Rabu, 15 September 2021

 

Sastra Alegoris, Biografi Teks, dan Dunia Fantasi

S. Jai  ;  Pemerhati dan Penikmat Karya Sastra ini juga pengarang sejumlah novel

KOMPAS, 12 September 2021

 

 

                                                           

Menulis cerpen tak lain adalah menciptakan sesuatu peristiwa—termasuk menandai waktu di dalamnya, dan yang pasti menempatkan, serta mengisinya pada suatu ruang. Maka keutuhan menjadi taruhannya. Sudah barang tentu keutuhan yang dimaksud menyangkut; perpaduannya, kontradiksinya, paradoksnya, karut-marutnya, pergulatannya, ketegangan-ketegangannya yang mengatasi segala teknik, strategi, trik, intrik, gaya dari sang pengarang.

 

Dengan kata lain, sebuah cerpen adalah lebih sebagai permainan ruang dalam suatu peristiwa yang mewaktu, dibandingkan sebagai kesungguhan peristiwa dalam suatu waktu yang memeristiwa, atau sebuah peristiwa yang meruang.

 

Sebagaimana kita tahu, permainan hanyalah satu strategi, teknik, gaya dari sejumlah lainnya dalam sastra; mempersoalkan realitas, memparodikan, menggugat, dan bahkan bermain-main terhadapnya.

 

Permainan, yang mengukuhkan diri manusia, tepatnya pengarang sebagaimana Johan Huizinga katakan sebagai makhluk bermain (homo ludens), memiliki aturan-aturan dengan menempatkan kebebasan sebagai panglimanya, sebagai wasitnya.

 

Demikian halnya permainan dalam pelbagai bahasa, sistem tanda, kode, semiotik, metafora, wacana, mitos di dalamnya dengan spirit ambiguitas serta kompleksitas sebagai pencapaiannya. Secara radikal, barangkali bisa mencapai dekonstruksi. Meski demikian sastra adalah juga suatu rekonstruksi, reproduksi serta resepsi pengarang dan pembacanya.

 

Peristiwa sebagai teks bermain

 

Terang dapat dikatakan dua puluh dua cerpen Eko Darmoko dalam buku Revolusi Nuklir (Basa Basi, 2021) adalah permainan. Sebagai suatu permainan sudah termaktub di dalamnya kemungkinan-kemungkinan sebagai dekonstruksi, rekonstruksi, reproduksi ataupun resepsi atas teks-teks yang dihadirkannya.

 

Menempatkan cerpen-cerpen sebagai suatu peristiwa baik oleh pengarang saat menuliskannya maupun oleh pembaca ketika menafsirkannya, hal demikian sama artinya dengan menganggap keseluruhan proses tersebut tak lain adalah dekonstruksi—peristiwa sebagai sejarah kepenulisan, dan pembacaan. Dengan kata lain, 'biografi teks'. Maka, pemahaman, pemaknaan, penafsiran atas biografi teks tersebut menjadi isi, mencipta ruang.

 

Dua puluh dua  cerpen Eko Darmoko, nyata meneguhkan bahwa membaca (dan menulis) sastra tak lain adalah ‘cara baca’, ‘cara memahami’, ‘cara menafsirkan’ teks yang lebih terang dalam konteks-konteks. Pendeknya intertektualitas. Bahwa, teks tak bicara sendiri melainkan maknanya diperoleh dengan menghubungkan teks dengan mempelajari sumber-sumber pengetahuan lain sebagai konteksnya, seperti sejarah, kebudayaan, sains dan lain sebagainya.

 

Dalam kosa kata Heideggerian; pada satu sisi menulis teks bukanlah sekadar menuangkan isi pikiran, melainkan menyingkap cara bereksistensi penulis dan kelompoknya; pada sisi lainnya, membaca teks juga bukan sekadar menyalin makna teks sebagai data objektif, melainkan juga menangkap kemungkinan-kemungkinan eksistensial lewat makna teks itu.

 

Memahami ikhtiar pengarang dalam menafsirkan teks menjadi sebuah cerpen, dan kemudian menelisik bagaimana pembaca memaknai teks-teks cerpen tentu menjadi suatu panorama yang menarik, unik dan apabila pembaca seorang dekonstruksionis, makna itu selalu tak punya pondasi, tertunda dan bahkan luput.

 

Cerpen-cerpen Eko Darmoko tak lain adalah karnaval teks yang umum dalam pelbagai bahasa dan pengetahuan telah disederhanakannya, nyaris dibakukan. Misalkan dalam cerpen Revolusi Nuklir memancarkan teks ‘kecemasan,’ ‘keabadian,’ keduanya tak lain berakar dari Martin Heidegger.

 

Kemudian teks novel fiksi ilmiah Frankenstein menjadi pembuka peristiwa-peristiwa di dunia yang aneh; tentang makhluk mata-mata sebuah megaproyek bawah tanah yang melawan hukum alam—makhluk keabadian tanpa rasa lapar dan haus. Si mata-mata adalah produk gagal rekayasa genetik yang kemudian dirancang untuk menuliskan sejarah peradaban generasi mutakhir. Sialnya, si mata-mata akhirnya dikorbankan.

 

Sebagaimana Frankenstein dalam cerpen Revolusi Nuklir, biografi cerpen Langit Makin Mendung karya Ki Panjikusmin diselundupkan dalam cerpen Silampukau di buku ini. Kisah tenang Robot ciptaan dengan perangkat lunak yang sulit dikendalikan. Robot yang melawan perintah larangan mempelajari artefak sastra.

 

Robot yang diprogram hidup 750 tahun, itu justru menjadi guru sastra bagi beburung di semesta. Meski 1113 pengarang telah dibunuh seperti Ki Panjikusmin, robot berhasil mengembangkan hologram “Sumpah, aku bukan cerpenis,” sehingga setiap yang berhologram luput dari pembantaian.

 

Dunia wayang, kisah manusia kera, serta mitos-legenda zaman Hindu tentang puncak Mahameru dihidupkan kembali dalam peristiwa cerpen Tumbangnya Pohon Android. Tabir misteri pohon android yang melindungi kawah Jongring Saloko yang menyimpan intan dan permata.

 

Jenderal Manusia Kera dibikin puyeng kesaktian pohon android di angka tahun 2525. Sang Jenderal diracun oleh selirnya (penasihatnya) yang bekerjasama dengan malaikat pencabut nyawa. Sebagai pemimpin baru, Sang Selir melanjutkan proyek penguasaan puncak Jongkring Saloko demi intan dan permata di dalamnya.

 

Tentang Alegori dan Fantasi

 

Dunia yang lain, yang aneh, yang mistis, atau hal-hal yang bersifat imajinasi, ilusi, khayalan kemudian dikukuhkannya ke dalam fantasi-fantasi, absurditas-absurditas mewarnai hampir semua cerita-cerita di buku ini. Gerombolan tuyul dan babi ngepet (dalam cerpen Mantra Apocalypto), kuntilanak (dalam cerpen Raung dan Kenangan Seluas Kabut), gendruwo dan roh perempuan mati (dalam cerpen Ospek di Bukit Perawan), setan dan pocong (cerpen VY Canis Majoris), selain dalam sejumlah gaya alegori alias kiasan di beberapa cerpennya.

 

Menafsirkannya sebagai suatu alegori dengan kata lain, membaca cerita sebagai suatu teks yang dibaca melalui teks lain. Untuk menafsirkan teks alegori, sebagaimana Arif Bagus Prasetyo, katakan dalam buku barunya Saksi Mata (2021:18) tentang konsep Joel Fineman; cenderung menerabas dan menyambut segala kategori stilitik macam apapun.

 

Alegori dalam cerpen dengan perspektif tokoh sebagai keset (pengesat kaki dari sabut kelapa) yang serba tahu atas kebiasaan suasana kampus, persetubuhan antara mahasiswi dan dosen dalam cerpen Ayam Kampus, roh seekor kepiting (Gentayangan), bekicot (Wabah Bekicot) dan tak sedikit teks terkait sastra, pengarang dan karyanya nyelonong demikian mulus dalam sejumlah cerpen. Ada Bumi Manusia Pramoedya Ananta Toer, Gabriel Garcia Marquez, karya-karya Ernest Hemingway.

 

Bahkan dalam sebuah cerpen Ibadah Sastra di Gunung Rinjani, yang mengisahkan pendakian di gunung Rinjani, pengarang mengoplos dengan menghadirkan tokoh-tokoh Gregor Samsa (Metamorfosa-nya Franz Kafka), Samuel Beckett, Albert Camus, juga penulis Sejarah Hidup Muhammad, Husein Haikal seakan-akan sedang memanggil roh-roh mereka lengkap dengan pikiran-pikiran dalam berbagai judul karyanya.

 

Lihat cerpen Sajak Sundul Langit Dul Koplo tentang Dul Koplo, kakek berusia kepala delapan pengagum Pablo Neruda dan Octavio Paz yang bergolak nafsunya atas perempuan perawatnya, ketiga istrinya, juga mantan pacarnya—wartawan Australia yang hendak mewawancarainya.

 

Tokoh Eveline yang dalam cerpen Kabar dari Brescia dinukil dari tokoh dan judul cerpen James Joyce. Lalu cerpen Wabah Bekicot, tak lain misteri seorang penulis cerpen dan cerpennya. Bercerita tentang seorang penulis yang secara sadis membunuh Tuhan karena Tuhan sedang mengganggu jam menulisnya. Dalam cerpen itu, Tuhan digambarkan sebagai lelaki yang memiliki bekas luka bacok di lehernya.

 

Cerpen Kapir mengisahkan pemilik buku yang nelangsa buku Sejarah Tuhan dipinjam seorang kawan yang tampilannya religius tapi menjengkelkan, namun katarsis begitu menghikmati kebesaran jiwa seorang temannya yang lain, Kapir—bertato, kotor, kasar yang ternyata juga seorang pembaca buku Karen Armstrong.

 

“…Ngomong-ngomong kau tahu Karen Armstrong juga?”

 

“Dulu sempat iseng-iseng membaca bukunya, sewaktu aku nyambi jadi tukang parkir di perpustakaan kota. Eh, ternyata bagus. Aku suka yang Biografi Nabi Muhammad.” (kata Kapir)

 

“Iya Bagus sekali.” (Hlm. 174)

 

Kenangan dan Momen Eksistensial

 

Yang menarik, sebagian besar cerpen dalam buku ini mengetengahkan tema petualangan kisah cinta. Tepatnya mengulik dan mengusik kenangan. Betapa kenangan demikian mulus, halus masuk merasuk dalam detil plot cerpen, peristiwa yang dengan demikian memenuhi ruang cerita.

 

Sebagai suatu petualangan, kenangan dengan demikian hadir sebagai konsep waktu secara khusus—diantara masa lalu, masa kini dan masa yang akan datang. Betapa pengarang menghadirkannya demikian pekat dalam pemahaman waktu dalam cerita-ceritanya bolak-balik menempuh jarak masa silam, kekinian dan masa depan.

 

Pendek kata nyaris tak berjarak, inheren, menyatu dan bahkan eksistensial sebagaimana Heidegger katakan waktu otentik alias momen eksistensial (F. Budi Hardiman, 2016: 129). Dalam waktu otentik, kenangan, eksistensi, serta kecemasan sebagai kedalaman ontologis yang berorientasi pada segala kemungkinan-kemungkinan, yang tentu saja masa depanlah yang menjadi prioritas; antisipasi, visi-kekinian atau kebulatan tekad, dan menjemput kembali masa silam-kenangan.

 

Masa silam dalam cerpen Raung dan Kenangan Seluas Kabut dituturkannya pada putri si tokoh yang masih berumur satu bulan. Perihal cinta sang ayah antara dua perempuan Dewi, almarhum istrinya, dan Nisa yang semula diharapkan menjadi ibu dari si bayi.

 

Bagi ayah, Nisa adalah kabut di Gunung Raung. Kabut yang mengaburkan mata dan melenyapkan keindahan semesta. Kabut yang menemani setiap jengkal perjalanan mengambang menghindari maut di antara ketinggian dan jurang mengangga.(Hlm. 51)

 

Masa silam seorang nenek saat perawan dalam cerpen Daun Telinga Perawan di Shakespeare and Company, menyedihkan. Di Malang, semasa menjalin cinta dengan lelaki berkebangsaan Perancis, direnggut mahkotanya dan dipotong daun telinganya untuk kemudian dijadikan gantungan kunci. Kelak kepada seorang pemuda yang diminta menemui nenek itu, si lelaki menyatakan penyesalannya dan bersumpah mau hidup bersamanya.

 

Si pemuda membawa bukti gantungan kunci tersebut. Visi yang nyaris serupa dalam cerpen Nordlingen. Kathrin, fotografer berkebangsaan Jerman pertama kali bertemu dengan tokoh Aku di candi Badut, Malang. Dalam kenangan yang diceritakan di Kitayushu, Jepang ini, selama di Malang keduanya bercinta beberapa kali disaksikan pelangi di luar jendela. Si Aku, seorang karyawan bank, menyusul Kathrin yang mendapatinya telah hamil dua bulan. Cerpen ini nyaris diakhiri dengan suasana dengan kepenuhan kemungkinan;

 

Selepas menemaninya memotret Istana Kokura dan mendapat suguhan pelangi, serta mengetahuinya hamil, kami tak lagi bicara selama perjalanan pulang. Pun ketika kami tiba di hotel di jantung Kitakyushu, tak ada sebiji kata yang kami ucapkan. Makan malam pun kami lakukan sambil membisu. (Hlm. 120)

 

Kenangan Celine di London dengan Slamet yang pengecut di Bangkalan dalam cerpen Dari Tour de France Hingga Hemingway, harus memperlihatkan kemungkinan-kemungkinan eksistensi ketika Hemingway, bayi prematur hasil hubungan gelap mereka mati. Juga saat Slamet yang berencana meninggalkan istrinya di Surabaya, demi kejutan Celine di London, tewas kecelakaan dalam ihktiar mengurus surat-surat imigrasinya.

 

Kematian adalah momen paling otentik dan paling eksistensial, oleh pengarang dicoba disodorkan melalui penciptaan peristiwa dalam cerpen yang dibaurkan dengan berbagai teks lain—budaya populer, kepercayaan, sebagaimana dalam cerpen Meleleh Bersama Salvador Dali dan Kurt Cobain misalnya. Kematian salah seorang saudara kembar Mayang yang bernama Mala dihubungkan dengan motel Marco Polo kamar 226--kamar tempat Curt Cobain menginap. Mala kecelakaan tragis di sekitar tempat itu dan dimakamkan di sana. Mayang mengenang semuanya di sana.

 

Lalu cerpen Malaikat Pencabut Nyawa mengetengahkan keyakinan; hanya pelacur yang bisa menyelamatkan nyawa Bella, seorang gadis yang terserang herpes. Kepercayaan itu datang dari kakeknya untuk menyembuhkan herpes Bella, seorang pelacur diminta mengunyah gula merah dan kelapa muda, lalu disemburkan pada si sakit. Dikisahkan, otentisitas belum mencapai puncaknya oleh karena ternyata Bella ‘gagal mati’ berkat itu.

 

Eko Darmoko, pengarang dua puluh dua cerita dalam buku ini—buku kumpulan cerpen keduanya, setelah Ladang Pembantaian (Pagan Press, 2015)—menyatakan kredonya hendak meruntuhkan tembok yang membatasi ruang fakta dan ruang fiksi. Dinyatakannya pula, bukunya bisa dibaca sebagai nubuat, renungan masa kini, dan pemugaran kenangan silam.

 

Tak cukup dengan itu, pada buku tersebut masih dirasa penting melengkapi judul dengan sederet kalimat; Cerpen-cerpen dari masa depan. Rupanya pada buku ini hendak meneguhkan bahwa keseluruhan cerita dalam Revolusi Nuklir adalah perihal absurditas.

 

Terlebih, pengarang buku ini, seorang penikmat yang tekun atas cerita-cerita karya Budi Darma dan Sony Karsono, melengkapinya tak cuma perihal kematian, data ilmiah, teknologi millenium, ramalan angka tahun, puisi, mistik, yang entah dalam penyuntingannya dalam buku ini sengaja diacak dan tak dikelompokkan, ataukah memang tak ada visi untuk itu.

 

Beruntung, setiap absurditas sudah terkandung didalamnya kontradiksi-kontradiksi, termasuk di dalam buku ini. Bahwa buku ini bukan saja mengetengahkan cerita-cerita absurd, melainkan buku fiksi ini sendiri sudah menyatakan dirinya proklamator absurditas. Buku ini semacam metafiksi absurditas—yang mengisahkan dirinya sendiri-- betapa pengetahuan apapun, juga sastra datang dan untuk atas nama masa depan, dengan atau tanpa sederet kalimat jargon untuk visi estetisnya yang demikian. ●

 

Sumber :  https://www.kompas.id/baca/opini/2021/09/12/sastra-alegoris-biografi-teks-dan-dunia-fantasi/

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar