Rabu, 15 September 2021

 

Habitus Sosial, Kanalisasi Informasi, dan Penista Agama

Bagong Suyanto  ;  Dekan FISIP Universitas Airlangga

KOMPAS, 11 September 2021

 

 

                                                           

Sesungguhnya sudah sering terjadi bahwa yang namanya penista agama niscaya akan berhadapan dengan hukum dan dijatuhi vonis penjara. Tetapi, seolah tidak pernah belajar dari pengalaman, setiap waktu selalu saja bermunculan orang yang bertindak salah. Alih-alih menghargai keyakinan orang lain, justru yang terjadi muncul orang-orang yang menista agama dalam berbagai bentuk.

 

Kasus terbaru, Yahya Waloni, penceramah agama yang cukup terkenal ini dilaporkan ke Bareskrim Polri oleh komunitas Masyarakat Cinta Pluralisme soal dugaan penistaan agama terhadap Injil. Yahya Waloni dinilai menista agama dalam ceramah yang menyebut Injil itu fiktif dan palsu.

 

Bersamaan dengan kasus Yahya Waloni, ucapan Youtuber Muhammad Kece juga dinilai telah menistakan agama Islam. Menurut Kece ajaran-ajaran Islam dan Nabi Muhammad SAW tidak benar dan harus ditinggalkan. Selain itu, masih ada perkataan lain dari Youtuber ini yang melecehkan membuat umat Islam tersinggung. Akibat ucapannya yang kontroversional, Muhammad Kece kini ditangkap polisi dan ditetapkan sebagai tersangka.

 

Sebelum kasus Yahya Waloni dan Muhammad Kece mencuat, kita tentu masih ingat kasus Jozeph Paul Zhang. Jozeph bukan saja menghina umat Islam yang melakukan puasa, akan tetapi ia juga mengkalim dirinya sebagai nabi ke-26 dan menantang bagi siapa pun untuk melaporkannya ke polisi.

 

Hingga kini aparat belum berhasil menangkap Jozeph, tetapi yang menarik didiskusikan adalah kenapa orang-orang seperti Yahya Waloni, Muhammad Kece dan Jozeph Paul Zhang terus bermunculan? Kenapa ada orang yang berani menista atau penghina agama di ruang publik?

 

Habitus dan kanalisasi

 

Daftar orang-orang yang khilaf atau berani menista agama di Indonesia boleh dikata cukup banyak. Meski Indonesia dikenal sebagai negara yang pluralistik dan menghargai perbedaan, tetapi selalu saja ada orang-orang yang berpikiran sempit menganggap keyakinan dan dirinya yang paling benar.

 

Orang-orang yang terbiasa menganggap keyakinan dan dirinya paling benar, mereka biasanya sulit menerima perbedaan. Ditengarai orang-orang yang sehari-hari hidup soliter dan tidak terbiasa menerima hal-hal yang berbeda dalam hidupnya, mereka cenderung hanya mengakui keyakinan kelompok in-group-nya.

 

Secara garis besar, ada dua faktor yang melatarbelakangi munculnya orang-orang yang soliter–yang berpotensi menjadi penista agama. Pertama, faktor habitus sosial yang sehari-hari didominasi oleh orang-orang yang cenderung bersikap intoleran. Seseorang yang hidup dalam lingkungan dan jejaring sosial yang tertutup, mereka biasanya tidak terlatih untuk bersikap toleran terhadap perbedaan. Sering terjadi orang-orang seperti ini lebih banyak mengembangkan syakwasangka daripada sikap mau menerima perbedaan sebagai bagian dari kehidupan sosial.

 

Orang-orang yang bersikap agnostik, cenderung menganggap tidak penting dan bahkan melecehkan agama biasanya adalah orang yang tumbuh dalam lingkungan sosial yang kering dari sentuhan kehidupan beragama. Keluarga yang broken home di mana anak tidak pernah memperoleh teladan yang baik, jangan harap dari sana muncul orang-orang yang menghormati pranata keluarga. Demikian pula orang yang tumbuh dalam lingkungan sosial yang kurang menghargai agama, biasanya mereka juga cenderung melecehkan, dan bahkan bukan tidak mungkin menista agama tanpa sedikit pun merasa bersalah.

 

Kedua, karena menjadi korban dari proses kanalisasi informasi yang biasanya dikembangkan kelompok-kelompok tertentu. Studi yang dilakukan Tim FISIP Unair (2019) menemukan bahwa di kalangan kelompok garis keras, mereka biasanya sengaja mengarahkan dan mengkonstruksi pikiran orang-orang melalui proses kanalisasi informasi. Artinya, apa informasi yang dikonsumsi seseorang, sejak awal telah diarahkan, sehingga yang bersangkutan tidak akan menerima informasi lain sebagai pembanding.

 

Orang-orang yang mengalami proses kanalisasi informasi, biasanya akan tumbuh dengan konstruksi sosial yang terbatas. Mereka biasanya tumbuh menjadi orang-orang yang soliter dan intoleran, karena tidak terbiasa menerima orang-orang dengan keyakinan yang berbeda. Orang di luar kelompoknya cenderung ditolak, bahkan pada tingksat ekstrem dianggap musuh yang dihalalkan darahnya. Orang-orang yang fanatik seperti ini pada titik tertentu tidak akan segan menyerang keyakinan orang lain, termasuk menista agama yang berbeda karena diyakini apa pun yang dilakukan orang di luar kelompoknya adalah salah.

 

Akibat lingkungan sosial yang terbatas dan kanalisasi informasi, implikasinya kemungkinan lahir orang-orang yang berpikiran sempit menjadi lebih berpeluang terjadi. Bisa dibayangkan, seseorang yang terus-menerus diarahkan pikirannya, tentu pelan-pelan mereka akan bersikap tertutup terhadap keyakinan yang berbeda. Munculnya orang-orang yang intoleran, dan bahkan berani menista keyakinan orang lain, sedikit-banyak dipengaruhi latar belakang dan akses mereka yang terbatas pada informasi.

 

Tugas negara

 

Untuk mencegah agar tidak bermunculan orang-orang yang berani menista agama, harus diakui yang dibutuhkan bukan hanya pendekatan hukum yang sifatnya legal-punitif. Belajar dari pengalaman, meski ancaman hukum telah nyata-nyata menjerat siapa pun yang berani menista agama, tetapi selalu muncul orang-orang yang berpikiran menyimpang.

 

Di Indonesia tidak sedikit penista agama yang telah dibawa ke meja hijau dan dijatuhi vonis penjara. Apakah penerapan sanksi membuat orang lain kapok untuk tidak melakukan hal yang sama? Ternyata tidak. Dari waktu ke waktu kasus penistaan agama masih tetap bermunculan dengan berbagai alasan.

 

Munculnya para penista agama dalam banyak kasus ternyata berkaitan dengan persoalan politik. Preferensi politik dan ideologi tertentu yang berbeda membuat sebagian orang terkondisi untuk mengembangkan pikiran yang kaku.

 

Tindakan kebablasan orang-orang yang berani menista agama, biasanya dilakukan sebagai ekspresi dari apa yang ada di pikirannya dan fanatisme keyakinannya. Kebenaran yang secara absolut diyakini ditambah preferensi ideologis yang kaku adalah faktor yang mendorong orang-orang tertentu cenderung menganggap orang yang berbeda sebagai pihak yang salah.

 

Memilih keyakinan dan beragama perlu kita sadari adalah hak pribadi masing-masing warga negara. Siapa pun warga negara Indonesia berhak memilih keyakinan dan agama sesuai kepercayaannya masing-masing.

 

Artinya ini adalah urusan yang sangat privat, tergantung pada pilihan masing-masing orang secara pribadi. Seseorang yang memaksakan keyakinannya kapada orang lain, tentu berlawanan dengan jaminan hak pribadi masing-masing warga masyarakat.

 

Adalah tugas negara untuk memberikan jaminan agar hak warga masyarakat untuk beragama ini tidak diganggu gugat. Tindakan orang-orang tertentu yang berani menista agama orang lain, tentu harus ditempatkan sebagai bentuk pelanggaran hukum sekaligus bentuk sikap intoleransi yang tidak bisa diterima di bumi Indonesia yang memiliki akar kelahiran sebagai bangsa yang multipluralis.

 

Dalam kasus Yahya Waloni, Muhammad Kece, dan penista agama yang lain, yang dibutuhkan adalah ketegasan dan konsistensi yang kuat dari negara. Selain ketegasan dan konsistensi penanganan dari segi hukum, yang dibutuhkan untuk mencegah agar tidak terus muncul para penista agama adalah konter-narasi yang berupa wacana tentang arti penting toleransi dan penghormatan pada perbedaan. ●

 

Sumber :  https://www.kompas.id/baca/opini/2021/09/11/habitus-sosial-kanalisasi-informasi-dan-penista-agama/

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar