Pendidikan
Indonesia Bergerak ke Mana? Amich Alhumami ; Penekun Kajian Pendidikan, Meraih PhD
Antropologi dari University of Sussex, United Kingdom |
MEDIA INDONESIA,
10 September 2021
PEMBANGUNAN
pendidikan telah membuahkan hasil yang relatif baik, terutama dalam hal
pemerataan akses di semua jenjang. Dalam satu dekade terakhir, angka
partisipasi kasar (APK) SMP/MTs, dan SMA/SMK/MA meningkat signifikan
masing-masing dari 80,60% dan 62,85% (2010) menjadi 92,06% dan 84,53% (2020).
Namun, capaian partisipasi pendidikan yang terus meningkat ini tidak seimbang
dengan kualitas yang stagnan saja, bahkan cenderung menurun. Hasil studi: penurunan kualitas Dalam hal mutu
pendidikan, kita memang sedang menghadapi situasi krisis yang sangat serius,
sebagaimana dapat dibaca melalui dua hasil kajian ilmiah kredibel, yang
terbit berurutan mengenai capaian hasil belajar siswa-siswa Indonesia.
Pertama, studi Bank Dunia berjudul Estimates of Covid-19 Impacts on Learning
and Earning in Indonesia (2020) menunjukkan kemampuan belajar (learning
ability)—mencerminkan kecakapan intelektual (cognitive skills)—siswa-siswa
Indonesia tergolong lemah. Kajian ini
membuat suatu analisis yang menghubungkan antara rata-rata lama sekolah 12,3
tahun (tamat SMA) dinilai setara dengan 7,9 tahun saja (kelas II SMP) dalam
hal mutu pembelajaran. Capaian hasil belajar yang menggambarkan kualitas
akademik tidak sama dengan berapa lama (tahun) siswa menempuh pendidikan di
sekolah. Jadi, ada perbedaan antara lama siswa berada di dalam sistem
persekolahan dengan pencapaian akademik dan kualitas pembelajaran. Hal ini
menunjukkan meskipun anak-anak tercatat bersekolah pada suatu jenjang pendidikan
(dasar-menengah), mereka tidak melakukan aktivitas pembelajaran untuk
mencerna, memahami, dan menguasai suatu bidang ilmu yang diajarkan di
sekolah. Dalam konteks
ini, ada perbedaan mendasar antara dua konsep pokok yang bersinggungan,
tetapi dapat dipisahkan: schooling dan
learning. Schooling adalah
suatu proses siswa menempuh pendidikan dalam sistem persekolahan formal
secara berjenjang, dalam rentang waktu tertentu. Adapun learning ialah suatu proses kognitif untuk mengembangkan daya
inteligensia, dan mengeksplorasi kapasitas intelektual, sebagai penanda
brain-based skills berfungsi baik sehingga siswa dapat menguasai jenis-jenis
pengetahuan dan keterampilan, berpuncak pada pencapaian akademik tinggi. Kedua, artikel
ilmiah yang ditulis lima sarjana terpandang: Amanda Beatty, Emile Berkhout,
Luhur Bima, Menno Pradhan dan Daniel Suryadarma, berjudul Schooling Progress,
Learning Reversal: Indonesia’s Learning Profiles Between 2000 and 2014, yang
terbit di International Journal of Educational Development (2021). Para
pengarang menegaskan capaian hasil belajar siswa-siswa Indonesia mengalami
penurunan sangat drastis dalam waktu 14 tahun. Bayangkan, kemampuan
matematika pelajar-pelajar kelas II SMP pada 2014, sama dengan kemampuan
siswa-siswa yang duduk di kelas IV SD pada 2000. Faktor
penurunan sangat tajam ini berpangkal pada, antara lain, pergantian kurikulum
semula KTSP 1994 menjadi K-13 (Kurikulum Tahun 2013) yang mengubah secara
mendasar: struktur, muatan, jumlah jam, dan metode pengajaran. Untuk mata
pelajaran matematika, materi yang semula terstruktur dengan pokok bahasan
berurutan, berubah menjadi tematik dan melompat yang membuat siswa acap kali
tidak bisa melihat kaitan antartopik bahasan karena disajikan bersilangan. Jumlah jam
yang semula 10 jam per minggu, berkurang jauh menjadi hanya 6 jam sehingga
mengurangi tingkat kedalaman pembahasan untuk setiap pokok bahasan. Maka,
tidak mengherankan jika penguasaan matematika mengalami kemerosotan sangat
signifikan. Mencegah learning poverty Sejalan dengan
hasil studi di atas, hal yang lebih mengkhawatirkan ialah bila anak-anak usia
sekolah mengalami apa yang disebut learning poverty. Makna frasa ini merujuk
pada anak-anak berusia 10 tahun yang tidak/belum bisa membaca (reading disability). Menurut
laporan Bank Dunia (2019), sekitar 53% anak-anak yang tinggal di
negara-negara berpendapatan rendah/menengah, bahkan di negara-negara miskin,
angka bisa mencapai 80% —tidak bisa membaca, dan tidak mampu memahami cerita
ringkas dalam suatu teks sederhana meskipun mereka sudah tamat SD. Padahal,
kemampuan membaca ialah syarat utama untuk dapat mengakses pengetahuan dan
menguasai berbagai bidang ilmu: matematika, sains, dan sosial-humaniora. Kemampuan
membaca merupakan fondasi bagi setiap anak untuk dapat mengeksplorasi segenap
talenta, bahkan potensi kecerdasan jamak, untuk berkembang mencapai
puncaknya. Karena itu, ketidakmampuan membaca akan menghalangi setiap anak
untuk dapat berkembang maju, menjelajahi samudra ilmu pengetahuan yang
demikian luas. Ketidakmampuan membaca juga menjadi indikasi kuat sistem
persekolahan tidak bekerja baik. Pertanda proses pembelajaran di sekolah
tidak efektif, untuk membantu para siswa mengembangkan potensi dan bakat
akademik secara optimal. Sesungguhnya
dua hasil kajian yang sudah terpublikasi di atas, paralel dengan hasil PISA
(Programme for International Student Assessment), yang mengukur kemampuan
anak-anak usia 15 tahun ke atas bidang literasi, numerasi, dan sains. Pada
2018, capaian PISA siswa-siswa Indonesia juga tertinggal jauh, di bawah level
2 (terendah) dari level 6 (tertinggi), dengan nilai yang diraih berurutan:
371 (membaca), 379 (matematika), dan 396 (sains). Berpijak pada
berbagai referensi yang kredibel—hasil studi dan laporan PISA—dalam
mengevaluasi kinerja pendidikan RI, kita perlu merumuskan kembali kebijakan
yang lebih efektif, dan menyusun strategi baru yang lebih tepat untuk
mencegah kualitas tidak semakin memburuk. Dalam situasi
demikian, standar pengukuran dan penilaian hasil belajar tetap diperlukan,
untuk mengetahui tingkat pencapaian akademik siswa selama menempuh pendidikan
pada setiap jenjang. Namun, baik UN maupun UNBK sebagai metode pengukuran dan
instrumen penilaian sudah resmi dihapus sehingga pada tahun-tahun mendatang
kita tidak tahu perkembangan prestasi belajar siswa-siswa Indonesia. Sungguh tidak
mudah mengurus pendidikan yang demikian kompleks: pertama, merujuk asas
desentralisasi, kewenangan pengelolaan, dan penyelenggaraan terbagi ke setiap
tingkatan administrasi pemerintahan: pusat, provinsi, dan kabupaten/kota.
Kedua, manajemen guru yang pelik (sebaran tidak merata, kompetensi belum
memenuhi standar). Selanjutnya,
ketiga infrastruktur esensial (gedung, ruang kelas, laboratorium,
perpustakaan, dan peralatan) belum tersedia lengkap dan merata. Keempat
karakteristik wilayah sangat beragam dan sulit akses. Kelima diskontinuitas
dan inkonsistensi pelaksanaan kebijakan. Menimbang semua
kerumitan ini dibutuhkan figur kredibel dan otoritatif yang memiliki
pengetahuan mendalam, horizon pemikiran luas, dan memahami aneka masalah
fundamental sektor pendidikan. Haluan pembangunan pendidikan harus
dikembalikan ke arah yang benar, agar kinerja pendidikan tidak semakin
merosot, alih-alih bergerak ke arah kemajuan. ● |
Sumber : https://mediaindonesia.com/opini/431673/pendidikan-indonesia-bergerak-ke-mana
Tidak ada komentar:
Posting Komentar