu) tidak ada di sini, hidup akan sempurna, dan masyarakat akan kembali harmonis” (Myers 2003: 108). Ini yang menyebabkan penembakan di Christchurch, Selandia Baru (2019), pengusiran Rohingya dari Myanmar, berkembangnya white supremacists di Amerika Serikat, dan tentu saja beberapa kasus kebencian terhadap mereka yang berbeda di Indonesia.

 

Terakhir, nama desa tempat terjadinya perusakan tempat ibadah itu adalah Balai Harapan. Karena itu, kejadian 3 September itu terlihat ironis dan kontradiktif dengan nama desanya. Semoga kejadian ini dan diskriminasi lain di Indonesia hanyalah anomali semata, bukan budaya atau karakter manusia Indonesia. Secara umum kita percaya bahwa bangsa ini adalah bangsa yang toleran dan bisa menjadi ”Balai Harapan” bagi berseminya kehidupan yang rukun, toleran, dan gotong-royong sesama anak bangsa. Seperti dalam buku Harmoni dalam Keragaman: Jejak Budaya Toleransi di Manado, Bali, dan Bekasi (2021) yang diedit oleh MN Prabowo Setyabudi, banyak sekali contoh harmoni dari bangsa ini yang tersebar di berbagai tempat di Indonesia, seperti Kampung Sawah (Bekasi), Wonosobo, dan lainnya. Itu semua adalah modal budaya untuk membangun bangsa yang toleran dan berlandaskan kebinekaan. ●

 

Sumber :  https://www.kompas.id/baca/opini/2021/09/11/virus-kebencian/

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar