Pola
Pemikiran dan Pengabdian MUI Masykuri Abdillah ; Guru Besar UIN Jakarta |
KOMPAS, 14 September 2021
Majelis
Ulama Indonesia (MUI) lahir ketika hubungan antara pemerintah dan umat Islam
pada awal dekade 1970-an kurang harmonis, terutama karena adanya kebijakan
de-ideologisasi politik. Waktu itu di lingkungan umat Islam belum ada wadah
yang bisa mewakili dan menyatukan ulama, zuama (tokoh), dan
organisasi-organisasi Islam. Pemerintah yang waktu itu merasa kesulitan untuk
berkomunikasi dengan berbagai organisasi kemudian mendorong berdirinya MUI
pada 26 Juli 1975 sebagai ikhtiar untuk membangun komunikasi yang efektif
antara pemerintah dan umat Islam. Fungsi
MUI kemudian disebutkan dalam Pasal 4 Pedoman Dasarnya, Pertama, MUI
berfungsi sebagai wadah musyawarah para ulama, zuama, dan cendekiawan Muslim
dalam mengayomi umat dan mengembangkan kehidupan yang Islami. Kedua, MUI
berfungsi sebagai wadah silaturahmi para ulama, zuama, dan cendekiawan Muslim
untuk mengembangkan dan mengamalkan ajaran Islam dan menggalang ukhuwah
Islamiyah. Ketiga, MUI berfungsi sebagai wadah yang mewakili umat Islam dalam
hubungan dan konsultasi antarumat beragama. Keempat, MUI berfungsi sebagai
pemberi fatwa kepada umat Islam dan pemerintah, baik diminta maupun tidak
diminta. Eksistensi MUI Pada
masa-masa awal berdirinya, MUI dinilai kurang independen dan dianggap sebagai
perpanjangan kepentingan pemerintah. Karena adanya anggapan ini, pimpinan MUI pun berusaha untuk menunjukkan
independensinya serta perannya dalam memperjuangkan aspirasi umat Islam dan
sekaligus memperkuat Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Upaya-upaya
tersebut telah meningkatkan kepercayaan umat. Menurut hasil survei tentang lembaga
paling dipercaya publik yang dilaksanakan Lembaga Survei Indonesia (LSI) dan
Indonesia Corruption Watch (ICW) pada 2018, MUI merupakan lembaga
nonpemerintah yang paling dipercaya masyarakat dengan nilai 73 persen. Meski
sejak berdiri MUI merupakan organisasi nonpemerintah, masih ada yang
memanggap MUI adalah lembaga pemerintah atau semi-pemerintah seperti halnya
lembaga fatwa (mufti) yang terdapat di sebagian besar negara Muslim.
Kedudukan MUI yang demikian ini sebenarnya sangat positif karena fatwa,
pemikiran, dan kontrol sosial atau kristisime MUI bisa lebih independen
daripada jika organisasi ini merupakan lembaga pemerintah. MUI menyatakan
dirinya sebagai pelayan umat (khâdimul ummah) dan mitra pemerintah (shadîqul
hukûmah atau syarîkul hukûmah). Dalam
melakukan peran tersebut, MUI dihadapkan pada berbagai permasalahan, baik
yang terkait dengan persoalan keagamaan, keumatan, kemasyarakatan, maupun
kenegaraan dan kemanusiaan. Permasalahan ini pun adakalanya merupakan
dinamika masyarakat yang semakin maju dan modern (societal problems), dan
adakalanya merupakan permasalahan sosial yang menyimpang dari kondisi normal
atau ideal (social problems). Di antara permasalahan ini ada pula yang
merupakan bencana, baik bencana sosial seperti konflik sosial dan terorisme,
bencana alam seperti banjir dan gempa bumi, maupun bencana non-alam seperti
pandemi Covid-19. MUI
dituntut untuk merespons permasalah-permasalahan tersebut dan memberikan
jawaban solutif terhadapnya, baik dalam bentuk fatwa, pikiran-pikiran konstruktif,
maupun dalam bentuk tindakan nyata, terutama sertifikasi halal makanan dan
keuangan syariah. Hal ini kemudian melahirkan penilaian oleh sebagian
pengamat bahwa MUI cenderung menjadi ”ormas super” atau lembaga monopoli
otoritas dalam hal fatwa dan sertifikasi halal. Selain
penilaian tersebut, kini masih ada pihak-pihak yang melihat eksistensi MUI
secara kritis. Kelompok tertentu menganggap MUI sebagai lembaga yang
cenderung ”fundamentalis”, seperti fatwa MUI tentang Ahmadiyah sebagai aliran
sesat dan fatwa haram terhadap pluralisme dan liberalisme agama. Sebaliknya,
ada juga yang menganggap MUI sebagai lembaga yang hanya mengikuti keinginan
pemerintah dan kelompok liberal atau pihak asing, seperti dukungan terhadap
penanggulangan radikalisme dan terorisme. Kritik
tersebut sebenarnya bisa juga berarti bahwa pemikiran dan langkah MUI adalah
moderat. Dalam kenyataannya, MUI tidak memasukkan ormas radikal dalam
kepengurusannya. Untuk
menunjukkan moderasinya, di usianya yang ke-46 ini, MUI memandang perlu untuk
merumuskan konsep tentang Metode Pemikiran dan Pengabdian (Manhajul Fikri wal
Khidmah) MUI, yang telah diputuskan dalam Mukernas MUI pada 26 Agustus 2021.
Sebenarnya konsep ini merupakan rumusan terhadap kebijakan dan praktik
organisasi yang sudah dilakukan selama ini, yang dasar-dasarnya sudah
dirumuskan dalam konsep Wawasan MUI. Pola pemikiran Perkembangan
dunia yang semakin modern pada saat ini telah memunculkan dua fenomena dalam
memahamai ajaran agama di kalangan umat Islam. Di satu sisi muncul pemahaman
yang cenderung berlebihan (ghuluww), memberatkan (tasyaddud), dan bahkan
ekstrem (tatharruf), yang kemudian juga disebut ”konservatif” atau
”fundamentalis”. Di sisi lain, muncul pula kecenderungan sebagian tokoh dan
intelektual Muslim yang memahami Islam secara liberal dengan menggunakan
logika mereka sendiri. Kedua
kecenderungan tersebut terjadi karena mereka tidak menggunakan metodologi
standar (mu’tabar) dalam memahami ajaran-ajaran Islam. Kecenderung kelompok
pertama terjadi terutama disebabkan oleh pemahaman teks-teks Al Quran dan
hadis secara literal, tanpa melihat konteks kalimat, konteks turunnya (asbâb
al-nuzûl) ayat dan konteks munculnya (asbâbul wurûd) hadits, serta tujuan
syariah (maqâshid al-syarî’ah). Sedangkan kelompok kedua terjadi karena
keinginan seseorang untuk mencocokkan ajaran-ajaran dengan budaya dan logika
masyarakat modern yang cenderung liberal. Dengan
Manhajul Fikri tersebut, tampak sekali MUI ingin menunjukkan jati diri
pemikirannya yang kontekstual dan solutif terhadap perkembangan zaman dan
permasalahannya tetapi masih tetap merujuk kepada Al Quran dan hadis. Metode
yang dimaksud meliputi pendekatan-pendekatan: manhajiyyah (metodologis),
wasathiyyah (moderat), tathawwuriyyah (dinamis), ishlâhiyyah (reformatif), dan
tasâmuhiyyah (toleran). Pendekatan
manhajiyah menunjukkan bahwa pemahaman MUI terhadap teks-teks agama serta
respons terhadap persoalan-persoalan baru yang tidak terdapat dalam teks
dilakukan dengan metode yang diakui oleh mayoritas ulama ahlussunnah wal
jama’ah, yakni ’ulumul Quran, ’ulumul hadits, dan ushul fiqh. Dengan
demikian, pemahaman MUI tidak hanya secara literal saja, yang dalam beberapa
hal bisa menimbulkan pengertian yang menyesatkan, seperti pemahaman tentang
jihad perang secara ofensif dan kekerasan atas nama agama. Dengan
pendekatan wasathiyyah atau tawassuthiyyah tersebut MUI bisa menerima NKRI
sebagai konsensus nasional (mîthaq wathanî), yang telah disepekati oleh bapak
pendiri bangsa yang di antara mereka adalah ulama. Legitimasi terhadap NKRI
ini didasarkan pada QS Al-Nisa’: 90 dan praktik nabi di masa-masa awal
kedatangannya di Madinah yang melakukan kesepakatan atau perjanjian dengan
kelompok-kelompok sosial yang ada dalam bentuk Piagam Madinah (Mîthaq
al-Madînah). Kemudian,
dengan pendekatan tathawwuriyyah tersebut, MUI juga bisa merespons
perkembangan iptek dan modernitas beserta sistem yang dilahirkan oleh
modernitas, seperti demokrasi, hak asasi manusia, kesetaraan, kemajemukan,
dan sebagainya. Sementara itu, dengan pendekatan ishlâhiyyah, pemikiran MUI
berorientasi untuk melakukan reformasi atau pembaruan (tajdîd) demi kemajuan
umat dan bangsa. Adapun
dengan pendekatan tasâmuhiyyah, MUI menghargai atau menoleransi (tasâmuh)
terhadap perbedaan pendapat dalam hal-hal yang bersifat furû’iyyah (bukan
masalah pokok). MUI menolak pemikiran-pemikiran yang absolutis, yang dengan
mudah menganggap kelompok lain sebagai bid’ah (tabdî’), sesat (tadhlîl),
syirik (tasyrîk), atau bahkan kafir (takfîr). Hanya saja, MUI tetap memegang
prinsip bahwa aliran yang bertentangan dengan ajaran-ajaran yang bersifat
fundamental (rukun iman dan rukun Islam) tidak bisa dianggap sebagai Islam. MUI
juga mendukung perlunya toleransi terhadap perbedaan agama, ras, dan suku,
yang dalam konteks kehidupan masyarakat dan negara memiliki hak dan kewajiban
yang sama. Demikian pula, MUI juga menghargai perbedaan dalam bidang politik,
baik dalam hal pilihan partai politik maupun pilihan kandidat dalam pemilu
atau pilkada. Pola pengabdian Sebagai
organisasi Islam di Indonesia, MUI memiliki orientasi keislaman dan
keindonesiaan. Untuk itu, aktivitas pengabdiannya pun dilakukan dalam rangka
perlindungan dan penguatan agama, umat, bangsa, dan negara. Tentu saja,
pengabdian ini tidak lepas juga dari permasalahan yang dihadapi oleh
masyarakat dan bangsa Indonesia, bahkan masyarakat dunia, seperti persoalan
kemiskinan, kekerasan, konflik, ekstremisme, dan sebagainya. Sebagai
organisasi wadah ulama, zuama, dan ormas Islam, MUI mempunyai peran
kordinatif (tansîq) terhadap program-program ormas, baik di bidang agama,
sosial budaya, ekonomi, maupun politik dan hukum. Perlindungan
agama (himâyah al-dîn) dilakukan antara lain dengan pendalaman dan
pengembangan ilmu-ilmu agama dan pemahamannya secara benar, termasuk
penolakan terhadap pemahaman secara ekstrem atau liberal. MUI juga berusaha
untuk menjaga eksistensi agama dalam kehidupan masyarakat dan negara
berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Adapun
perlindungan umat (himâyah al-ummah) dilakukan melalui upaya-upaya
peningkatan ketakwaan dan kepemilikan akhlak (etika-moral) serta pendidikan
dan kesejahteraan umat. Selain itu, perlindungan umat dilakukan dengan
memberikan sertifikasi jaminan akan kehalalan makanan dan kegiatan
perekonomian. Perlindungan
atau bela negara (himâyah al-daulah) saat ini terutama dilakukan dengan
pemberian legitimasi teologis kepada NKRI sebagai negara kesepakatan (darul
mitsaq) sehingga umat dituntut menjaga dan memperkuat negara ini dari ancaman
ideologi-ideologi di luar ideologi Pancasila. Hal ini diperkuat dengan
kenyataan historis, bahwa para ulama dan tokoh Islam juga terlibat dalam
perdebatan dalam sidang-sidang BPUPKI pada tahun 1945, yang memutuskan
Pancasila sebagai dasar negara. Bentuk
pengabdian MUI tidak lepas dari permasalahan yang dihadapi umat dan bangsa
pada saat ini. Pimpinan MUI menyadari betul bahwa kini terjadi keterbelahan
masyarakat, terutama sebagai ekses Pemilu 2019 yang disertai dengan
penyebaran berita-berita hoaks dan provokasi serta caci maki terhadap
kelompok lain. Bahkan, sebagian umat beragama pun ada yang gemar mencaci maki
agama lain. Sementara
di kalangan umat Islam kini masih terdapat kelompok ekstrem yang melakukan
kekerasan dan teror, terutama Jemaah Islamiyah (JI) yang berideologi Al
Qaeda, Jamaah Ansharud Daulah (JAD) yang berideologi ISIS, dan Negara Islam
Indonesia (NII) yang merupakan kelanjutan dari gerakan DI/TII. Selain itu,
kini masih ada pihak tertentu yang ingin mendirikan negara Islam atau negara
khilafah dan menganggap bahwa NKRI tidak sesuai dengan Islam. Oleh
karena itu, MUI di semua tingkatan dituntut untuk mengimplementasikan pola
pemikiran dan pengabdian di atas. Dalam hal ini, terdapat empat hal penting
yang memerlukan keterlibatan aktif MUI. Pertama adalah penguatan negara
(taqwiyah al-daulah) dengan menegaskan bahwa NKRI adalah sejalan dengan
ajaran Islam yang dipahamai secara moderat (wasathiyyah), dan bahwa kekerasan
atas nama agama adalah bertentangan dengan ajaran Islam. Kedua adalah
penguatan kerukunan dan persatuan, terutama dalam bentuk internalisasi dan
pembudayaan nilai-nilai persaudaraan umat Islam (ukhuwwah Islâmiyyah),
persaudaraan nasional (ukhuwwah watahniyyah), dan persaudaraan kemanusiaan
(ukhuwwah insâniyyah). Ketiga
adalah penguatan akhlak melalui internalisasi dan pembudayaan nilai-nilai
kejujuran dan tanggung jawab (amânah) sehingga bangsa ini bisa terlepas dari
tindak penipuan dan korupsi serta penyalahgunaan kekuasaan. Keempat,
peningkatan kualitas dan taraf hidup umat melalui pendidikan dan pemberdayaan
ekonomi umat. Sebagai
tenda besar ormas Islam, MUI diharapkan bisa melakukan koordinasi terhadap
program-program pengabdian yang dilakukan oleh ormas-ormas Islam sehingga
mereka bisa bekerja sama dengan pemerintah dan organisasi-organisasi
nonpemerintah lainnya dalam mewujudkan Indonesia yang maju, adil, dan makmur,
yang tetap menjunjung tinggi nilai-nilai agama. ● Sumber : https://www.kompas.id/baca/opini/2021/09/14/pola-pemikiran-dan-pengabdian-mui/ |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar