Meretas Jalan Menuju Papua Damai Ogiandhafiz Juanda
; Advokat, Dosen
dan Pengamat Hukum dan Politik Universitas
Nasional (UNAS), Direktur Treas Constituendum Institute |
SINDONEWS, 9 September 2021
KEKERASAN dan
konflik vertikal serta horizontal yang melibatkan sejumlah pihak di Tanah
Papua masih terus terjadi. Akan tetapi, kasus kekerasan dan konflik tersebut
lebih banyak didominasi oleh kekerasan dan konflik vertikal yang terjadi
antara TNI-Polri dengan Organisasi Papua Merdeka-Tentara Nasional Papua Barat
(OPM-TNPB). Sepanjang 2020
hingga pertengahan 2021 saja setidaknya sudah lebih dari 100 kasus yang
melibatkan TNI-Polri dan OPM-TNPB, dan telah menyebabkan jatuhnya korban jiwa
dari masing-masing pihak, termasuk juga warga sipil yang tidak bersalah. Terbaru,
penyerangan terhadap markas Pos Ramil Kisor, Distrik Aifat Selatan Papua
Barat, Kamis (2/9/2021) yang dilakukan oleh OPM-TNPB telah menyebabkan 4
anggota TNI Angkatan Darat meninggal dunia. Banyaknya
kasus kekerasan yang terjadi di tanah Papua ini menjadi realitas bahwa
persoalan Papua masih menjadi pekerjaan rumah yang panjang dan harus terus
mendapatkan perhatian yang serius untuk segera dicari penyelesaiannya. Perlindungan HAM Tidak dapat
dipungkiri bahwa kekerasan yang terjadi antara dua pihak itu dilatarbelakangi
oleh sejumlah faktor yang sangat kompleks dan saling bertautan satu dengan
lainnya. Sejarah integrasi dan sejumlah persoalan sosial setidaknya menjadi
dua faktor utama.Dua faktor tersebut terus mengundang terjadinya konflik dan
kekerasan dari waktu ke waktu, dan tentu saja dibutuhkan formula terbaik
untuk dapat menyelesaikan persoalan tersebut. Dalam upaya
menyelesaikan persoalan tersebut, pemerintah pasca-Orde Baru menggunakan
pendekatan politik dalam kerangka dan bingkai otonomi khusus (otsus) melalui
Undang-Undang (UU) Nomor 21 Tahun 2001. Akan tetapi, instrumen tersebut tidak
mampu secara optimal menyelesaikan sejumlah persoalan sosial yang diwariskan
oleh rezim Orde Baru tersebut, termasuk untuk menghentikan kekerasan di tanah
Papua.Tentu menjadi pertanyaan besar, kenapa otonomi khusus yang telah
dijalankan selama dua dekade (2001-2021) tersebut nyatanya belum mampu
membawa perubahan yang signifikan terhadap kondisi dan situasi di tanah
Papua? Jawaban
sederhananya adalah karena otsus tersebut tidak dirancang melalui satu proses
pembahasan dan perumusan yang matang. Termasuk tidak adanya pedoman bagaimana
otsus tersebut harus dilaksanakan. Sehingga, keberadaan otsus yang merupakan
ide atau gagasan yang baik tersebut justru berseberangan dengan
implementasinya. Akan tetapi,
tidak dapat dipungkiri bahwa “hadirnya” negara dalam konteks memberikan otsus
kepada Papua tentu merupakan satu terobosan atau langkah yang penting.
Sehingga otsus ini perlu untuk terus dilanjutkan meskipun dengan banyak
catatan.Dengan kata lain, revisi terhadap UU Otsus perlu untuk dilakukan
dengan harapan bahwa pembaharuan, perbaikan dan pematangan Otsus tersebut
akan mampu menjawab permasalahan yang ada dengan lebih nyata. Secara kontras
publik bisa melihat bahwa orientasi pelaksanaan otsus periode pertama
(2001-2021) hanya berfokus pada pembangunan fisik, dengan tidak secara
signifikan mampu membawa perubahan pada bidang lainnya yang semuanya itu
bermuara kepada kesejahteraan masyarakat Papua. Di waktu bersamaan, isu
perlindungan terhadap HAM juga tidak tampak menjadi prioritas dan malah
dikesampingkan. Padahal isu tersebut sifatnya juga sangat substansial. Sehingga,
otsus periode kedua yang telah disahkan oleh Presiden Joko Widodo pada 19
Juli 2021 ini harus mampu menempatkan persoalan-persoalan yang selama ini
terabaikan menjadi bagian dari prioritas. Misalnya
terhadap sejumlah persoalan hukum dan pelanggaran HAM. Secara objektif,
publik juga belum melihat komitmen tersebut pada kasus-kasus pelanggaran HAM
berat yang terjadi di Papua yang mandek atau berhenti di Kejaksaan Agung dan
urung untuk diselesaikan. Hal ini secara tidak langsung menunjukan bahwa
negara yang memiliki segala instrumen hukumnya gagal memberikan rasa keadilan
dan kepastian hukum. Jangan sampai apa yang disebutkan bahwa negara Indonesia
sebagai negara hukum hanya menjadi retorika semu semata.Padahal hal tersebut
menjadi variabel utama untuk mencapai filosofi sebagai negara hukum
berdasarkan pasal 1 ayat 3 UUD 1945. Apalagi penghormatan, perlindungan dan
pemenuhan atas HAM merupakan kewajiban negara yang telah diamanatkan oleh UU
dan UUD 1945. Laporan dari
Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) juga
menunjukan bahwa pelanggaran HAM sepanjang 2020 hingga pertengahan 2021 ini
saja sudah ada 40 peristiwa kekerasan berupa penembakan, penganiayaan dan
penegakan sewenang- wenang oleh aparat.Sehingga, komitmen pemerintah untuk
menyelesaikan masalah Papua seharusnya juga dimulai dari hal tersebut dengan
juga segera menyusun langkah-langkah untuk mendirikan pengadilan HAM di
Papua. “Memoria Passionis” Selain melalui
otsus, pemerintah juga mempraktikkan pendekatan lain untuk menyelesaikan masalah
Papua terutama pada masalah yang berkaitan dengan keamanan. Yaitu melalui
pendekatan yang lebih keras(hard approach)dengan melakukan operasi militer
karena melihat dinamika yang terjadi di Papua semata-mata sebagai sebuah
ancaman.Padahal pendekatan seperti ini justru menjadi faktor yang turut
melanggengkan kekerasan dari waktu ke waktu dan telah menciptakan pengalaman
pahit (memoria passionis) yang memilukan hati orang Papua. Pintu dialog
yang diharapkan akan terjadi juga semakin tertutup sejak ditetapkannya
OPM-TNPB sebagai kelompok teroris. Dan, hal tersebut juga menjadi tanda bahwa
pemerintah semakin kaku dalam melihat dan mengidentifikasi masalah utama di
Papua.Pendekatan militeristik ini hanya akan mengatasi “efek sampingnya”
tanpa sama sekali menyentuh akar masalah. Dan, justru dapat menambah risiko
instabilitas domestik di tanah Papua. Di sisi lain, penetapan OPM-TNPB
sebagai organisasi teroris tersebut semakin menyulitkan untuk tercapainya
perdamaian di sana. Selanjutnya,
dalam perspektif otsus, pendekatan militeristik yang keras seperti ini
nyatanya berseberangan dengan nilai yang terkandung dalam otsus sebagai
sebuah produk politik yang di dalamnya terdapat kompromi, negosiasi,
rekonsiliasi dan komitmen bersama, antara pemerintah pusat dan Papua. Sehingga,
penyelesaian secara dialogis melalui komunikasi dan negosiasi tampaknya masih
merupakan cara yang paling elegan dan demokratis untuk menyelesaikan
persoalan di Papua secara komprehensif. Dan, bukan dengan cara mengirimkan
pasukan sebanyak-banyaknya yang justru kontraproduktif dengan tujuan untuk
mengakhiri berbagai kekerasan di sana. Tujuan Akhir Permasalahan
Papua yang begitu kompleks tidak bisa diselesaikan hanya dengan melakukan
perubahan terhadap otsus semata. Termasuk juga jangan sampai pemerintah
berlarut larut terjebak dengan pemahaman bahwa persoalan Papua dan juga
konflik yang ada di sana hanya bisa dan harus diselesaikan dengan pendekatan
militeristik. Apalagi kalau pendekatan tersebut dijadikanjalan untuk
mengkonstruksikan rasa nasionalisme masyarakat Papua terhadap
Indonesia.Pendekatan militeristik ini justru menjadi hambatan untuk
menginternalisasikan nilai-nilai nasionalisme di dalam realitas kehidupan
masyarakat Papua.Nasionalisme tersebut haruslah menjadi kehendak sendiri dan
bukan dipaksakan melalui indoktrinisasi yang berlebihan dan dengan cara dan
mekanisme yang keras melalui operasi militer. Karena hal tersebut tentu tidak
akan efektif dan justru kontraproduktif bagi pemasyarakatan nilai-nilai
kebangsaan di tanah Papua. Pemerintah
perlu memahami masalah secara keseluruhan melalui proses pembentukan solusi
yang melibatkan seluruh elemen masyrakat, pemuka agama dan orang asli Papua.
Sehingga harapan dan keinginan murni dari orang asli Papua akan adanya
perlindungan hak-hak dan pemberdayan terhadap mereka dapat diakomodasi dengan
baik. Di mana tujuan akhirnya adalah menciptakan kesejahteraan, keadilan dan
perdamaian di tanah Papua. Tentu
pertanyaan menariknya adalah mampukah Presiden Joko Widodo memberikan
stabilitas di Papua sebagai warisan setelah dua periode kepemimpinannya
nanti? Mampukah ia menjadikan Papua benar-benar merdeka dalam bingkai Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)? ● Sumber : https://nasional.sindonews.com/read/536102/18/meretas-jalan-menuju-papua-damai-1631171392 |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar