Rabu, 15 September 2021

 

Menghindari Jebakan Eskatologis

Boni Hargens  ;  Direktur Lembaga Pemilih Indonesia (LPI); Mengajar Ilmu Politik di sejumlah universitas

KOMPAS, 11 September 2021

 

 

                                                           

Kenapa badai meniup di Kabul, kupu-kupu mengepak di Jakarta? Apa sesungguhnya yang diperjuangkan oleh mereka yang intoleran dan antidemokrasi? Ada apa dengan mereka yang terus merindukan Piagam Jakarta?

 

Mengalir di mana-mana diskusi tentang dampak kemenangan Taliban di Afghanistan terhadap revivalisme semangat dan ancaman radikalisme di Tanah Air.

 

Dalam sebuah diskusi terarah (FGD) yang diselenggarakan Divisi Humas Mabes Polri, Kepala Detasemen Khusus 88 Anti Teror Kepolisian Negara Republik Indonesia (Densus 88), Martinus Hukom, menguak konsep eskatologi sebagai basis teologis di balik perluasan aksi teroris dalam sejarah. Simpatisan Taliban, termasuk semua pendukung teokrasi yang menginginkan negara berbasis kitab suci, tentu memegang konsepsi keselamatan tertentu yang memicu lonjakan militansi dari waktu ke waktu.

 

Seperti kaum teroris dan kaum radikal dari segala latar belakang (budaya, agama, ekonomi, dan sebagainya), Taliban meyakini realitas sosial-politik hari ini berada dalam cengkeraman Batara Kala sehingga perlu ada “aksi penyelamatan”—meskipun mereka tak menyadari orang lain justru melihat aksi mereka sebagai ancaman bagi ekosistem sosial-politik luas!

 

Eskatologi biasa dikenal sebagai “doktrin akhir zaman”. Dalam bahasa Yunani, ada kata aeon yang artinya “akhir dari suatu fase sejarah”. Lalu, ada nosi eschatos yang artinya “yang terakhir”. Eskatologi lumrah dikaitkan dengan teologi agama-agama samawi seperti Yahudi, Islam, dan Kristen yang mengintroduksi konsepsi keselamatan akhir zaman.

 

Sebetulnya, istilah ini tidak hanya terbatas pada konteks teistik. Dalam mitologi ataupun cerita rakyat yang berkembang dalam beragam masyarakat, konsep eskatologi juga berkembang. Ada yang menafsirnya sebagai akhir dari realitas duniawi seperti kehancuran planet bumi. Dari akar katanya, eskatologi mengacu pada akhir dari suatu periode zaman. Spektrum “periode zaman” ini beragam secara kultural, sehingga “akhri zaman” juga konsep yang plural.

 

Meyakini adanya akhir zaman dan mengharapkan keselamatan kekal adalah pilihan personal yang tentu baik.

 

Namun, harapan eskatologis terkadang memudarkan kesadaran tentang realitas hari ini. Kita masih ingat tragedi di Uganda tahun 2000. Ada 700 jemaat “gereja akhir zaman” membakar diri secara massal. Mereka menganut paham post-milenial dalam doktrin akhir zaman bahwa pergantian milenium (1.000 tahun) adalah jejak waktu Parousia atau kedatangan Yesus Kristus untuk kedua kalinya. Membakar diri adalah aksi menyongsong keselamatan kekal.

 

Kita juga ingat, di awal penetapan kebijakan karantina dan jarak sosial (social distancing), banyak umat dari berbagai agama menolak penutupan rumah ibadah. Penghayatan yang mendalam, terkadang menjadi radikal, tentang keselamatan kekal acapkali membuat sebagian orang mengabaikan masa kini.

 

Realitas masa depan dan kekinian

 

Eskatologi adalah konsep yang cair. Tiap agama dan tradisi memiliki pandangan tersendiri. Bahkan dalam satu agama atau tradisi tertentu muncul kelompok-kelompok tafsir yang variatif tentang denotasi eskalotogi. Orang merindukan datangnya keselamatan kekal itu. Biasanya, kerumitan realitas hidup mendorong orang bertransendensi pada suatu realitas masa depan.

 

Positifnya, hal itu memupuk harapan dan menguatkan. Negatifnya, orang terjebak pada harapan masa depan sampai gagal untuk berharap pada realitas kekinian. Inilah yang saya sebut dalam tulisan ini sebagai “jebakan eskatologis”.

 

Komunitas teroris, kaum radikal kiri maupun radikal kanan, termasuk kelompok anti-demokrasi lainnya melihat modernisme, globalisme, termasuk praksis demokrasi liberal sebagai kemunafikan melembaga yang harus didekonstruksi secara menyeluruh.

 

Negara komunis sampai hari ini melihat keterkekangan warganya sebagai pilihan terbaik untuk menghindari keburukan modernisasi dan globalisasi. Wahabi, termasuk ISIS, berkembang luas setelah Musim Semi Arab tahun 2010. Gagasannya sama, bahwa demokrasi bukan jalan terbaik. Namun, mereka bukan komunis yang anti-agama. Mereka hanya ingin mendirikan negara berdasarkan ayat suci sebagai bentuk operasionalisasi dari harapan eskatologis yang diterjemahkan ke dalam praksis politik.

 

Di Eropa Barat, setidaknya dalam catatan Michael Minkenberg (2000), radikalisme sayap kanan terus menguat. Neo-fasisme berkembang di Jerman, dari Munchen dan Dresden menuju Molln dan Magdeburg, dan di Perancis, dari Vichy ke Vitrolles.

 

Tahun 2012, ketika kami masih berada di Jerman, ribuan neo-Nazi memadati Dresden, dan sepanjang 2013-2014 aksi protes kelompok ini terjadi di Hamburg menyusul kebijakan pemerintahan Angela Merkel yang membuka pintu bagi pengungsi Timur Tengah.

 

Bersamaan dengan itu, sebagian radikalis sayap kanan di 2013 muncul dengan baju partai politik Alternative fur Deutschland (AfD) yang sukses di semua parlemen negara bagian pada pemilu 2014 dan memenangi 12,6 persen suara di pemilu federal 2017. AfD kini menjadi oposisi terkuat terhadap pemerintahan koalisi gemuk Angela Merkel.

 

Dalam sebuah wawancara media, bekas teroris yang pernah dibekuk Densus 88, Ustaz Khairul Ghazali, berbagi kisah soal banyaknya ikhwan muda, yang dia lihat di Sumatera Utara, mau mendaftar sebagai teroris karena tergerak oleh janji bertemu 72 bidadari di surga nanti.

 

Gagasan eskatologi yang cair, dari dimensi waktu, membuat sebagian orang memegang tafsir subyektif yang tentunya berpengaruh terhadap perilaku sosial di tengah kompleksitas societal yang jamak dan luas.

 

Paradoks demokrasi

 

Di zaman modern, demokrasi diterima sebagai sistem politik yang mendamaikan harapan eskatologis dengan realitas kekinian. Demokrasi memungkinkan konsepsi keadilan, kesetaraan, kebebasan, dan hak individu memperoleh pewujudan yang konkret—meskipun tesis ini justru menjadi perdebatan kekal karena paradoks tak terhindarkan dalam praksis! Ketika demokrasi melahirkan paradoks, ada yang mulai ragu dengan demokrasi, tetapi tetap menerimanya sebagai sistem minus malum.

 

Sedangkan yang lain berusaha membangun sistem alternatif seperti mengusung konsepsi khilafah. Mereka menolak dalil “kedaulatan rakyat” dan menghendaki negara yang berdasarkan “kedaulatan Tuhan”. Dalam sejarah politik, memang dikenal konsep itu sebagaimana halnya konsep “kedaulatan raja” dalam monarki, atau “kedaulatan negara” dalam sistem otoriter.

 

Tak ada realitas tanpa konflik. Itu sudah menjadi hakikat dari kehidupan sosial. Antagonisme politik pun, mengutip Maurice Duverger (1972), sering kali menjelma menjadi konflik.

 

Demokrasi sebagai tesis sejarah tentu mengandung antitesis yang melahirkan pertentangan. Tetapi, hal itu tidak dengan sendirinya menyingkirkan seluruh konten baik di dalam mazhab demokrasi. Maka, pilihannya bukan pada bagaimana menghancurkan, melainkan bagaimana membenahi demokrasi.

 

Pancasila sebagai lensa waktu

 

Para pendiri bangsa, founding fathers, ini telah menyepakati demokrasi sebagai sistem politik yang terbaik. Mereka tak memilih teokrasi, negara agama, meski itu hal yang sangat mungkin karena Indonesia negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia. Bahkan ketika Piagam Jakarta menjadi perdebatan sengit, para pendiri berjiwa besar untuk menerima Pancasila sebagai dasar negara.

 

Keselamatan yang ditawarkan agama hanya mungkin diwujudkan dalam hidup duniawi melalui penegakan prinsip kemanusiaan yang adil dan beradab dalam suatu koeksistensi membangsa yang menjunjung persatuan.

 

Sungguh dahsyat yang dikatakan Bung Karno, dalam pidato di hadapan Sidang BPUPKI 1 Juni 1945, bahwa mendirikan sebuah negara-bangsa bernama “Indonesia” adalah “…mendirikan satu Nationale staat, di atas kesatuan bumi Indonesia dari Ujung Sumatera sampai ke Irian…”.

 

Demokrasi yang kita bangun bukan demokrasi impor, melainkan sistem yang beradaptasi dengan kontekstur lokal yaitu “musyawarah dalam mufakat” demi keterwujudan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

 

Jelas sekali tercatat, Pancasila sebagai Weltanschauung mengandung makna implikatif bahwa Pancasila merupakan (a) lensa waktu untuk kita menatap masa kini dan masa depan sebagai sebuah negara-bangsa yang merdeka, yang dengannya kita bisa memiliki kacamata yang sama sebagai satu entitas kebangsa -an, dan (b) sebuah pandangan dunia atau falsafah yang mendasari seluruh sistem berpikir dalam mengatur diri sebagai negara-bangsa.

 

Dengan redaksi lain, Pancasila adalah fondasi eskatologis untuk kita bisa berharap akan keselamatan di masa depan dengan menghargai dan memaknai hidup hari ini dalam kebersamaan sebagai satu Indonesia. ●

 

Sumber :  https://www.kompas.id/baca/opini/2021/09/11/menghindari-jebakan-eskatologis/

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar