Rabu, 15 September 2021

 

Pendidikan Indonesia Bergerak ke Mana?

Amich Alhumami ;  Penekun Kajian Pendidikan, Meraih PhD Antropologi dari University of Sussex, United Kingdom

MEDIA INDONESIA, 10 September 2021

 

 

                                                           

PEMBANGUNAN pendidikan telah membuahkan hasil yang relatif baik, terutama dalam hal pemerataan akses di semua jenjang. Dalam satu dekade terakhir, angka partisipasi kasar (APK) SMP/MTs, dan SMA/SMK/MA meningkat signifikan masing-masing dari 80,60% dan 62,85% (2010) menjadi 92,06% dan 84,53% (2020). Namun, capaian partisipasi pendidikan yang terus meningkat ini tidak seimbang dengan kualitas yang stagnan saja, bahkan cenderung menurun.  

 

Hasil studi: penurunan kualitas

 

Dalam hal mutu pendidikan, kita memang sedang menghadapi situasi krisis yang sangat serius, sebagaimana dapat dibaca melalui dua hasil kajian ilmiah kredibel, yang terbit berurutan mengenai capaian hasil belajar siswa-siswa Indonesia. Pertama, studi Bank Dunia berjudul Estimates of Covid-19 Impacts on Learning and Earning in Indonesia (2020) menunjukkan kemampuan belajar (learning ability)—mencerminkan kecakapan intelektual (cognitive skills)—siswa-siswa Indonesia tergolong lemah.

 

Kajian ini membuat suatu analisis yang menghubungkan antara rata-rata lama sekolah 12,3 tahun (tamat SMA) dinilai setara dengan 7,9 tahun saja (kelas II SMP) dalam hal mutu pembelajaran. Capaian hasil belajar yang menggambarkan kualitas akademik tidak sama dengan berapa lama (tahun) siswa menempuh pendidikan di sekolah. Jadi, ada perbedaan antara lama siswa berada di dalam sistem persekolahan dengan pencapaian akademik dan kualitas pembelajaran.

 

Hal ini menunjukkan meskipun anak-anak tercatat bersekolah pada suatu jenjang pendidikan (dasar-menengah), mereka tidak melakukan aktivitas pembelajaran untuk mencerna, memahami, dan menguasai suatu bidang ilmu yang diajarkan di sekolah.

 

Dalam konteks ini, ada perbedaan mendasar antara dua konsep pokok yang bersinggungan, tetapi dapat dipisahkan: schooling dan learning. Schooling adalah suatu proses siswa menempuh pendidikan dalam sistem persekolahan formal secara berjenjang, dalam rentang waktu tertentu. Adapun learning ialah suatu proses kognitif untuk mengembangkan daya inteligensia, dan mengeksplorasi kapasitas intelektual, sebagai penanda brain-based skills berfungsi baik sehingga siswa dapat menguasai jenis-jenis pengetahuan dan keterampilan, berpuncak pada pencapaian akademik tinggi.

 

Kedua, artikel ilmiah yang ditulis lima sarjana terpandang: Amanda Beatty, Emile Berkhout, Luhur Bima, Menno Pradhan dan Daniel Suryadarma, berjudul Schooling Progress, Learning Reversal: Indonesia’s Learning Profiles Between 2000 and 2014, yang terbit di International Journal of Educational Development (2021). Para pengarang menegaskan capaian hasil belajar siswa-siswa Indonesia mengalami penurunan sangat drastis dalam waktu 14 tahun. Bayangkan, kemampuan matematika pelajar-pelajar kelas II SMP pada 2014, sama dengan kemampuan siswa-siswa yang duduk di kelas IV SD pada 2000.

 

Faktor penurunan sangat tajam ini berpangkal pada, antara lain, pergantian kurikulum semula KTSP 1994 menjadi K-13 (Kurikulum Tahun 2013) yang mengubah secara mendasar: struktur, muatan, jumlah jam, dan metode pengajaran. Untuk mata pelajaran matematika, materi yang semula terstruktur dengan pokok bahasan berurutan, berubah menjadi tematik dan melompat yang membuat siswa acap kali tidak bisa melihat kaitan antartopik bahasan karena disajikan bersilangan.

 

Jumlah jam yang semula 10 jam per minggu, berkurang jauh menjadi hanya 6 jam sehingga mengurangi tingkat kedalaman pembahasan untuk setiap pokok bahasan. Maka, tidak mengherankan jika penguasaan matematika mengalami kemerosotan sangat signifikan.  

 

Mencegah learning poverty

 

Sejalan dengan hasil studi di atas, hal yang lebih mengkhawatirkan ialah bila anak-anak usia sekolah mengalami apa yang disebut learning poverty. Makna frasa ini merujuk pada anak-anak berusia 10 tahun yang tidak/belum bisa membaca (reading disability).

 

Menurut laporan Bank Dunia (2019), sekitar 53% anak-anak yang tinggal di negara-negara berpendapatan rendah/menengah, bahkan di negara-negara miskin, angka bisa mencapai 80% —tidak bisa membaca, dan tidak mampu memahami cerita ringkas dalam suatu teks sederhana meskipun mereka sudah tamat SD. Padahal, kemampuan membaca ialah syarat utama untuk dapat mengakses pengetahuan dan menguasai berbagai bidang ilmu: matematika, sains, dan sosial-humaniora.

 

Kemampuan membaca merupakan fondasi bagi setiap anak untuk dapat mengeksplorasi segenap talenta, bahkan potensi kecerdasan jamak, untuk berkembang mencapai puncaknya. Karena itu, ketidakmampuan membaca akan menghalangi setiap anak untuk dapat berkembang maju, menjelajahi samudra ilmu pengetahuan yang demikian luas. Ketidakmampuan membaca juga menjadi indikasi kuat sistem persekolahan tidak bekerja baik. Pertanda proses pembelajaran di sekolah tidak efektif, untuk membantu para siswa mengembangkan potensi dan bakat akademik secara optimal.

 

Sesungguhnya dua hasil kajian yang sudah terpublikasi di atas, paralel dengan hasil PISA (Programme for International Student Assessment), yang mengukur kemampuan anak-anak usia 15 tahun ke atas bidang literasi, numerasi, dan sains. Pada 2018, capaian PISA siswa-siswa Indonesia juga tertinggal jauh, di bawah level 2 (terendah) dari level 6 (tertinggi), dengan nilai yang diraih berurutan: 371 (membaca), 379 (matematika), dan 396 (sains).

 

Berpijak pada berbagai referensi yang kredibel—hasil studi dan laporan PISA—dalam mengevaluasi kinerja pendidikan RI, kita perlu merumuskan kembali kebijakan yang lebih efektif, dan menyusun strategi baru yang lebih tepat untuk mencegah kualitas tidak semakin memburuk.

 

Dalam situasi demikian, standar pengukuran dan penilaian hasil belajar tetap diperlukan, untuk mengetahui tingkat pencapaian akademik siswa selama menempuh pendidikan pada setiap jenjang. Namun, baik UN maupun UNBK sebagai metode pengukuran dan instrumen penilaian sudah resmi dihapus sehingga pada tahun-tahun mendatang kita tidak tahu perkembangan prestasi belajar siswa-siswa Indonesia.

 

Sungguh tidak mudah mengurus pendidikan yang demikian kompleks: pertama, merujuk asas desentralisasi, kewenangan pengelolaan, dan penyelenggaraan terbagi ke setiap tingkatan administrasi pemerintahan: pusat, provinsi, dan kabupaten/kota. Kedua, manajemen guru yang pelik (sebaran tidak merata, kompetensi belum memenuhi standar).

 

Selanjutnya, ketiga infrastruktur esensial (gedung, ruang kelas, laboratorium, perpustakaan, dan peralatan) belum tersedia lengkap dan merata. Keempat karakteristik wilayah sangat beragam dan sulit akses. Kelima diskontinuitas dan inkonsistensi pelaksanaan kebijakan.

 

Menimbang semua kerumitan ini dibutuhkan figur kredibel dan otoritatif yang memiliki pengetahuan mendalam, horizon pemikiran luas, dan memahami aneka masalah fundamental sektor pendidikan. Haluan pembangunan pendidikan harus dikembalikan ke arah yang benar, agar kinerja pendidikan tidak semakin merosot, alih-alih bergerak ke arah kemajuan.

 

Sumber :  https://mediaindonesia.com/opini/431673/pendidikan-indonesia-bergerak-ke-mana

Tidak ada komentar:

Posting Komentar