Kamis, 09 September 2021

 

Petani Milenial dan Masa Depan Bangsa

Dyah Margani Utami  ;  Kandidat Doktor Ilmu Ekonomi Universitas Indonesia, Fungsional Ketenagaan dan Kelembagaan Kementerian Pertanian

MEDIA INDONESIA, 8 September 2021

 

 

                                                           

SAAT sambutan pada pembukaan pelatihan petani dan penyuluh serta pengukuhan Duta Petani Milenial (DPM)/Duta Petani Andalan (DPA) pada Jumat (6/8), Presiden Joko Widodo berharap lebih banyak lagi generasi muda banting setir menjadi petani. Pada kesempatan ini Presiden menegaskan bahwa sektor pertanian justru terbilang sektor yang paling kuat di masa saat ini. 

 

Setidaknya ada dua hal utama yang tersirat pada sambutan tersebut; pertama, sektor pertanian terbukti menjadi penyelamat pada krisis finansial 1998 maupun krisis akibat pandemi covid-19. Dengan mencatat pertumbuhan 0,93%, sektor pertanian merupakan satu-satunya sektor yang mencatatkan pertumbuhan positif pada saat semua sektor yang lain mengalami pertumbuhan negatif. Pengalaman yang sama terjadi saat ini dengan pertumbuhan 1,75% pada 2020, dan 2,95% pada kuartal I 2021 sementara sebagian besar sektor lain mengalami penurunan. 

 

Kedua, fungsi penyelamat juga ditunjukkan dengan tertampungnya tenaga kerja dari sektor non-pertanian yang kehilangan pekerjaan akibat krisis. Secara umum, tingkat pertumbuhan tenaga kerja yang bekerja di sektor pertanian cenderung menurun sekitar 5% per tahun. Namun pada 1998 dan 2020 terjadi anomali berupa penambahan proporsi sebesar 4,5% pada 1998 dan 7,5% pada 2020. Dengan demikian muncul pertanyaan, manakah yang lebih menguntungkan pembangunan di sektor pertanian, jumlah tenaga kerja yang semakin berkurang ataukah bertambah?

 

Bertahan di sektor pertanian

 

Diskusi tentang berpindahnya tenaga pertanian atau transformasi struktural oleh ekonom pada umumnya mengacu pada teori yang dikenal dengan surplus tenaga kerja dua sektor (two sector surplus labor), yaitu sektor tradisional yang merujuk pada sektor pertanian atau perdesaan subsisten dan sektor non-tradisional (modern) yang merujuk pada sektor industri perkotaan. Teori ini dikemukakan Arthur Lewis pada 1954. 

 

Menurut teori ini, pembangunan sektor pertanian dapat tercapai dengan adanya perpindahan tenaga kerja pertanian ke sektor non-pertanian. Hal ini dikarenakan produktivitas marjinal sektor non-pertanian lebih tinggi. Sedangkan sektor pertanian mengalami produktivitas marjinal nol. 

 

Produktivitas marjinal yang lebih tinggi berarti petani yang berpindah ke sektor non-pertanian akan memperoleh tingkat upah yang lebih tinggi. Dengan kata lain, pendapatan tenaga kerja di sektor pertanian rata-rata lebih rendah dibanding upah tenaga kerja di sektor non-pertanian. Namun ternyata perpindahan tenaga kerja dari sektor pertanian ke sektor non-pertanian tidak selalu diikuti dengan peningkatan pendapatan.

 

Analisa secara makro dengan menggunakan perbandingan proporsi PDRB dan proporsi tenaga kerja antar sektor non-pertanian dan sektor pertanian di 10 kabupaten/kota yang tergolong mengalami pertumbuhan ekonomi tertinggi seperti Kota Bandung, Kota Gorontalo, Kota Denpasar, Kota Sukabumi, Kota Malang, Kabupaten Banyuwangi, Kabupaten Bantul, Kabupaten Badung, Kabupaten Sleman, dan Kabupaten Kudus menunjukkan kecenderungan beragam. Berdasarkan data antara 2007 sampai 2015, pada semua kabupaten/kota tersebut terjadi peningkatan proporsi tenaga kerja di sektor non-pertanian. 

 

Namun demikian berbeda dengan kabupaten/kota lainnya, sektor non-pertanian di Kota Denpasar dan Kabupaten Badung terutama sektor pariwisata, mengalami peningkatan tenaga kerja yang sangat tinggi dibanding peningkatan produktivitasnya. Hal ini mengindikasikan adanya kecenderungan pendapatan rata-rata tenaga kerja di sektor non-pertanian yang semakin menurun, akibat pertumbuhan produktivitas yang jauh lebih rendah dibanding penambahan tenaga kerja. Di sisi lain, pendapatan rata-rata tenaga kerja di sektor pertanian semakin meningkat.

 

Sementara itu, analisa data mikro menunjukkan hasil yang berbeda pada rentang waktu berbeda. Data yang digunakan pada penelitian ini adalah data Indonesian Family Life Survey (IFLS). Data ini didapatkan dari survei berulang (survei 2000, 2007, dan 2014) pada rumah tangga yang sama. Berdasarkan data IFLS, Lembaga penelitian di bawah Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia menyimpulkan bahwa berpindahnya rumah tangga petani miskin dari sektor pertanian ke sektor non-pertanian antara 2000 sampai 2007, berdampak pada peningkatan kesejahteraan keluarga bersangkutan. 

 

Namun dampak ini tidak ditemukan untuk rumah tangga petani miskin yang berpindah pada periode 2007 sampai 2014 (Moeis, Dartanto, Moeis, & Ikhsan, 2020). Dengan kata lain, perpindahan tenaga kerja dari sektor pertanian ke sektor non-pertanian tidak menjamin dapat meningkatkan pendapatan atau bukan menjadi solusi untuk mengentaskan kemiskinan. Dampak lain yang perlu digarisbawahi terkait perpindahan ini adalah bahwa perpindahan pekerjaan seringkali disertai pengurangan atau konversi aset produksi pertanian. Bahkan pengurangan atau konversi ini bersifat permanen sehingga berdampak pada penurunan input produksi pertanian.

 

Kondisi SDM pertanian

 

Dari sektor pertanian, pengurangan penyerapan tenaga kerja pertanian memang menjadi salah satu mekanisme untuk mengurangi beban sektor pertanian yang pada akhirnya akan meningkatkan produktivitas pertanian. Namun, apa yang terjadi jika tenaga kerja yang keluar dari pertanian adalah tenaga kerja unggulan? Bukannya meningkat, produktivitas sektor pertanian semakin menurun dan produktivitas sektor lainnya meningkat.

 

Fenomena inilah yang terjadi saat ini di Indonesia dan banyak negara lainnya. Jika perpindahan ke sektor industri dan jasa ini membutuhkan persyaratan kompetensi tertentu, bisa jadi sebagian besar yang bertahan di sektor pertanian adalah mereka yang tidak dapat berpindah ke sektor lain karena kompetensinya yang kurang. Kondisi ini menyebabkan brain drain atau pengurasan tenaga kerja berpendidikan tinggi di sektor pertanian. 

 

Statistik Ketenagakerjaan Sektor Pertanian yang diterbitkan Pusat Data dan Sistem Informasi Kementerian Pertanian menyatakan bahwa pada 2020 proporsi tenaga kerja di sektor pertanian yang berlatar belakang pendidikan dasar sebesar 83%, pendidikan menengah sebesar 15%, dan pendidikan tinggi hanya sebesar 2%. Dari segi usia, terlihat adanya penuaan tenaga kerja di sektor pertanian. 

 

Dalam sambutannya, Presiden juga menyoroti dominasi petani tua dengan usia di atas 45 tahun sebanyak 71% dan menyisakan petani berusia kurang dari 45 tahun sebesar 29%. Hal ini dipengaruhi oleh citra sektor pertanian yang kurang keren bagi generasi muda dan kurang bisa memberikan imbal hasil yang memadai menurunkan minat untuk menjadi petani. Rendahnya imbal hasil ini dipengaruhi oleh relatif sempitnya penguasaan lahan. 

 

Sejalan dengan pandangan seperti ini, pada umumnya orang tua di perdesaan juga tidak menginginkan anak-anak mereka bekerja di desa sebagai petani sebagaimana pekerjaan mereka saat ini. Krisis petani muda inilah yang menjadi hambatan terhadap produktivitas pertanian, daya saing pasar, kapasitas ekonomi perdesaan, dan bermuara pada ancaman terhadap ketahanan pangan serta keberlanjutan sektor pertanian.

 

Potensi kesuksesan 

 

Dari uraian di atas, merangkul generasi muda ke dunia pertanian dapat dipandang sebagai upaya ideal untuk pembangunan sektor pertanian sebagai penyangga ketahanan pangan yang berkelanjutan. Dalam hal ini, generasi muda, khususnya generasi milenial yang lahir di sekitar 1980 sampai 2000an merupakan target utama. Bukan hanya dominasi secara kuantitas yang mencapai 34% pada 2020, perilaku generasi milenial juga menjadi market-driver. Kriteria dari generasi tersebut biasanya ditandai dengan adanya keakraban dengan komunikasi, media, juga teknologi digital.

 

Karakteristik inilah yang memungkinkan generasi milenial mampu berkembang di sektor pertanian. Dengan memanfaatkan teknologi, usaha-usaha pertanian di tangan generasi milenial diharapkan mampu beradaptasi dan berkembang karena beberapa alasan utama. Pertama, pemanfaatan artificial-intelligence dan roboticsenabled technologies akan meningkatkan efisiensi kegiatan produksi. Kesan kotor, panas, bahkan kumuh juga akan hilang. Pada tahap budidaya misalnya, pengendalian faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dapat dilakukan jarak jauh. 

 

Kedua, dengan adanya digital platform, pemasaran hasil ataupun pembelian input produksi menjadi lebih murah dan efisien karena proses pengiriman yang semakin baik, rantai pasok yang semakin pendek, dan adanya kesesuaian yang lebih baik antara produsen dan konsumen. 

 

Di Indonesia, potensi transaksi secara elektronik meningkat lebih dari enam kali lipat dari 2016 yang hanya sekitar Rp261 triliun menjadi Rp1.700 triliun pada 2020. Dari besaran ini, penggunaan aplikasi terbesar adalah untuk layanan transportasi dan pengantaran makanan. Di sinilah potensi usaha pertanian terbuka lebar, yaitu sebagai pemasok bahan pangan.

 

Dukungan Pemerintah

 

Gerakan pembentukan petani milenial diyakini dapat mensejahterakan kehidupan berbangsa. Dua aspek utama yang dibutuhkan gerakan ini adalah peningkatan kualitas SDM petani milenial dan lingkungan yang mendukung perkembangan usaha pertanian. Badan Penyuluhan dan Pengembangan SDM Pertanian (BPPSDMP) menjadikan petani milenial, yaitu petani dan/atau pengusaha pertanian yang saat ini berusia antara 19-39 tahun, sebagai sasaran utama kegiatan. Berbagai program dalam bingkai penyuluhan, pendidikan, dan pelatihan pertanian ditujukan untuk menumbuhkembangkan kewirausahaan muda pertanian. BPPSDMP menetapkan target terbentuknya 2,5 juta petani milenial dalam lima tahun ke depan.

 

Pandemi nampaknya menjadi kesempatan untuk memperbesar skala peserta pelatihan dalam waktu relatif singkat. Penggunaan metode daring ataupun modifikasi antara daring dan luring memungkinkan Pusat Pelatihan Pertanian untuk menyelenggarakan pelatihan beberapa gelombang yang diikuti oleh lebih dari 1,6 juta peserta yang terdiri dari petani dan insan pertanian lainnya dalam waktu kurang dari dua minggu. 

 

Selain itu, BPPSDMP juga menetapkan kegiatan pendukung lainnya seperti penumbuhan wirausaha muda pertanian (PWMP), pelatihan kewirausahaan bagi petani, pendidikan vokasi, pelatihan vokasi, pengembangan Komando Strategi Pembangunan Pertanian tingkat Kecamatan (Kostratani), pemberdayaan pusat pelatihan pertanian dan perdesaan swadaya (P4S), Duta Petani Milenial/Duta Petani Andalan, integrated participatory development and management of irrigation project (IPDMIP), serta program youth enterpreneur and employment support services (YESS). 

 

Sebulan setelah pembukaan pelatihan petani dan penyuluh serta pengukuhan DPM/DPA, pada Senin (6/9) Pusat Pelatihan Pertanian menyelenggarakan kegiatan dukungan lainnya berupa pelatihan kewirausahaan pertanian bagi petani milenial. Target kegiatan ini adalah 10.473 peserta pelatihan.

 

Dalam lingkup yang lebih luas, peningkatan kualitas SDM ini juga dibarengi dengan program kredit usaha rakyat (KUR) yang melibatkan sektor perbankan dengan target penyaluran sebesar Rp70 triliun pada 2020. Selanjutnya, integrasi program lintas kementerian juga sangat pendukung terciptanya lingkungan usaha yang sesuai seperti pemanfaatan program dana desa dari Kementerian Desa, PDT, dan Transmigrasi untuk membangun sarana dan prasarana pendukung usaha pertanian, dan kerja sama dengan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif untuk pengembangan agrowisata. 

 

Model kerja sama dalam peningkatan kualitas SDM pertanian antar kementerian ini telah diwujudkan melalui program IPDMIP. Sedangkan program YESS merupakan bentuk kerja sama dengan lembaga internasional IFAD (International Fund for Agricultural Development). Jadi, masih ragu untuk menjadi petani?

 

Sumber :  https://mediaindonesia.com/opini/431296/petani-milenial-dan-masa-depan-bangsa

Tidak ada komentar:

Posting Komentar