Habitus
Sosial, Kanalisasi Informasi, dan Penista Agama Bagong Suyanto ; Dekan FISIP Universitas Airlangga |
KOMPAS, 11 September 2021
Sesungguhnya
sudah sering terjadi bahwa yang namanya penista agama niscaya akan berhadapan
dengan hukum dan dijatuhi vonis penjara. Tetapi, seolah tidak pernah belajar
dari pengalaman, setiap waktu selalu saja bermunculan orang yang bertindak
salah. Alih-alih menghargai keyakinan orang lain, justru yang terjadi muncul
orang-orang yang menista agama dalam berbagai bentuk. Kasus
terbaru, Yahya Waloni, penceramah agama yang cukup terkenal ini dilaporkan ke
Bareskrim Polri oleh komunitas Masyarakat Cinta Pluralisme soal dugaan
penistaan agama terhadap Injil. Yahya Waloni dinilai menista agama dalam
ceramah yang menyebut Injil itu fiktif dan palsu. Bersamaan
dengan kasus Yahya Waloni, ucapan Youtuber Muhammad Kece juga dinilai telah
menistakan agama Islam. Menurut Kece ajaran-ajaran Islam dan Nabi Muhammad
SAW tidak benar dan harus ditinggalkan. Selain itu, masih ada perkataan lain
dari Youtuber ini yang melecehkan membuat umat Islam tersinggung. Akibat
ucapannya yang kontroversional, Muhammad Kece kini ditangkap polisi dan
ditetapkan sebagai tersangka. Sebelum
kasus Yahya Waloni dan Muhammad Kece mencuat, kita tentu masih ingat kasus
Jozeph Paul Zhang. Jozeph bukan saja menghina umat Islam yang melakukan
puasa, akan tetapi ia juga mengkalim dirinya sebagai nabi ke-26 dan menantang
bagi siapa pun untuk melaporkannya ke polisi. Hingga
kini aparat belum berhasil menangkap Jozeph, tetapi yang menarik didiskusikan
adalah kenapa orang-orang seperti Yahya Waloni, Muhammad Kece dan Jozeph Paul
Zhang terus bermunculan? Kenapa ada orang yang berani menista atau penghina
agama di ruang publik? Habitus dan kanalisasi Daftar
orang-orang yang khilaf atau berani menista agama di Indonesia boleh dikata
cukup banyak. Meski Indonesia dikenal sebagai negara yang pluralistik dan
menghargai perbedaan, tetapi selalu saja ada orang-orang yang berpikiran
sempit menganggap keyakinan dan dirinya yang paling benar. Orang-orang
yang terbiasa menganggap keyakinan dan dirinya paling benar, mereka biasanya
sulit menerima perbedaan. Ditengarai orang-orang yang sehari-hari hidup
soliter dan tidak terbiasa menerima hal-hal yang berbeda dalam hidupnya,
mereka cenderung hanya mengakui keyakinan kelompok in-group-nya. Secara
garis besar, ada dua faktor yang melatarbelakangi munculnya orang-orang yang
soliter–yang berpotensi menjadi penista agama. Pertama, faktor habitus sosial
yang sehari-hari didominasi oleh orang-orang yang cenderung bersikap
intoleran. Seseorang yang hidup dalam lingkungan dan jejaring sosial yang
tertutup, mereka biasanya tidak terlatih untuk bersikap toleran terhadap perbedaan.
Sering terjadi orang-orang seperti ini lebih banyak mengembangkan
syakwasangka daripada sikap mau menerima perbedaan sebagai bagian dari
kehidupan sosial. Orang-orang
yang bersikap agnostik, cenderung menganggap tidak penting dan bahkan
melecehkan agama biasanya adalah orang yang tumbuh dalam lingkungan sosial
yang kering dari sentuhan kehidupan beragama. Keluarga yang broken home di
mana anak tidak pernah memperoleh teladan yang baik, jangan harap dari sana
muncul orang-orang yang menghormati pranata keluarga. Demikian pula orang
yang tumbuh dalam lingkungan sosial yang kurang menghargai agama, biasanya
mereka juga cenderung melecehkan, dan bahkan bukan tidak mungkin menista
agama tanpa sedikit pun merasa bersalah. Kedua,
karena menjadi korban dari proses kanalisasi informasi yang biasanya
dikembangkan kelompok-kelompok tertentu. Studi yang dilakukan Tim FISIP Unair
(2019) menemukan bahwa di kalangan kelompok garis keras, mereka biasanya
sengaja mengarahkan dan mengkonstruksi pikiran orang-orang melalui proses
kanalisasi informasi. Artinya, apa informasi yang dikonsumsi seseorang, sejak
awal telah diarahkan, sehingga yang bersangkutan tidak akan menerima
informasi lain sebagai pembanding. Orang-orang
yang mengalami proses kanalisasi informasi, biasanya akan tumbuh dengan
konstruksi sosial yang terbatas. Mereka biasanya tumbuh menjadi orang-orang
yang soliter dan intoleran, karena tidak terbiasa menerima orang-orang dengan
keyakinan yang berbeda. Orang di luar kelompoknya cenderung ditolak, bahkan
pada tingksat ekstrem dianggap musuh yang dihalalkan darahnya. Orang-orang
yang fanatik seperti ini pada titik tertentu tidak akan segan menyerang
keyakinan orang lain, termasuk menista agama yang berbeda karena diyakini apa
pun yang dilakukan orang di luar kelompoknya adalah salah. Akibat
lingkungan sosial yang terbatas dan kanalisasi informasi, implikasinya
kemungkinan lahir orang-orang yang berpikiran sempit menjadi lebih berpeluang
terjadi. Bisa dibayangkan, seseorang yang terus-menerus diarahkan pikirannya,
tentu pelan-pelan mereka akan bersikap tertutup terhadap keyakinan yang
berbeda. Munculnya orang-orang yang intoleran, dan bahkan berani menista
keyakinan orang lain, sedikit-banyak dipengaruhi latar belakang dan akses
mereka yang terbatas pada informasi. Tugas negara Untuk
mencegah agar tidak bermunculan orang-orang yang berani menista agama, harus
diakui yang dibutuhkan bukan hanya pendekatan hukum yang sifatnya
legal-punitif. Belajar dari pengalaman, meski ancaman hukum telah nyata-nyata
menjerat siapa pun yang berani menista agama, tetapi selalu muncul
orang-orang yang berpikiran menyimpang. Di
Indonesia tidak sedikit penista agama yang telah dibawa ke meja hijau dan
dijatuhi vonis penjara. Apakah penerapan sanksi membuat orang lain kapok untuk
tidak melakukan hal yang sama? Ternyata tidak. Dari waktu ke waktu kasus
penistaan agama masih tetap bermunculan dengan berbagai alasan. Munculnya
para penista agama dalam banyak kasus ternyata berkaitan dengan persoalan
politik. Preferensi politik dan ideologi tertentu yang berbeda membuat
sebagian orang terkondisi untuk mengembangkan pikiran yang kaku. Tindakan
kebablasan orang-orang yang berani menista agama, biasanya dilakukan sebagai
ekspresi dari apa yang ada di pikirannya dan fanatisme keyakinannya.
Kebenaran yang secara absolut diyakini ditambah preferensi ideologis yang
kaku adalah faktor yang mendorong orang-orang tertentu cenderung menganggap
orang yang berbeda sebagai pihak yang salah. Memilih
keyakinan dan beragama perlu kita sadari adalah hak pribadi masing-masing
warga negara. Siapa pun warga negara Indonesia berhak memilih keyakinan dan
agama sesuai kepercayaannya masing-masing. Artinya
ini adalah urusan yang sangat privat, tergantung pada pilihan masing-masing
orang secara pribadi. Seseorang yang memaksakan keyakinannya kapada orang
lain, tentu berlawanan dengan jaminan hak pribadi masing-masing warga
masyarakat. Adalah
tugas negara untuk memberikan jaminan agar hak warga masyarakat untuk
beragama ini tidak diganggu gugat. Tindakan orang-orang tertentu yang berani
menista agama orang lain, tentu harus ditempatkan sebagai bentuk pelanggaran
hukum sekaligus bentuk sikap intoleransi yang tidak bisa diterima di bumi
Indonesia yang memiliki akar kelahiran sebagai bangsa yang multipluralis. Dalam
kasus Yahya Waloni, Muhammad Kece, dan penista agama yang lain, yang
dibutuhkan adalah ketegasan dan konsistensi yang kuat dari negara. Selain
ketegasan dan konsistensi penanganan dari segi hukum, yang dibutuhkan untuk
mencegah agar tidak terus muncul para penista agama adalah konter-narasi yang
berupa wacana tentang arti penting toleransi dan penghormatan pada perbedaan.
● Sumber : https://www.kompas.id/baca/opini/2021/09/11/habitus-sosial-kanalisasi-informasi-dan-penista-agama/ |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar