Kamis, 09 September 2021

 

Glorifikasi Menyambut Pembebasan Pelaku Pencabulan Anak

Bagong Suyanto ;  Dekan FISIP Universitas Airlangga

MEDIA INDONESIA, 8 September 2021

 

 

                                                           

SESUNGGUHNYA seorang mantan narapidana memiliki hak untuk melanjutkan kehidupannya setelah mereka bebas menjalani hukuman. Akan tetapi, dalam kasus Saipul Jamil, persoalan yang berkembang berbeda. Artis yang dihukum karena melakukan tindak pencabulan terhadap anak ini, ketika bebas, justru dijemput bak pahlawan, dikalungi bunga dan diarak para penggemarnya.

 

Tidak sedikit warga masyarakat yang keberatan terhadap glorifikasi menyambut pembebasan Saipul Jamil. Kenapa? Karena sebagai mantan terpidana kasus pedofilia, penyambutan yang meriah pada momen kebebasan Saipul Jamil terkesan berlebihan serta tidak berempati pada perasaan dan nasib korbannya.

 

Sejumlah stasiun televisi, yang memanfaatkan kebebasan Saipul Jamil sebagai momen untuk menarik minat pemirsa sebanyak-banyaknya, tidak luput dari kritik masyarakat. Ulah media elektronik yang mengundang dan mewawancarai Saipul Jamil dinilai hanya mengejar rating, tetapi abai terhadap norma kepatutan.

 

Bisa dibayangkan, apa yang berkecamuk di benak korban ulah Saipul Jamil dan juga korban kasus pedofilia lain ketika melihat bagaimana seorang pelaku tindak pencabulan anak dielu-elukan begitu rupa. Glorifikasi penyambutan mantan napi pedofilia yang berlebihan, bukan saja tidak elok, tetapi juga berisiko terhadap konstruksi sosial masyarakat akan kasus serupa di kemudian hari.    

 

Idola

 

Sebagai seorang artis, Saipul Jamil memang memiliki nilai jual. Setelah bebas dari hukuman penjara, ia justru kebanjiran order untuk tampil di berbagai acara media elektronik. Tentu, menjadi hak Saipul Jamil menikmati glorifikasi kebebasannya, sekaligus menjadikan hal itu sebagai pintu untuk masuk kembali pada dunia hiburan yang membesarkan namanya.

 

Cuma yang menjadi masalah, apa dampak glorifikasi yang berlebihan dan tidak tepat sasaran itu bagi kasus pelecehan seksual yang menimpa anak-anak. Kita tahu, pelecehan seksual adalah tindak kejahatan kemanusiaan yang serius karena dampaknya yang menimbulkan trauma--semacam luka psikologis--yang tidak pernah selesai sepanjang hidup korban.

 

Bagi korban pelecehan seksual, apa yang mereka alami adalah mimpi buruk yang berkepanjangan. Berbeda dengan pelaku pelecehan yang sering kali bebas setelah menjalani hukuman, korban pelecehan seksual tak jarang harus menanggung penderitaan sepanjang hidupnya. Rasa malu, perasaan bahwa dirinya kotor, dan ketakutan yang mencengkeram pikirannya akan terus menghantui sampai kapan pun.

 

Di kalangan masyarakat yang permisif, sebagian masyarakat tanpa sadar biasanya bersikap mendua. Pada tataran luar, mereka biasanya memang bersimpati pada anak-anak yang menjadi korban tindak pelecehan seksual. Akan tetapi, di sisi yang lain, mereka tak jarang juga melupakan tindak kejahatan yang dilakukan pelaku. Terutama, jika pelaku adalah artis idola mereka.

 

Berbeda dengan korban yang kehidupan dan masa depannya nyaris terpuruk, pelaku pelecehan seksual umumnya lebih mudah bangkit dari keterpurukan. Meski mereka disanksi dan harus mendekam di penjara untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya, setelah hukuman selesai dijalani mereka biasanya sudah menganggap persoalannya selesai. Impas. Seolah penderitaan yang ditanggung korban sebanding dengan penderitaan pelaku selama menjalani kehidupan di balik kerangkeng penjara.

 

Alih-alih bertobat, pengalaman telah banyak membuktikan bahwa tidak sekali-dua kali terjadi pelaku tindak pelecehan seksual yang sudah bebas, dalam tempo singkat mengulangi kembali perbuatannya. Tindakan masyarakat, yang mengelu-elukan pelaku karena mereka artis pujaannya, bukan tidak mungkin bisa berdampak buruk dalam upaya membangun wacana perlindungan bagi korban tindak pelecehan seksual.

 

Dalam kasus pelecehan seksual, yang namanya sanksi informal masyarakat sebetulnya akan berfungsi lebih efektif. Walaupun pelaku sudah menjalani hukuman di penjara, sanksi informal dari masyarakat niscaya akan bisa menjadi watchdog yang efektif, mencegah kejadian serupa terulang. Namun, lain soal tatkala media elektronik memberi perlakuan yang berbeda. Bahkan, seolah pelaku tindak pelecehan seksual ditempatkan dalam posisi sebagai korban yang patut dikasihani, atau pahlawan yang baru saja menjalani masa pertapaannya di penjara.    

 

Memastikan

 

Menghapus, atau sama sekali tidak memberi ruang bagi para mantan narapidana untuk memperbaiki kehidupannya setelah menjalani hukuman, tentu tidak seyogianya dilakukan. Memberi kesempatan kedua kepada pelaku tindak kejahatan agar dapat memperbaiki kehidupannya tidak ada salahnya dicoba. Meski demikian, adalah tugas masyarakat dan aparat penegak hukum untuk memastikan agar pelaku tindak pencabulan seksual tidak mengulang kembali kelakuannya.

 

Dengan membiarkan glorifikasi terhadap pembebasan artis yang merupakan pelaku pedofilia, salah satu risiko yang mungkin timbul ialah munculnya wacana yang salah. Penyambutan dan penghormatan yang berlebihan terhadap mantan pelaku pedofilia bukan tidak mungkin akan melahirkan konstruksi masyarakat yang keliru tentang bahaya tindak pelecehan seksual dan bagaimana kita seharusnya memperlakukan pelaku pedofilia.

 

Pada masa pascabebas dari hukuman penjara, tentu masih harus diuji oleh waktu, apakah pelaku pedofilia benar-benar bertobat, ataukah akan kembali terperosok dalam lubang yang sama. Untuk memastikan agar pelaku pedofilia menempuh rute hidup yang diharapkan dan tidak kembali membahayakan masyarakat, dua hal penting yang perlu digarisbawahi adalah:

 

Pertama, memastikan agar media elektronik dan media massa pada umumnya bersedia berempati kepada para korban tindak pelecehan seksual. Lebih dari sekadar peristiwa hukum, pedofilia adalah tindak kejahatan yang melukai dan bahkan sering kali membunuh masa depan korban beserta keluarganya.

 

Bagaimana cara media memperlakukan pelaku dan menghormati korban tindak pelecehan seksual seyogianya menjadi sesuatu hal yang dikaji dengan mendalam. Tentu tidak elok jika media terjebak pada kapitalisme dan komersialisasi yang hanya mengejar pemasukan serta rating, tetapi lupa pada tanggung jawab moral untuk mendidik masyarakat.

 

Kedua, memastikan agar masyarakat tidak terpengaruh atau larut dalam glorifikasi yang dikembangkan media elektronik. Terlepas bahwa media selalu berpatokan pada prinsip ‘berita atau kejadian buruk adalah berita yang bagus’, sebagai pengonsumsi informasi masyarakat harus memiliki kedewasaan dalam menyikapi pemberitaan media.

 

Cara yang paling mudah ialah matikan televisi dan jangan ikut melihat tayangan yang tidak bermutu. Akan tetapi, anjuran seperti ini sering kali tidak mudah diikuti karena godaan untuk mengikuti pemberitaan selebritas dan infotainment umumnya sangat besar. Masyarakat perlu menakar ulang dan menjadi pengingat anggota keluarga yang lain agar satu sama lain bisa saling mengontrol jika ada yang keliru.

 

Mengonsumsi berita dan rupa-rupa informasi tentang selebritas memang selalu menarik perhatian. Meski demikian, bersikap empati terhadap korban tindak pelecehan seksual dan tidak melakukan hal-hal yang kontraproduktif tentu menjadi tanggung jawab pemirsa media. Dengan memperhatikan kedua hal di atas, saya yakin glorifikasi seperti dalam kasus Saipul Jamil akan dapat diredam dengan sendirinya. Semoga.

 

Sumber :  https://mediaindonesia.com/opini/431089/glorifikasi-menyambut-pembebasan-pelaku-pencabulan-anak

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar