Negeri
1001 "Potongan" Andrias Pujiono ; Penulis di kolom detikNews |
DETIKNEWS, 8 September 2021
Di
Indonesia, urusan potong memotong uang bantuan sosial terkesan lumrah. Untuk
uang kresek lah, untuk administrasi lah, untuk perbaikan mobil ambulans, dan
lain sebagainya. Lama kelamaan Indonesia bisa disebut sebagai "Negeri
1001 potongan". Apa-apa ada potongannya. Mirisnya, ini adalah potongan
uang bantuan untuk rakyat kecil. Di
Lampung, beberapa bulan lalu beredar dugaan adanya pungli yang dilakukan
oknum Dinas Pendidikan dan Kebudayaan. Oknum tersebut diduga meminta uang
kepada guru honor yang menerima program Kartu Pendidik Berjaya. Para guru
honor tersebut menerima uang Rp 1,2 juta untuk enam bulan. Menurut salah satu
media di Lampung, pungli tersebut senilai Rp 75 ribu untuk tiap guru. Namun
akhirnya, pemotongan tidak berlanjut karena ramainya pemberitaan media massa. Aksi
memotong dana bantuan sosial yang paling menghebohkan di tahun ini adalah
dilakukan oleh Menteri Sosial sebelumnya, Juliari P. Batubara. Walaupun
potongan hanya sepuluh ribu rupiah per paket, tetapi jika diakumulasikan
menjadi angka yang fantastis, hingga puluhan miliar rupiah. Menteri
Sosial yang baru, yaitu Tri Rismaharini pada bulan lalu melakukan inspeksi
mendadak ke Pekalongan dan Tangerang. Ia menemukan adanya pemotongan dana
bantuan oleh oknum tertentu. Dengan marah, dia berucap bahwa "setiap
penerima bantuan harus mendapatkan utuh, tidak boleh ada pemotongan sekecil
apapun." Ia juga berjanji akan menindak oknum-oknum tersebut. Lagi-lagi,
rakyat miskin menjadi korban. Dari oknum tingkat bawah sampai sekelas menteri
pun tega "menyunat" hak rakyat kecil. Mirisnya, yang dirugikan itu
masyarakat kecil dan yang diuntungkan para pejabat. Sudah dapat tidak
seberapa, masih dipotong pula. Itulah ironi yang sering kita jumpai di negeri
ini. Ada
beberapa pertanyaan yang terlintas terkait hal tersebut. Mengapanya ada
oknum-oknum yang tega memotong bansos di saat pandemi seperti ini? Rakyat
kecil yang sedang mengalami masalah ekonomi dan membutuhkan bantuan untuk
sekadar bertahan hidup, malah dipotong. Apakah ini sudah menjadi tradisi?
Apakah para pejabat menganggap dirinya berkuasa dan "berjasa",
sehingga merasa punya hak untuk mendapatkan bagian dari bansos tersebut? Tujuan
pemberian bantuan untuk meringankan ekonomi masyarakat yang kurang mampu. Di
tengah pandemi, banyak warga yang kehilangan pekerjaan, atau usahanya macet.
Mereka membutuhkan dukungan untuk sekadar memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Oleh karena itu, pemerintah memberikan bantuan kepada rakyat yang mengalami
kesulitan ekonomi di masa pandemi. Pemerintah
mengeluarkan banyak jenis bantuan kepada masyarakat yang membutuhkan. Ada
beberapa jenis kategori atau jenis bantuan, seperti bantuan uang tunai dalam
berbagai jenis , sembako, listrik gratis bagi kategori tertentu, dan kartu
prakerja (pelatihan dan insentif). Dengan bantuan tersebut masyarakat
penerima bantuan dapat bertahan di tengah pandemi. Bantuan uang tunai dan
sembako adalah dua jenis bantuan yang sering dipotong oknum-oknum pejabat. Memotong
dana yang diberikan pemerintah sepertinya sudah menjadi tradisi. Dari pejabat
setingkat menteri hingga ke pejabat tingkat desa atau RT/RW. Di Jakarta
misalnya, pada Maret 2021 seorang Ketua RT "menyunat" uang bansos
dengan alasan untuk "uang jalan". Para korbannya adalah para
penerima bantuan, yaitu rakyat kecil. Kita akan melihat mengapa kasus seperti
ini terus berulang. Pihak
yang "memotong" adalah orang yang "berkuasa". Mereka
diberikan tanggung jawab dalam penyaluran bantuan. Yang mungkin berpikir
bahwa merekalah yang memungkinkan seseorang menerima bantuan atau tidak.
Kemudian, mereka juga berpikir bahwa mereka sudah bekerja keras, mengusahakan
orang-orang miskin menerima bantuan "cuma-cuma" dari pemerintah.
Jadi jika rakyat kecil tersebut menerima bantuan, sudah selayaknya para oknum
pejabat tersebut "kecipratan". Karena
merasa berkuasa, mereka jadi merasa "di atas angin". Karena itu,
mereka berpikir bahwa kecil kemungkinan para penerima bantuan itu akan
melapor jika dipotong. Apalagi, mereka bisa saja mengancam, "tidak
memberikan bantuan lagi di kemudian hari jika si penerima bansos
macam-macam." Ancaman itu menjadi senjata yang cukup ampuh dari para
pejabat korup tersebut. Di
pihak lain, si penerima yang adalah orang kecil. Mereka terbatas pengetahuan
dan keberaniannya untuk melawan. Mereka tidak tahu harus melapor ke mana,
ataupun kalau mengetahuinya mereka takut melakukannya. Selain
itu, jika ketahuan melapor, mereka takut tidak menerima bansos lagi.
Contohnya, seorang penerima bansos yang diminta oleh Bu Risma menyebutkan
nama pemotong bansosnya. Ia tidak bersedia karena takut tidak akan menerima
bansos lagi. Para penerima bansos tidak mau mempersulit diri sendiri; tidak
apa-apa dipotong asalkan masih dapat bansos. Apalagi di masa pandemi ini
mereka sangat membutuhkannya, dan belum ada pendapatan lain. Kehilangan
bansos sangat menakutkan bagi mereka. Hal-hal
di atas menjadi hal yang semakin membuat para pemotong leluasa melakukan
pemotongan. Mereka tahu titik lemah dari si penerima bansos. Orang-orang
kecil itu tidak akan macam-macam karena posisi mereka yang lemah. Mereka
lebih takut tidak menerima bantuan, daripada sekadar dipotong bantuannya. Tradisi
ini harus terus menerus dikikis habis. Pemerintah harus merancang sistem
penyaluran yang lebih ketat dan minim penyelewengan. Kemudian, pengawasan
dilakukan secara terus menerus, dan dapat melibatkan pihak ketiga yang
kredibel untuk memantau penyaluran bansos tepat sasaran. Terakhir, sanksi
tegas dan memberi efek jera terhadap para penyeleweng diterapkan tanpa
pandang bulu. Selain
tidak pandang bulu, hukuman untuk para koruptor harus memberikan efek jera.
Salah satu sebab korupsi di Indonesia tidak menyusut disebabkan oleh hukuman
yang terlalu ringan untuk koruptor. Di
pihak masyarakat, mereka perlu didik dan didampingi untuk mampu dan berani
melapor jika ada tindakan penyelewengan. Hal ini tidak hanya berlaku pada
korban, tetapi juga masyarakat umum untuk berani melapor jika ada
penyelewengan. Pemerintah dapat melibatkan para LSM yang kredibel untuk
mendampingi mereka. Merajalelanya korupsi, salah satu sebabnya, karena
ketidakmampuan dan keberanian dari masyarakat melaporkan kasus korupsi. Mengikis
atau menghapus "tradisi" memotong uang bansos akan lebih baik dan
cepat jika menggarap dua sisi sekaligus. Pemerintah harus serius untuk
menciptakan sistem dan mempekerjakan orang-orang yang jujur dan bersih.
Selain itu, rakyat perlu diperkuat untuk berani melawan ketidakadilan berupa
pemotongan dana bansos. Kita
membutuhkan sistem yang baik, pejabat yang jujur, dan sikap berani warga.
Jika hal-hal tersebut terpenuhi, suatu hari nanti, kita akan asing mendengar
pemotongan dana bansos oleh oknum-oknum rakus. Bahkan, suatu hari kita akan
merasa jijik dengan suatu perilaku yang korup. ● Sumber : https://news.detik.com/kolom/d-5714856/negeri-1001-potongan |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar