HAM
dan Inklusivitas Indo-Pasifik Abhiram Singh Yadav ; Pengamat/Peneliti Politik Hubungan
International, Ketua Umum Ikatan Alumni Magister Hubungan International Universitas Pelita Harapan |
MEDIA INDONESIA,
8 September 2021
MEMBICARAKAN
tentang hak asasi manusia (HAM) pastilah ingatan kita tertuju pada 10
Desember di setiap tahunnya. Banyak warga dunia memperingati hari HAM
Sedunia. Manakala membicarakan HAM apakah dalam lingkup di sebuah negara,
regional, atau global dan universal, penulis selalu ingat akan Pembukaan
Undang-undang Dasar 1945 yang tercantum tiga semboyan; menjunjung tinggi
harkat dan martabat manusia, mengedepankan demokrasi ekonomi, dan mewujudkan
keadilan sosial. Itulah
sumbangsih besar yang tak ternilai dari para pendiri bangsa Indonesia yang
arif dan bijaksana, dengan latar belakang budaya Nusantara yang adiluhung dan
beraneka ragam. The Universal Declaration of Human Rights (UDHR) atau
Deklarasi Universal Hak Azasi Manusia (DUHAM) dideklarasikan melalui Sidang
Umum PBB di Paris, Prancis pada 10 Desember 1948 melalui Resolusi Nomor 217
A, diniatkan menjadi norma internasional yang berlaku universal. Pasal pertama
DUHAM berbunyi, "Semua manusia dilahirkan merdeka dan setara dalam
martabat dan hak-haknya. Mereka dikaruniai akal dan hati nurani dan hendaknya
bergaul satu sama lain dalam semangat persaudaraan" (All human beings are born free and equal
in dignity and rights. They are endowed with reason and conscience and should
act towards one another in a spirit of brotherhood). Dari kalimat ini
disarikan bahwa martabat (dignity), kemerdekaan (freedom), dan kesetaraan
(equality) adalah tiga nilai yang mendasari HAM. Inilah istilah-istilah kunci
yang kemudian menciptakan diskursus tentang HAM. Menjadi kebanggaan
bagi bangsa Indonesia, bahwa para pendiri Republik tercinta telah menuangkan
prinsip-prinsip dasar HAM ini jauh sebelum DUHAM, yaitu melalui Pembukaan UUD
1945 di dalam setiap alineanya (alinea 1, 2, 3, dan 4). Khususnya 'HAM
sebagai nilai universal' termuat dalam alinea ke-4 dan dalam batang tubuh UUD
1945 yang kemudian dipertegas dalam amandemen UUD 1945. Pakar ilmu
politik Indonesia Miriam Budiardjo (1923–2007) mengatakan bahwa HAM bersifat
universal yang artinya berlaku untuk seluruh manusia, tidak membeda-bedakan
jenis kelamin, suku, ras, budaya, agama, gender, wilayah tempat tinggal, dan
sebagainya. Hak ini melekat di dalam diri setiap manusia sejak lahir. Berbicara
mengenai HAM dalam konteks Indo-Pasifik, lebih tepat ditempatkan dalam
'Konsep Indo-Pasifik' yang mengedepankan inklusivitas bukan ekslusivitas.
Artinya, semua negara dalam lingkungan geo-politik dan geo-strategik
Indo-Pasifik, baik negara besar ataupun kecil mendapatkan hak, perhatian dan
perlakuan yang sama. Negara-negara berdaulat ini saling menghormati sehingga
'HAM yang bersifat universal menjadi relevan untuk diimplementasikan sebagaimana
yang dicita-citakan. Dalam konteks
ini, mungkinkah sebuah negara dapat menjalankan kesepakatan HAM yang bersifat
universal tanpa asas-asas inklusivitas yang terukur? Diskursus HAM universal Lahirnya
kesepakatan 'HAM yang bersifat universal' dalam bentuk Deklarasi HAM Sedunia
pada 10 Desember 1948 menjadi sejarah penting dalam kehidupan umat manusia.
Dalam Deklarasi HAM Sedunia ini, dirangkum nilai-nilai HAM yang bersifat
universal dengan mengedepankan hak dan kewajiban yang sama bagi setiap umat
manusia atau azas kesetaraan. Hal ini kemudian membentuk prinsip-prinsip
demokrasi untuk menjalankan tatanan sebuah negara yang berdaulat. Bagi
negara-negara yang tidak menjalankan nilai-nilai tersebut, kedaulatannya
kerap masih diperdebatkan. Hal ini memberi premis bahwa perdebatan tentang
'HAM yang bersifat universal' belum tuntas. 'HAM yang
bersifat Universal' pun kerap dipandang sebagai produk kesepakatan politik
yang dibuat secara tergesa-gesa berdasarkan kesepakatan negara-negara
adikuasa di masa lampau. Sebagaimana dijelaskan oleh Mary Glendon dalam
bukunya A World Made New: Eleanor
Roosevelt and the Universal Declaration of Human Rights, bahwa berbagai
kepentingan politik telah melahirkan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang
kelahiran nilai-nilai dalam PBB tidak bersumber dari ideologi filosofis,
melainkan lahir dari kepentingan politik sekumpulan negara, khususnya negara
Barat. Contoh nyata,
Presiden Republik Sosialis Soviet (USSR) saat itu, Joseph Stalin (1878–1953)
memanfaatkan kesepakatan politik dengan Amerika Serikat dan Inggris atas
legitimasi kedaulatan wilayah yang sedang didudukinya. Dalam hal ini, tentu
Soviet menyepakati kompromi dalam Deklarasi Pemahamanan HAM dan perlakuan
terhadap penjahat perang. Moskow yang saat itu menyodorkan konsep hak
bermasyarakat, sesungguhnya tidak pernah tertarik dengan HAM universal.
Mereka lebih tertarik atas stabilitas politik yang dijanjikan PBB sebagai
pengganti Liga Bangsa-Bangsa. Hal ini masih tercermin di era Rusia di masa
kini. Seirama dengan
Soviet, Presiden Winston Churchill sendiri sejatinya tidak pernah benar-benar
yakin terhadap konsep HAM dan kesetaraan. Walaupun tidak menentang, Churchill
melihatnya sebagai titik diskusi dalam mencapai kompromi tujuan akhir yaitu
pembentukan PBB. Pada titik tertentu, penasihat urusan luar negeri Churchill,
Alexander Cadogan, mengungkapkan kekesalannya pada 'negara-negara kecil' yang
seolah mengolok-olok 'tiga besar' -Amerika Serikat, Inggris, dan Uni Soviet-
ketika mereka menegosiasikan pembentukan PBB, dan menyatakan bahwa
negara-negara kecil harus menyesuaikan dengan apa pun yang diputuskan AS,
Inggris, Rusia, dan beberapa pemain besar lainnya. Atau, tidak akan lahir
sebuah organisasi internasional sama sekali.
Oleh karena
itu, pembentukan PBB termasuk pengenalan HAM sebagai salah satu isi dari
Piagam PBB, adalah perkembangan politik yang tidak ada hubungannya dengan
pengakuan akan perlunya menjaga keadilan dan martabat manusia dengan mengakui
secara alami hak-hak individu yang ada saat ini. Menengok
sejarahnya, dari sudut pandang Amerika Serikat, gagasan awal tentang HAM
berawal dari aspirasi individu Amerika seperti Presiden Franklin Delano
Roosevelt dan istrinya, Eleanor Roosevelt (1884–1962) berdasarkan pengalaman
pribadi dan profesionalnya yang membuat mereka menyadari akan perlunya
perlindungan bagi hak-hak individu yang rentan dalam masyarakat. Kemudian
Eleanor untuk pertama kali menjabat sebagai Ketua Komisi HAM di PBB dan
mengawasi penyusunan Deklarasi Universal HAM. Meskipun
mereka tidak bermaksud menciptakan konsep HAM menjadi konsep Barat, gagasan
itu secara umum dipandang oleh dunia sangat inheren Barat. Karena jelas akan
membawa serta karakteristik, keterbatasan, dan kepentingan budaya Barat.
Bahkan setelah penggabungan HAM dalam konvensi internasional dan
non-internasional yang sudah termuat dalam konstitusi berbagai negara
Barat. Bagaimana
komitmen implementasi HAM oleh negara-negara penggagasnya sendiri? Kegagalan
implementasi HAM justru dialami oleh negara-negara penggagas yang berusaha
'menggurui' pemaknaan HAM, tetapi malahan melakukan pelanggaran HAM.
Perjuangan menegakkan HAM oleh negara sebagai aktor, justru telah merebut hak
asasi untuk hidup bagi jutaan manusia di muka bumi ini. Dengan perdebatan di
atas, muncul premis bahwa pemaknaan HAM erat kaitannya dengan kepentingan
bentuk kerja sama global secara pragmatis.
Inklusivitas dan reformasi
Terlepas dari
sejarah panjang perdebatan wacana pemahaman 'HAM yang bersifat universal'
yang masih menjadi tugas penyempurnaan, perjalanan pemaknaan HAM telah
melahirkan pemikiran yang berkontribusi positif bagi dunia akademis. Juga
upaya pembuat kebijakan untuk memperdalam pemahaman dan menciptakan ide-ide
baru dalam reformasi kerja sama multilateral. Selai itu mengedepankan
prinsip-prinsip inklusif, kemandirian, netralitas, non-campur tangan,
kehadiran unsur-unsur bebas dan proaktif dalam kebijakan luar negeri,
keamanan, dan tatanan berbasis aturan.
Hal itu
merupakan kesamaan persepsi yang dimiliki oleh aktor negara dan aktor
non-negara secara global. Pentingnya kerja sama global, perdamaian, dan
kemakmuran menjadi lebih nyata akhir-akhir ini. Hal ini tidak terlepas dari
semangat HAM sekalipun belum sempurna dan belum mampu mengakomodir berbagai
kenyataan antropologis dunia. Dalam konteks
Indo-Pasifik, perdebatan inklusif dan eksklusif ibarat menjadi ulangan
sejarah ketika dunia pernah memperdebatkan antara HAM individu atau HAM
bermasyarakat. Perdebatan ini menjadi relevan dalam 'menuding'
ketidaksempurnaan PBB sebagai payung perdamaian dunia. Dengan demikian hal
ini menjadi celah reformasi-institusi PBB di masa kini, sebagaimana
diperjuangkan oleh beberapa kelompok negara di antaranya G4 (India, Jepang,
Brasil dan Jerman). Lebih lanjut,
dengan terciptanya berbagai gagasan geopolitik kawasan Indo-Pasifik, makin
memperjelas efektivitas multilateral yang terbatas dalam menyelesaikan
persoalan regional secara bersama-sama. Bedanya di masa kini, pemain
international tidak lagi terbatas pada Washington, London dan Moskow
melainkan muncul kekuatan baru yaitu India, Tiongkok, dan Indonesia dengan
gerbong ASEAN. Sama halnya
dengan tiga kekuatan besar di era 1940-an (AS, Inggris dan Uni Sovyet), saat
ini konsep inklusivitas dicetus oleh aliansi empat kekuatan modern melalui
skema eksklusif Quadrilateral Security
Dialogue (dikenal dengan istilah The Quad) yaitu Amerika Serikat, India,
Jepang dan Australia. Pemaknaan inklusivitas Indo-Pasifik pun masih menjadi
perdebatan dan perbedaan pandangan di antara The Quad sendiri, sehingga
mengalami kebuntuan dalam pembentukan konstruksi sosial kawasan Indo-Pasifik.
Walaupun demikian, individu-individu negara-negara tersebut memiliki kompromi
kesepahaman sehingga proses pembentukan wacana Indo-Pasifik yang nampak agak
eksklusif menjadi nyata dan mulai diterima secara global tapi belum secara
universal. Dalam
perjalanan waktu, dinamika kompromi Indo-Pasifik tak lepas dari peran
Indonesia bersama dengan gerbong ASEAN. Indonesia dengan gerbong ASEAN
memiliki pengalaman dialog yang matang melalui pilar-pilar serta instrumen
'sentralitas ASEAN' yang sudah teruji, dapat menghadang konflik dan merangkul
perbedaan dalam kebhinekaan saat melerai diskursus The Quad dengan Tiongkok.
Konsep ASEAN walaupun nampak tergesa-gesa, patut mendapatkan pujian karena
berhasil menyatukan berbagai pandangan dari Amerika Serikat, India, Jepang
dan Australia dalam satu pemikiran 'sentralitas ASEAN' sehingga mulai
membentuk pandangan inklusif yang sesungguhnya. Dalam konteks
ini, sangat penting untuk memahami peran Indonesia dengan kebijakan politik
luar negeri bebas aktif yang menjadi jembatan penghubung berbagai kepentingan
global dalam konteks Indo-Pasifik. Ternyata di dalam konsep bebas aktif itu
telah terbangun dengan kokoh asas-asas ideologi Pancasila. Asas-asas
ideologi Pancasila ini sesungguhnya jauh melampui pemahaman HAM sebagaimana
tertuang dalam Deklarasi HAM PBB maupun konsep inklusivitas
antar-negara-bangsa. Jika konsep Indo-Pasifik sebagai gagasan Indonesia
bersama dengan ASEAN menjadi konsep Indo-Pasifik yang dapat diterima secara
universal, hal ini menjadi sangat relevan. Terlebih, Prancis, Jerman hingga
Uni Eropa kemudian mengembangkan pemikiran strategis serupa dengan
mengedepankan 'sentralitas ASEAN'.
Lebih jauh
lagi, secara historis, ideologi Pancasila berhasil menyatukan kesamaan
pemahaman antara India, yang kerap diprediksi menjadi negara major power,
dengan Indonesia untuk bersama-sama menjadi titik sentral kawasan
Indo-Pasifik yang menghubungkan Samudera Pasifik ke Samudera Hindia hingga ke
Timur ke tanah Afrika. Pada akhirnya, India dan Indonesia berhasil menjadi
'pemeran utama' dalam mempromosikan konsep inklusivitas yang dapat diterima
secara universal, setidaknya untuk saat ini. Justru saat ini dunia Barat
ibaratnya 'digurui' oleh nilai-nilai sosio-budaya Timur yang kaya akan
peradaban sejarah. Lalu apa
hubungannya perdebatan ‘HAM yang bersifat Universal’ dengan perdebatan konsep
inklusivitas terkait Indo-Pasifik? Hal yang menarik dinanti adalah nasib
konsep inklusivitas Indo-Pasifik dalam era diskursus politik global saat ini.
Apakah akan melahirkan sebuah tatanan reformasi struktural dalam kerangka
multilateral global, rekonstruksi PBB atau hanya menjadi alat kompromi politik
internasional, khususnya dalam konteks dengan Tiongkok sebagaimana pernah
terjadi saat pembentukan organisasi PBB. Pembentukan 'HAM yang bersifat
universal' ketika itu menjadi alat tawar-menawar atas pengakuan wilayah
kekuasaan para 'pemain utama'. Lebih lanjut,
konsep Indo-Pasifik dituntut dapat berkontribusi dalam pembentukan konsep
universal yang dapat diterapkan secara global dalam memaknai arti inklusif
itu sendiri. Kita harus belajar dari sejarah pembentukan 'Deklarasi HAM
dunia' yang terjadi secara pragmatis dan politis dalam memaknai nilai-nilai
kemanusian. Konsep inklusivitas ini menjadi relevan dan sangat penting untuk
melibatkan para filsuf, cendekiawan, lembaga-lembaga swadaya internasional
serta para aktor non-negara (non-state actors)
lainnya. Sehingga diharapkan konsep 'HAM dunia' berikutnya tidak mewarisi
sebuah pragmatisme kepentingan politik 'para aktor negara' (state actors)
semata. Pada akhirnya,
konsepsi Indo-Pasifik terlalu sempit jika dikaitkan semata-mata hanya terhadap
isu Laut China Selatan dan Laut China Timur. Justru tantangannya adalah
bagaimana India, Tiongkok dan ASEAN dalam hal kembalinya keberhasilan
kemajuan peradaban Timur. Tentunya yang dapat bersinergi dengan tatanan
liberal Barat dalam konstruksi ulang tatanan peradaban global dengan
melibatkan 'aktor-aktor non-negara' sehingga dapat mengakomodir kebhinekaan
yang merupakan realita dunia. Kenyataanya, bagaimana 'Deklarasi HAM dunia'
terhadap kehidupan individu bisa benar-benar dijalankan, jika pemaknaan
inklusivitas pada tatanan konsep negara-bangsa saja belum jelas? ● |
Sumber : https://mediaindonesia.com/opini/431310/ham-dan-inklusivitas-indo-pasifik
Tidak ada komentar:
Posting Komentar