Negeri
yang Kehilangan Nalar Asma Nadia ; Penulis kolom “Resonansi” di Republika |
REPUBLIKA, 11 September 2021
Pernahkah kamu mendengar
kisah negeri yang kehilangan nalar? Di sana, banyak keanehan
terjadi tanpa disadari penduduknya. Di negeri ini, seseorang yang dibui
setelah dinyatakan bersalah dalam kasus pedofilia, dirayakan kebebasannya
saat keluar dari penjara, bak pahlawan
yang telah banyak mengantongi tanda jasa. Sebuah kendaraan mewah
disiapkan untuk menyambut sang mantan napi. Bukan sembarang kendaraan,
melainkan jenis mobil sport convertible
yang bagian atapnya bisa dibuka sehingga pelaku pedofilia tersebut leluasa
menunjukkan diri, melambaikan tangan, dan menyapa publik saat kilauan kamera
menyongsongnya. Nyaris semua jaringan
berita dan media televisi besar, dengan antusias menyiarkan secara langsung,
tidak ingin ketinggalan berita yang pasti meraup perhatian masyarakat. Maka itu, serangkaian
gambar termasuk video mengalir deras, dimulai sejak mantan napi tersebut
keluar penjara, menaiki mobil, hingga menjumpai khalayak. Lelaki yang pernah
melecehkan remaja pria itu tampak membentangkan tangan lebar-lebar,
menunjukkan suka cita pada hari kebebasan. Adakah yang terusik dan
merasakan keganjilan? Bukankah lazimnya, terpidana dengan jenis kejahatan
seperti ini tertunduk malu meski telah selesai menjalani hukuman, menunjukkan
penyesalan dan komitmen sungguh-sungguh untuk tidak akan pernah mengulangi? Miris, terasa menghunjam
ke bagian hati terdalam. Membayangkan sangat mungkin pada saat sama, korban
masih harus berjuang mengatasi trauma berkepanjangan. Mereka tak menanggung
kedukaan sendiri, sebab pihak keluarga dan kerabat pasti terbebani dengan
kejadian buruk yang menimpa anak atau saudara mereka. Tidak cukup meliput,
berbagai stasiun televisi lalu mengantre meminta jadwal eks napi tersebut
untuk wawancara khusus yang diharap mendongkrak rating mereka. Suka tidak suka, saya lalu
berpikir. Sebenarnya, siapa yang paling bertanggung jawab terhadap ingar
bingar ini? Atau jangan-jangan sulit untuk menentukannya. Seolah mengulang
teka-teki telur dan ayam, mana yang lebih dulu di antara keduanya? Apakah media
berbondong-bondong mengangkat berita karena antusiasme masyarakat atau
sebaliknya? Sebab, media sejak awal memviralkan maka masyarakat yang semula tidak peduli atau
tidak mawas, meluas ketertarikannya? Mengingat besar pengaruh
media, saya lebih percaya, jika saja semua media mengabaikan kejadian ini,
tidak akan banyak masyarakat peduli terhadap sosok sang pedofil. Bersyukur di negeri yang
kehilangan nalar, masih ada masyarakat yang memiliki akal sehat. Beberapa
pihak spontan menyerukan boikot terhadap media yang menyambut mantan napi
tersebut dengan kemeriahan. Petisi pun disebarkan
secara daring dan dalam waktu singkat mencapai 300 ribu pendukung. etidaknya,
kita boleh bernapas lega atas keberadaan segelintir warga sehat di sana.
Kriminal, apalagi penjahat kelamin yang merusak generasi penerus, tak
seharusnya mendapatkan panggung di mana pun. Terlebih, ketika pahlawan
sesungguhnya yang baru saja kembali tidak memperoleh sambutan hangat. Atlet
Paralimpik tiba dengan prestasi dua medali emas, tiga perak, dan empat
perunggu. Pencapaian besar setelah 40 tahun penantian disambut kesenyapan,
tanpa keramaian masyarakat ataupun media. Mereka yang telah
nyata-nyata mengharumkan nama bangsa, dengan menyabet prestasi internasional,
hanya disambut pejabat ofisial, keluarga, dan kolega. Liputan media ada,
tetapi kalah jauh oleh 'tim hore' yang menyanjung-nyanjung kebebasan sang
pedofil. Berpekan sebelumnya,
kedatangan atlet Olimpiade berprestasi di negeri itu pun tidak menuai
sambutan megah. Benar, media hadir lebih banyak dibandingkan saat menyambut
atlet paralimpik, tetapi tetap tidak seriuh liputan bebasnya eks narapidana
yang juga selebritas itu. Bahkan, jika puluhan
pahlawan muda Tanah Air pulang membawa medali setelah memenangkan Olimpiade
fisika, matematika, kimia, atau kompetisi akademik tingkat dunia, tidak
banyak yang merayakan. Media yang meliput pun bisa dihitung dengan jari. Ah, betapa aneh dan terasa
janggal negeri ini. Hanya di sana, korban pelecehan seksual berakhir di
penjara karena mengungkap kejahatan pelaku. Sedangkan penjahat yang
seharusnya dihukum justru berkeliaran bebas. Untung saja pemimpin negerinya
sadar ada yang tidak beres sehingga memberikan amnesti. Masih di negeri yang
kehilangan nalar, korban penipuan menjadi tersangka sebab membuka kasusnya ke
media sosial. Sang penipu sendiri tetap bebas dan hidup senang, setelah
berhasil membuat korban kejahatannya berurusan dengan hukum. Di negeri itu pula, ada
pengemplang utang yang membuat orang yang meminjaminya, menjadi tersangka
hanya karena menagih melalui media sosial. Betapa tidak masuk akalnya. Pihak
yang telah membantu meminjamkan uang, bukan hanya kehilangan dana, masih
harus pula berurusan dengan pengadilan. Begitu banyak logika
terbalik terjadi di negeri yang kehilangan nalar. Entah sampai kapan hal ini
berlangsung. Semoga saja, bagian penting yang telah lama hilang dari negeri
itu, berangsur kembali ditemukan. ● Sumber : https://www.republika.id/posts/20185/negeri-yang-kehilangan-nalar |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar