Rabu, 15 September 2021

 

Episentrum Korupsi Politik Dinasti

Aminuddin ;  Pemerhati Politik, Alumnus UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

DETIKNEWS, 13 September 2021

 

 

                                                           

Akhir-akhir ini, mandat demokrasi sering menjadi panggung elite politik. Hampir setiap perayaan demokrasi, baik dalam pemilihan legislatif maupun pemilihan kepala daerah, elite politik menjadi aktor utamanya. Bisa jadi pemilihan kepala daerah hanya menjadi bancakan para elite politik. Sementara masyarakat sipil yang semestinya berkesempatan merotasi dan mengevaluasi pemimpin daerah masih jauh panggang dari api. Di pihak lain, awan politik elit semakin mengepul akibat ketidakdigdayaan masyarakat madani untuk mengubur politik elite.

 

Kedaulatan rakyat yang semestinya dijaga dan disiram agar tidak redup, seolah-olah diamputasi oleh elite-elite politik. Para elite yang memiliki kepentingan politik masih menjadi batu sandungan dalam menegakkan demokrasi, baik nasional maupun lokal yang sesuai dengan kehendak rakyat. Elite masih menjadi penentu pesta demokrasi, baik di pemilu maupun di pilkada. Setidaknya, dalam beberapa bulan terakhir ini bisa menjadi rujukan bagaimana kepentingan dan daulat elite masih menguasai singgasana demokrasi.

 

Hebatnya lagi, tidak sedikit elite daerah berkembang menjadi kekuatan baru dan menjadi raja-raja kecil. Lingkaran eksekutif dan legislatif dikuasai secara masif. Jejaring vertikal dan horizontal inilah yang membuat dinasti politik semakin kuat. Sehingga, kekuasaan nyaris tidak terbendung. Nahasnya lagi, dinasti politik yang terbangun justru dihinggapi kasus korupsi yang menggurita.

 

Terbongkarnya Bupati Probolinggo, Puput Tantriana Sari dan suaminya, Hasan Aminuddin (anggota DPR) dalam dugaan jual beli jabatan menjadi salah satu potret bagaimana gurita korupsi politik dinasti masih belum bisa dihapus di negeri ini.

 

Disadari atau tidak, penangkapan terhadap Bupati Probolinggo menandakan bahwa aset-aset demokrasi kita masih menjadi ladang basah praktik korupsi. Bupati merupakan hasil dari proses demokrasi. sekaligus "cakar ayam" tegaknya demokrasi tersebut. Namun nahas, dua aset demokrasi tersebut masih belum mampu keluar dari parasit korupsi. Lalu, bagaimana menempatkan demokrasi sebagai nyawa terakhir menegakkan keadilan dan kesejahteraan bagi bangsa?

 

Ada beberapa hal penting yang menjadi benang kusut atas praktik korupsi yang menyandera hierarki kehidupan bangsa dan negara. Pertama, kronisnya sistem demokrasi terutama di internal partai politik. Hal ini dapat terpateri dari sistem perekrutan di internal partai politik yang begitu elitis dan tertutup. Perekrutan yang tidak transparan dan tertutup kemudian menggiring parpol sangat elitis dan sukar dijangkau oleh publik. Pada akhirnya, sistem perekrutan kader parpol berdasar sejauh mana individu dekat dengan elite parpol.

 

Masalah di atas juga didorong oleh sistem kepartaian kita yang cenderung tidak memikirkan pengaderan yang berjenjang seperti lama tidaknya seorang kader mengabdi di tubuh partai. Proses pengabdian tidak pernah diimplementasikan layak tidaknya kader partai didelegasikan menjadi calon kepala daerah atau calon anggota legislatif. Malahan, parpol menjelma menjadi organisasi politik yang menampung siapapun yang siap membayar sejumlah mahar. Maka, ketika sistem ini berjalan, tidak jarang kader parpol mengeluh di ruang publik karena tidak bisa menjadi calon kepala daerah akibat dimintai mahar.

 

Kedua, kapasitas dan kapabilitas pemimpin kita yang masih jauh dari sikap anti-korupsi. Dari banyaknya pemimpin kita di Indonesia, mulai dari eksekutif hingga legislatif, sangat jarang pemimpin yang secara cara autentik antikorupsi. Di kalangan legislator misalnya, kita mudah menemukan bahwa ikhtiar memberantas korupsi masih setengah hati. Jika pun ada segelintir wakil rakyat yang anti-korupsi, justru ia tidak bernyali karena tidak memiliki energi politik.

 

Langkah pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melalui wewenangnya dengan merevisi beberapa undang-undang antikorupsi menjadi salah satu kaca pembesarnya. Begitupun dengan larangan mantan napi korupsi maju dalam pemilihan legislatif yang dilawan dengan serius hingga ke pengadilan. Hal inilah yang membuat pemberantasan korupsi di negeri ini sulit untuk direalisasikan.

 

Kedua problem di atas yang sebenarnya menjadi paradoks demokrasi kita. Demokrasi sebagai cara untuk mencari pemimpin yang amanah, antikorupsi, justru tersandera oleh praktik-praktik yang jauh dari hakekat demokrasi. Implikasinya, aset-aset demokrasi yang aras lokal terjebak dalam kubangan korupsi. Korupsi lantas menjadi tumor yang sulit untuk disembuhkan. Kendati proses pemilihan dilakukan dengan demokratis, namun tumornya sudah menjalar di tubuh demokrasi tersebut, sehingga sulit untuk disembuhkan.

 

Ketika tumor korupsi sudah mendarah daging, maka KPK pun tidak mungkin bisa menyelesaikan sendiri. Sebab, KPK juga memiliki beberapa kendala. Pertama, di tengah semakin inovatif dan kreatifnya perilaku korupsi, perlawanannya tidak diimbangi oleh personel yang ada di internal KPK. Jika dalam beberapa tahun lalu KPK hanya berhadapan dengan kepala daerah dan pejabat di pemerintahan. Namun kini, KPK harus berurusan dengan korporasi, oknum penegak hukum, dan politisi. Sementara, personel yang ada di KPK tidak mengalami penambahan yang signifikan untuk mengimbangi penjarah uang negara.

 

Kedua, sejak didirikan, KPK hampir tidak pernah mendapatkan energi politik. Dalam setiap sepak terjangnya, KPK hampir tidak pernah mendapatkan "restu" politik, baik dari legislatif maupun dari partai politik. Yang ada, malah mereka ramai-ramai "menyerang" KPK dengan berbagai kewenangannya. Bergulirnya hak angket terhadap KPK boleh saja dianggap sebagai upaya memperkuat KPK. Namun jika diamati dan dirunut sejak awal, itu tidak lebih sebagai upaya menghalang-halangi kinerja KPK. Belum lagi teror penyiraman air keras terhadap pegawai KPK.

 

Melihat sepak terjang para politisi, tersingkap sikap antagonisme dari jajaran politisi itu sendiri. Sikap para politisi dan bahkan orang penting di internal parpol seolah tidak merasa memiliki tanggung jawab dalam pemberantasan korupsi. Padahal, dengan terjaringnya politisi oleh KPK, sedikit banyak meruntuhkan nama baik parpol. Seharusnya, mereka berjibaku membantu KPK agar parpol dibersihkan dari politisi dan kepala daerah yang korup. Alih-alih melakukan itu, justru parpol tidak merasa bersalah.

 

Ke depan, aset-aset demokrasi kita akan semakin terancam apabila korupsi terus menjadi persoalan bangsa. Bangsa ini akan tumbuh menjadi bangsa yang permisif dengan praktik korupsi karena generasi bangsa sudah terbiasa dicekoki oleh praktik korupsi. Maka, jangan heran dalam beberapa tahun ke depan, korupsi dianggap sebagai hal yang wajar tanpa ada beban moral yang dipikulnya. ●

 

Sumber :  https://news.detik.com/kolom/d-5721468/episentrum-korupsi-politik-dinasti

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar