Kamis, 09 September 2021

 

Menilik Kebenaran Filsafati atas Kesimpulan Komnas HAM tentang TWK

Abdul Rachmad Budiono  ;  Guru Besar Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Brawijaya

KOMPAS, 8 September 2021

 

 

                                                           

Alan Chalmers, seorang filsuf, dalam bukunya What is Thing Called Science?, mengatakan, ”Personal opinion or preferences and speculative imaginings have no place in science”. Proposisi Alan Chalmers ini menegaskan bahwa derajat ilmiah atau scientific tidak bisa diraih kalau proposisi itu berangkat dari pendapat pribadi atau personal opinion. Karena logika adalah bagian ilmu filsafat, sementara ilmu filsafat adalah bagian ilmu, maka kebenaran filsafati tidak bisa diraih jika suatu proposisi dibangun dari pendapat pribadi.

 

Tanggal 16 Agustus 2021, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Republik Indonesia (Komnas HAM) mengeluarkan Keterangan Pers Nomor 027/HM.00/VII/2021 tentang Hasil Pemantauan dan Penyelidikan Komnas HAM atas Peristiwa Dugaan Pelanggaran HAM dalam Proses Asesmen Tes Wawasan Kebangsaan Pegawai KPK menjadi Aparatur Sipil Negara. Kesimpulan nomor 1 hasil pemantauan Komnas HAM tersebut adalah ”Proses alih status pegawai KPK menjadi ASN melalui asesmen TWK hingga pelantikan pada 1 Juni 2021 diduga kuat sebagai bentuk penyingkiran terhadap pegawai KPK tertentu dengan latar belakang tertentu, khususnya mereka yang terstigma atau terlabel Taliban”.

 

Apakah proposisi dalam kesimpulan Komnas HAM tersebut mempunyai derajat kebenaran filsafati?

 

Proposisi terbentuk atas konsep-konsep. Penalaran terbentuk atas proposisi-proposisi. Penalaran menghasilkan kebenaran. Sebagian kebenaran disebut kebenaran filsafati. Kebenaran filsafati adalah kebenaran ilmiah yang dilekati derajat filsafat.

 

Logika praktis

 

Logika praktis adalah olah pikir ilmiah yang digunakan untuk memedomani pembentukan konsep, proposisi, dan penalaran. Kesimpulan adalah salah satu wujud penalaran. Hal-hal yang akan diuraikan singkat berikut ini merupakan contoh logika praktis.

 

Kesimpulan nomor 1 hasil pemantauan Komnas HAM tersebut terdiri atas tiga konsep. Pertama, konsep proses alih status pegawai KPK menjadi ASN melalui asesmen TWK hingga pelantikan pada 1 Juni 2021. Kedua, konsep diduga kuat sebagai bentuk penyingkiran. Ketiga, konsep terhadap pegawai KPK tertentu dengan latar belakang tertentu, khususnya mereka yang terstigma atau terlabel Taliban.

 

Sesungguhnya (maaf) kalimat sebagai proposisi yang dibentuk oleh  Komnas HAM tersebut tidak berdasarkan tata bahasa Indonesia yang baik dan benar. Seharusnya kalimat sebagai proposisi yang dibentuk adalah, ”Komnas HAM menduga kuat proses alih status pegawai KPK menjadi ASN melalui asesmen TWK hingga pelantikan pada 1 Juni 2021 sebagai bentuk penyingkiran terhadap pegawai KPK tertentu dengan latar belakang tertentu, khususnya mereka yang terstigma atau terlabel Taliban."

 

Jika kalimat sebagai proposisi ini yang dibentuk oleh Komnas HAM, sesungguhnya lebih mudah untuk diuji apakah proposisi itu berderajat kebenaran filsafati atau tidak. Agar lebih obyektif, saya ikuti kalimat sebagai proposisi yang dibentuk oleh Komnas HAM tersebut.

 

Konsep yang pertama, yaitu proses alih status pegawai KPK menjadi ASN melalui asesmen TWK hingga pelantikan pada 1 Juni 2021. Frasa ini merupakan satu konsep yang dibangun atas serangkaian peristiwa hukum oleh beberapa lembaga. Konsep ini merupakan konsep yang bebas nilai atau free value. Dikatakan demikian, sebab faktanya memang ada peristiwa sebagai dasar pembentukan konsep tersebut. Konsep yang bebas nilai bisa dijadikan dasar untuk pembentukan proposisi.

 

Konsep yang kedua, yaitu diduga kuat sebagai bentuk penyingkiran. Di sinilah sesungguhnya Komnas HAM mulai meninggalkan kaidah-kaidah kefilsafatan. Kesimpulan kefilsafatan yang berbuah kebenaran filsafati harus berangkat dari konsep yang bebas nilai.

 

Contoh, gadis itu menangis. Proposisi ini dibentuk dari dua konsep yang bebas nilai, yaitu ”gadis” dan ”menangis”. Ada proposisi ”gadis itu menangis”, karena faktanya memang ada gadis menangis. Proposisi ini akan sangat berbeda jika diganti dengan, ”gadis dungu itu menangis”. Di dalam konsep ”gadis dungu” ada lekatan nilai yang disebut dengan penuh nilai atau full value.

 

Proposisi tidak bisa dibentuk dari konsep yang penuh nilai. Kalaupun proposisi dibentuk dari konsep yang penuh nilai, lekatan nilai ini harus dibuktikan lebih dahulu. Agar Komnas HAM tidak melekatkan nilai tanpa membuktikan, ia harus membuktikan tentang konsep ”menyingkirkan”.

 

Konsep ”menyingkirkan” yang dibangun oleh Komnas HAM sudah pasti tidak sama dengan arti konsep ”menyingkirkan” secara denotatif. Konsep ”menyingkirkan” di dalam proposisi ”Orang itu menyingkirkan batu-batu yang berserakan di jalan” pasti sangat berbeda dengan konsep ”menyingkirkan” di dalam proposisi ”KPK menyingkirkan pegawai tertentu”. Kalau Komnas HAM tidak bisa secara obyektif membuktikan kebenaran lekatan nilai pada konsep ”menyingkirkan” yang dibangunnya, Komnas HAM telah menjauh dari kebenaran filsafati.

 

Jika Komnas HAM membangun proposisi ”KPK telah memberhentikan pegawai KPK tertentu”, Komnas HAM telah mengawali penalarannya dengan proposisi yang bebas nilai, sebab faktanya KPK memang memberhentikan pegawai KPK yang tidak lulus TWK. Apabila Komnas HAM membangun konsep, proposisi, dan penalarannya dengan menjauhkan diri dari lekatan-lekatan nilai, kesimpulannya akan semakin bisa diterima oleh khalayak yang amat luas.

 

Konsep ketiga, yaitu pegawai KPK tertentu dengan latar belakang tertentu, khususnya mereka yang terstigma atau terlabel Taliban. Frasa panjang ini merupakan satu konsep. Konsep ini luar biasa lekatan nilainya (atau full value-nya). Di mana lekatan nilainya?

 

Sesungguhnya, kalaupun konsep itu dilonggarkan menjadi, ”pegawai KPK tertentu dengan latar belakang tertentu”, saja sudah mengandung lekatan nilai. Sebab, kata ”tertentu” yang kedua, yaitu kata ”tertentu” yang menyertai frasa ”Pegawai KPK tertentu” sudah menunjukkan lekatan nilai, misalnya, skornya rendah, tidak patuh, membangkang, dan lain-lain. Lekatan nilai ini sudah pasti menjadi luar biasa jika ditambah dengan frasa ”khususnya mereka yang terstigma atau terlabel Taliban”.

 

Dengan demikian secara argumentum a contrario, masih dalam lingkup logika, siapa pun pegawai KPK yang ikut TWK, sepanjang ia atau mereka terstigma Taliban, maka ia atau mereka tidak akan lulus. Bagaimana mungkin Komnas HAM akan bisa membuktikan lekatan-lekatan nilai itu, agar konsep yang dibangunnya bebas nilai, sehingga kesimpulannya mempunyai derajat kebenaran filsafati?

 

Terstigma taliban (saya tulis tanpa huruf kapital karena maksudnya sebagai kata sifat atau ajektif) berarti bukan Taliban, melainkan mempunyai sifat seperti Taliban. Sifat Taliban (orang Taliban atau kelompok Taliban) sudah pasti amat beragam, ada yang baik, dan pasti ada yang buruk. Atas fakta yang seperti apa atau atas fakta yang bagaimana Komnas HAM bisa membuat konsep pegawai KPK yang terstigma Taliban.

 

Dengan cara bagaimana Komnas HAM bisa menghilangkan lekatan nilai ”terstigma Taliban”. Rasanya stigma itu dilekatkan dengan personal opinion. Kembali ke awal tulisan ini, derajat ilmiah apalagi kebenaran filsafati tidak mungkin diraih jika konsep-konsep yang dijadikan dasar pembentukan proposisi itu penuh nilai atau full value.

 

Tes wawasan kebangsaan

 

Sebuah tes, termasuk TWK, tentu tidak fair jika substansinya dipersoalkan oleh peserta tes yang tidak lulus tes tersebut. Betapapun, perancang sebuah tes, pasti memasukkan mekanisme untuk memperoleh subyek (orang) dengan kualifikasi tertentu sesuai dengan kebutuhan.

 

Rancangan tes yang demikian itu, pasti ada yang obyektif, dan pasti ada yang subyektif. Keobyektifan diperlukan, tetapi kesubyektifan juga harus diakui. Alasan-alasan kesubyektifan sebuah tes harus diakui karena kepentingan seseorang atau lembaga yang menyelenggarakan tes tidak semua bisa diobyektifkan.

 

Contoh, sebuah perusahaan film memerlukan seorang artis untuk memerankan tokoh cerita yang sudah dirancang sebelumnya. Serangkaian tes diadakan oleh perusahaan film tersebut. Artis yang ikut tes banyak. Akhirnya peserta tes tiggal dua artis, misalnya Syahrini dan Luna Maya. Seluruh syarat obyektif dipenuhi oleh dua artis ini. Direksi perusahaan film itu ingat bahwa misalnya ia pernah berjabat tangan dengan Luna Maya, ibu Luna Maya satu desa dengan ibunya, dan lain-lain hal yang bersifat subyektif. Akhirnya pilihan jatuh ke Luna Maya. Bagaimana mungkin tes itu dikatakan sebagai sarana menyingkirkan Syahrini.

 

Karena sebuah tes, termasuk TWK ada unsur-unsur subyektif, dan hal ini diakui, maka sesungguhnya tidak ada pranatanya orang-orang yang tidak lulus tes protes atas ketidaklulusannya.

 

Kesimpulan sebagai proposisi

 

”Proses alih status pegawai KPK menjadi ASN melalui asesmen TWK hingga pelantikan pada 1 Juni 2021 diduga kuat sebagai bentuk penyingkiran terhadap pegawai KPK tertentu dengan latar belakang tertentu, khususnya mereka yang terstigma atau terlabel Taliban” adalah salah satu kesimpulan Komnas HAM. Kesimpulan ini menurut logika merupakan proposisi.

 

Sebelumnya sudah dibahas bahwa kesimpulan Komnas HAM tersebut terdiri atas tiga konsep. Dua dari tiga konsep yang dijadikan dasar pembentukan kesimpulan sebagai proposisi tersebut penuh nilai bahkan ada yang luar biasa penuh nilai. Proposisi yang dibentuk berdasarkan konsep yang penuh nilai tidak pernah bisa mempunyai derajat ilmiah yang berujung pada kebenaran filsafati.

 

Dengan demikian, kesimpulan nomor 1 yang disampaikan oleh Komnas HAM dalam siaran pers tanggal 16 Oktober (Agustus, red.) 2021 tersebut tidak mempunyai derajat kebenaran filsafati karena dua dari tiga konsep pembentuknya penuh nilai.

 

Sebagai tindak lanjut dari kesimpulan tersebut Komnas HAM memberikan rekomendasi, yang salah satunya adalah ”Memulihkan status pegawai KPK yang dinyatakan tidak memenuhi syarat untuk dapat diangkat menjadi ASN KPK, yang dapat dimaknai sebagai bagian dari upaya menindaklanjuti arahan Presiden yang sebelumnya telah disampaikan kepada publik. Hal mana sejalan dengan putusan MK Nomor 70/PUU-XVII?2019 dalam pertimbangan hukumnya menyatakan bahwa pengalihan status pegawai KPK tidak boleh merugikan hak pegawai KPK untuk diangkat menjadi ASN”.

 

Ada lompatan logika dalam rekomendasi tersebut. Ilustrasi berikut ini akan membuktikan proposisi saya tersebut. (a) Setiap orang yang mencuri dipidana (premis mayor), (b) Burhan mencuri (premis minor), dan kesimpulannya: (c) Burhan dipidana. Ini adalah silogisme yang sejak ribuan tahun lalu diakui sebagai dasar penting penegakan hukum. Prinsipnya penegakan hukum adalah pemberlakuan silogisme.

 

Sekarang perhatikan hal berikut ini. (a) Setiap orang yang mencuri dipidana (premis mayor), (b) Burhan diduga mencuri (bukan premis minor), maka tidak bisa disimpulkan, (c) Burhan dipidana. Kalau Komnas HAM baru ”menduga”, mengapa rekonendasinya pemerintah harus memulihkan status pegawai KPK yang dinyatakan tidak memenuhi syarat. Bagaimana kalau ternyata dugaan Komnas HAM itu salah.

 

Soal merugikan sebagaimana dikutip dari putusan MK, saya perlu menyampaikan hal ini. Ada mahasiswa cerdas, rajin kuliah, rajin mengumpulkan tugas, sopan, agamis, dan ditambah hal-hal positif lainnya. Mahasiswa tersebut lulus dengan nilai A. Sementara itu ada mahasiswa tidak cerdas, malas kuliah, malas mengumpulkan tugas, tidak sopan, tidak agamis, ditambah hal-hal negatif lainnya. Mahasiswa tersebut memperoleh nilai E yang berarti tidak lulus. Apakah mahasiswa yang disebut terakhir ini dirugikan? Jawabannya pasti tidak.

 

Kalau untuk diangkat menjadi ASN harus dipenuhi sejumlah syarat, sementara ada orang yang tidak memenuhi syarat tersebut dan orang tersebut tidak diangkan menjadi ASN, sudah pasti orang tersebut tidak dirugikan. Ada orang dirugikan jika seluruh syarat dipenuhi dan orang tersebut tidak diangkan menjadi ASN, barulah orang tersebut dirugikan.

 

Nah, betapapun kecil, saya ingin klungsu-klungsu udhu (pepatah bahasa Jawa yang artinya kecil) mengungkapkan pikiran saya yang dilatarbelakangi filsafat, sesuatu yang sudah saya dalami sejak puluhan tahun yang lalu. Selamat bekerja Komnas HAM. ●

 

Sumber :  https://www.kompas.id/baca/opini/2021/09/08/menilik-kebenaran-filsafati-atas-kesimpulan-komnas-ham-tentang-twk/

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar