Korupsi
Bupati dan Paradoks Demokrasi Lokal Umbu TW Pariangu ; Dosen FISIP Universitas Nusa Cendana, Kupang |
DETIKNEWS, 13 September 2021
Hasrat
korupsi para elite kita tak pernah padam. Mereka terus menggarong uang negara
tanpa punya rasa malu dan takut. Beberapa
waktu lalu (30/8) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan OTT terhadap
Bupati Probolinggo Puput Tantriana Sari dan suaminya Hasan Aminuddin, anggota
DPR. Mereka terjerat kasus suap terkait jual-beli jabatan kepala desa. Konon
uang-uang tersebut dikumpulkan untuk pembiayaan politik pada pilkada
mendatang. Kasus ini memperpanjang kasus korupsi yang melibatkan kepala
daerah dengan menggunakan mesin politik dinasti. Sulit
untuk tidak mengakui bahwa pragmatisme politik lokal masih terus mewarnai
paradoks demokrasi lokal. Dulu Jefrey Winters pernah mengatakan bahwa
demokrasi di Indonesia mengarah pada demokrasi manipulatif --kalau tidak
dibilang demokrasi kriminal-- di mana para elite menggunakan kekuasaan dan
kekayaannya untuk membujuk ataupun mengintimidasi (Winters 2011:210).
Sebagian mengatakan hal tersebut berlebihan. Namun melihat tren penyimpangan
kekuasaan oleh para elite selama ini, rasanya konstatasi Winters ada
benarnya. Pertanyaannya,
mengapa habituasi korup di kalangan elite lokal selalu berulang dengan pola
sama? Padahal pemberitaan minor terhadap mereka yang tertangkap karena rasuah
sangat kencang. Arahan tegas Presiden, Kemendagri agar para kepala daerah
tidak main-main dengan pelayanan publik selalu dilakukan. Transparansi fiskal
dan pengawasan finansial juga gencar dilakukan berkolaborasi dengan auditor
nasional maupun internasional. KPK
belakangan juga rajin turun ke daerah melakukan pendampingan dan pengawasan
terhadap kerja birokrasi daerah. Ruang Kosong Saya
menduga, ada ruang kosong yang belum disentuh maksimal untuk memutus sistem
korup selama ini khususnya di birokrasi lokal. Ruang itu kemudian disebut
sebagai ruang kekuatan sistem dan kepemimpinan antikorupsi (Quah, 2003,
2009). Ruang itulah yang selama ini digunakan oleh para elite lokal untuk
bersikap aji mumpung dan menghalalkan segala cara dengan proyeksi mereka tak
bakal diganjar hukuman berat karena institusi hukum sudah dijadikan bagian
dari status quo perebutan keuntungan politik (political gain) secara sinergis
antara elite politik, birokrasi, hukum, dan swasta. Tidak
sulit untuk menelanjanginya. Simak bagaimana koruptor dengan mudah memperoleh
korting atas perilaku korupnya. International Corruption Watch (ICW) mencatat
pada 2019-2020 ada134 koruptor yang dibebaskan atau dikorting hukumannya.
Koruptor sekelas Djoko Tjandra misalnya yang memperdayai hukum (menyuap
pejabat tinggi Polri dan jaksa) memperoleh potongan hukuman dari 4,5 tahun
menjadi 3,5 tahun. Jaksa Pinangki pun ketiban "durian runtuh"
pemotongan hukuman dari 10 tahun penjara menjadi hanya 4 tahun penjara,
meskipun terbukti melakukan korupsi miliaran rupiah dan kejahatan pencucian
uang. Para
koruptor ikut diuntungkan oleh sistem penegakan hukum plasebo, seolah-olah
ada hukum tapi sejatinya tidak ngefek. Sehingga para elite yang bermata
menyala kalau melihat fulus itu semakin merdeka dan arbitrer merampok uang
negara tanpa rasa malu dan bersalah. Kalau
merujuk profil koruptor berdasarkan basic human values (Schwartz, 1994,
Yuwanto, 2015), yang dilakukan para koruptor selama ini kebanyakan tergolong
praktik kuasa hedonisme (hedonism power), bukan sekadar konformitas keamanan
(conformity security) atau untuk terhindari dari ancaman status
sosial-ekonomi, sehingga ia tak peduli lagi dengan soal moral atau jeruji
besi yang menghantui diri dan keluarganya. yang ia 'gergaji'. Serupa yang
dilakukan Eks Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo misalnya dalam kasus
korupsi ekspor benur yang menggunakan uang rasuahnya untuk berpelesir ke luar
negeri, berbelanja barang-barang mewah bersama istri. Contoh
tersebut membuktikan perilaku korupsi sudah mengeras menjadi "peradaban
destruktif" yang menjadikan pengetahuan, etika, moral, sebatas lip
service. Demokrasi yang sudah tumbuh sejak rezim Orde Baru tumbang, yang
diharapkan mereduksi korupsi dan ketidakadilan, justru terkoreksi oleh
banalisasi pementingan diri. Korupsi di berbagai daerah, yang dilakoni para
kepala daerah yang notabene lahir dari proses pilkada memperlihatkan paradoks
demokrasi. Di
satu sisi demokrasi menerbitkan optimisme membongkar watak kekuasaan yang
sentralistik sekaligus korup, namun di saat sama demokrasi menjadi arena
politik kongkalikong, tempat simpang-siurnya uang sebagai alat meraih
kekuasaan. Lantas banyak yang mempertanyakan secara "frustrasi"
manfaat demokrasi di Republik ini jika setiap pilkada langsung hanya
melahirkan bos-bos lokal yang justru memakai demokrasi untuk mengakumulasi
kekayaan sebanyak-banyaknya sambil menepikan kesejahteraan rakyatnya. Martabat dan Hukum Tegas Namun
apakah itu berarti demokrasi hanya mendatangkan mudarat seperti kritik
Socrates dan Plato? Jelas tidak! Demokrasi sampai saat ini masih menjadi
sistem terbaik dari yang terburuk. Masalahnya kemudian pada mentalitas,
karakter individu. Pada aspek ketidakmampuan bangkit dari karakter yang
sekian lama dibunuh oleh imperialisme Belanda, yakni martabat. Bangsa
sebesar Amerika Serikat konsisten memperjuangkan dan meraih martabat mereka
dengan kesuksesan materiil, mental maupun moral karena di situlah dignity
(martabat) mereka terletak. Dari studi sosiologi, ternyata selama 200 tahun,
mereka yang memimpin Amerika Serikat sekarang adalah keturunan mereka yang
memerintah Amerika Serikat selama 200 tahun. Mereka muncul dari keberhasilan
kolektif menjaga moral dan martabat keluarga besar dengan integritas
(Muhadjir, 2014). Artinya
untuk sampai pada level bermartabat seperti sekarang mereka sudah melewati
jalan panjang yang "berdarah-darah". Di kita, tidak sedikit
politisi instan yang mendadak muncul di podium politik tanpa back ground
bermartabat. Baru lihat sedikit tumpukan uang saja, langsung lupa martabat
keluarga. Tak heran, jika mereka mudah terjerembap dalam lubang korupsi. Kasus
korupsi yang marak melibatkan para kepala daerah beserta keluarganya mestinya
menjadi momentum bagi bangsa ini untuk merintis pembangunan martabat diri,
dimulai dari bangku pendidikan. Kurikulum pendidikan kita harus didesain
untuk memupuk karakter unggul dan akhlak yang memuliakan kejujuran. Peta
jalan pendidikan 2020-2035 yang direvisi oleh Kemendikbud dengan menekankan
pentingnya agama sudah tepat. Tinggal dioperasionalisasi secara konsisten dan
bertanggung jawab oleh tiap elemen pendidikan. Mentalitas korup harus
didekonstruksi oleh komitmen kuat kepemimpinan (di level negara, sektor
pendidikan) lewat "proyek" pembangunan karakter warga negara secara
masif. Dan
tak kalah urgen, bagaimana mengisi ruang kosong sistem antikorupsi dengan penguatan
hukuman terhadap para koruptor. Institusi KPK, pengadilan terhadap koruptor
harus berani dan tegas menjatuhkan hukuman yang maksimal untuk memproduksi
rasa jera dan kesadaran bagi para elite koruptor, bahwa menggarong uang
negara sangat dibenci oleh moralitas publik dan merusak peradaban. Masyarakat
juga bukan hanya mencemooh korupsi (public
disdain), tetapi juga harus serentak menolaknya (public resistance) dengan tidak memberikan hormat terhadap mereka
bahkan mengucilkan mereka. ● Sumber : https://news.detik.com/kolom/d-5721180/korupsi-bupati-dan-paradoks-demokrasi-lokal |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar