Madrasah
dan Literasi Agama Lintas Budaya Abd Rohim Ghazali ; Direktur Eksekutif Maarif Institute |
KOMPAS,12 September 2021
Menurut
data Kementerian Agama, pada tahun 2019/2020 ada 82.418 madrasah dengan
8.487.749 siswa/siswi di seluruh Indonesia. Tentu, bagaimana pemahaman mereka
terhadap agama yang dipeluknya, juga terhadap agama yang lain, akan ikut
menentukan wajah kerukunan umat beragama di masa depan. Sebagai
manusia kita berada dalam satu dunia dan senantiasa hidup bersama
manusia-manusia lainnya yang mungkin memiliki budaya, adat istiadat,
karakter, dan keyakinan yang berbeda-beda. Oleh karena itu penting untuk
digarisbawahi bahwa literasi keagamaan yang disajikan dan diajarkan untuk
siswa-siswi madrasah, baik dalam kurikulum, dalam buku-buku pelajaran, juga
dalam buku-buku penunjangnya, seyogianya diselaraskan dengan semangat
kebinekaan. Pada
28 Agustus 2021, Leimena Institute bekerja sama dengan Maarif Institute yang
didukung Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah Pimpinan Pusat Muhammadiyah,
Lembaga Pengembangan Pesantren Muhammadiyah, RBC Institute A Malik Fadjar,
dan Templeton Religion Trust dari Bahama, menggelar webinar internasional
dengan tema “Kontribusi Madrasah dalam Kerukunan Umat Beragama, Pendekatan
Literasi Agama Lintas Budaya”. Webinar
tersebut menghadirkan pembicara Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Prof Dr
Syafiq Mughni, mantan Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakata Prof Dr Amin
Abdullah, Senior Fellow Universitas Washington Chris Seiple PhD, mantan
Penasihat Utama untuk Kebebasan Beragama Internasional USAID Samah Norquist,
Sekjen Majelis Ulama Indonesia Dr Amirsyah Tambunan, dan Direktur Madrasah
Muallimin Muhammadiyah Yogyakarta Aly Aulia Lc MHum. Dalam webinar itu antara
lain terungkap bahwa madrasah merupakan lembaga pendidikan yang menjadi
“titik temu” antara pendidikan sekuler (pendidikan umum) dan pendidikan
pesantren (agama). Di madrasah, dua “cabang” ilmu (agama dan umum) yang kerap
didikotomikan, dipadukan dalam satu kurikulum yang terintegrasi. Dengan
demikian, fungsi madrasah tak sekadar untuk mempersiapkan peserta didik
menjadi anggota masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran
agamanya dan/atau menjadi ahli ilmu agama, tetapi lebih dari itu juga
memahami ilmu-ilmu sosial bahkan ilmu-ilmu eksakta. Dari madrasah diharapkan
lahir ulama-ulama cendekia yang fasih bicara agama sekaligus ilmu sosial dan
sains modern. Sistem
pendidikan madrasah sangat tepat dikembangkan di Indonesia yang penduduknya
beragam, dengan catatan nilai ajaran agama yang ditanamkan dan diamalkan
disesuaikan dengan keragaman itu dengan prinsip-prinsip keterbukaan,
mengedepankan nalar kritis, tidak eksklusif, dan tidak dogmatis. Mengapa
demikian? Karena pada saat ajaran agama ditanamkan secara eksklusif, yang
akan lahir adalah para agamawan atau para ahli agama yang mengklaim hanya
agama dirinyalah yang paling benar seraya menutup pintu pengakuan kebenaran
agama lain, sektarianisme akut, dan menganggap agama lain sebagai musuh. Untuk
meneguhkan keimanan, sejatinya tidak ada masalah seseorang mengaku bahwa
agama yang dipeluknya yang paling benar sepanjang pada saat yang sama dia
juga mengakui bahwa di luar dirinya, ada orang lain yang memeluk agama
berbeda, yang juga mengakui agamanyalah yang paling benar. Kesadaran
bahwa ada orang lain yang berbeda yang memiliki prinsip yang sama dengan kita
dalam beragama pada hakikatnya sama dengan kesadaran akan keberadaan kita,
yang menurut Martin Heidegger, mengada sebagai manusia (being person) yang
mengada di suatu dunia bersama manusia-manusia yang lain (being with other persons), atau “being with one-another in the world.” Literasi lintas budaya Munculnya
ujaran kebencian atau bahkan penistaan agama yang kerap dilakukan misalnya
oleh seseorang yang pindah agama terhadap agama sebelumnya, pada umumnya
disebabkan karena sumber literasi agama yang monolitik dan eksklusif. Untuk
mengatasinya, dibutuhkan pengembangan literasi agama lintas budaya (LALB)
agar agama tidak menjadi faktor penyebab tejadinya konflik di tengah-tengah
masyarakat yang mejemuk. Menurut
Chris Siepl, ada tiga kompetensi untuk mengembangkan LALB. Pertama,
kompetensi personal yang bertumpu pada pemahaman diri sendiri. Kedua,
kompetensi komparatif yang terefleksi pada pemahaman agama orang lain.
Ketiga, kompetensi kolaboratif yakni pemahaman konteks dari setiap orang yang
bisa diajak kerja sama. Seseorang
dengan tiga kompetensi tersebut akan menjadi pribadi yang memiliki keteguhan
iman, tidak sinkretis (mencampur adukkan keimanan), tidak sekuler (memisahkan
agama dari kehidupan dunia), rendah hati dan tidak merendahkan siapa pun, mau
mendengakan, mau belajar, dan senantiasa menghomati orang lain. Samah
Norquist memiliki harapan besar untuk Indonesia sebagai negara yang paling
tepat dijadikan percontohan untuk mengembangkan LALB. Karena berbeda dengan
Timur Tengah yang terdiri dari beragam negara dengan satu agama, Indonesia
terdiri dari satu negara dengan beragam agama dan budaya. LALB diyakini akan
sangat membantu menciptakan kehidupan masyarakat yang harmonis, rukun, dan
damai. Peran guru Literasi
agama lintas budaya dikembangkan melalui proses keterlibatan timbal balik
antara aktor agama, negara atau non-negara, yang berakar pada pemahaman diri,
orang lain, dan tujuan yang ada dalam konteks kemajemukan agama, adat
istiadat, dan budaya. Di
dunia pesantren dan madrasah berkembang adagium “at-thaiqah ahammu minal
maddah” (metode lebih penting dari materi). Implementasi materi pelajaran
yang bagus akan tergantung pada bagaimana cara menyampaikannya. Tetapi,
adagium berikutnya adalah “al-mudarris ahammu min at-thariqah” (guru lebih
penting dari metode). Kurikulum pelajaran agama lintas budaya yang memuat
materi yang bagus dengan metode pembelajaran yang baik akan sia-sia di tangan
guru yang tidak kompeten. Oleh
karena itu, bagaimana implementasi LALB di madrasah akan ditentukan oleh
peran guru. Selain dituntut memiliki kompetensi yang mempuni tentang materi
berikut metode penyampaiannya yang tepat, guru juga harus memiliki
tanggungjawab moral agar senantiasa bisa digugu dan ditiru atau dipercaya dan
diteladani. Dipercaya karena kompetensinya, diteladani karena kesesuaian ilmu
dan apa-apa yang diajarkan dengan perilaku sehari-harinya. Di
tangan guru-guru yang kompeten, LALB diharapkan mampu melahirkan siswa/siswi
yang berempati dan bersimpati terhadap penganut mazhab dan agama yang
berbeda, tanpa kehilangan keyakinan agamanya. ● Sumber : https://www.kompas.id/baca/opini/2021/09/12/madrasah-dan-literasi-agama-lintas-budaya/ |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar