Badan
Pangan Nasional Dwi Andreas Santosa ; Guru Besar dan Kepala Biotech Center IPB
University dan Ketua Umum Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia
(AB2TI) |
KOMPAS, 9 September 2021
Indonesia
sesungguhnya mengalami persoalan pangan serius karena stagnasi produksi, kian
meningkatnya impor pangan, dan tata kelola pangan yang tiap tahun selalu
bermasalah. Indonesia
mengalami stagnasi produksi padi selama 20 tahun terakhir. Pada 2001 produksi
padi mencapai 48,9 juta ton Gabah Kering Giling (GKG) dan pada 2020 menjadi
54,6 juta ton GKG atau terjadi kenaikan rata-rata hanya 0,73 persen per
tahun, sedangkan pertambahan penduduk mencapai 1,3- 1,4 persen pada periode yang
sama. Lima
tahun terakhir (2015-2020) produksi padi justru mengalami penurunan sebesar
rata-rata minus 0,34 persen per tahunnya, padahal hampir semua anggaran,
program dan subsidi digunakan untuk meningkatkan produksi padi. Impor
pangan Selain
stagnasi produksi padi, Indonesia juga mengalami persoalan yang serius untuk
memenuhi seluruh kebutuhan pangan rakyat Indonesia. Impor delapan komoditas
utama yaitu beras, jagung, gandum, kedelai, gula tebu, ubi kayu, bawang putih
dan kacang tanah pada 2008 baru sebesar 8,0 juta ton. Dalam
waktu sepuluh tahun volume impor melonjak hampir 20 juta ton menjadi 27,6
juta ton (2018). Pada 2019 turun menjadi 25,3 juta ton dan 2020 naik lagi
menjadi 26,3 juta ton. Konsumsi
beras masyarakat terus mengalami penurunan, yang sayangnya tidak diakibatkan
oleh pengalihan konsumsi beras ke pangan lokal, tetapi justru pengalihan
konsumsi beras ke bahan pangan berbasis gandum yang 100 persen harus diimpor.
Impor gandum yang pada 1970 hanya 0,45 juta ton, saat ini sudah mencapai 10,52
juta ton (2020). Gandum yang tahun 1970-an sama sekali tak dikenal, kini jadi
salah satu pangan pokok penting masyarakat Indonesia . Proporsi
pangan berbasis gandum yang hampir nol persen tahun 1970-an, melonjak menjadi
18,3 persen di 2010 dan 26,6 persen di 2020. Bila kecenderungan ini terus
terjadi, pada 2050 lebih dari 50 persen kebutuhan pangan pokok kita sudah
tergantikan gandum. Ketergantungan
Indonesia terhadap impor beberapa komoditas pangan lainnya juga cukup besar.
Hingga 1997 impor bawang putih Indonesia masih di bawah 50.000 ton dan
melonjak dua kali lipat di tahun 1998. Dengan cepat bawang putih impor
menguasai pasar di Indonesia dan mencapai 594,2 ribu ton di 2020 di tengah
program swasembada bawang putih yang dimulai sejak 2017 melalui program wajib
tanam yang gagal. Saat ini hampir 100 persen kebutuhan bawah putih Indonesia
dipenuhi dari impor. Cerita
yang sama juga terjadi di kedelai. Indonesia pernah mencapai produksi kedelai
tertinggi di 1992 yaitu 1,87 juta ton dengan total konsumsi 3,04 juta ton.
Saat itu produksi kedelai dalam negeri mampu memenuhi kebutuhan 61,5 persen
dan sisanya diimpor, terutama dalam bentuk tepung kedelai. Impor
melonjak sangat tinggi pasca- reformasi. Pada 1999 impor kedelai sudah
mencapai 3,36 juta ton, naik 81 persen dibanding 1998. Kedelai impor semakin
mendominasi pasar di Indonesia dan di 2020 impor kedelai sudah mencapai 7,53
juta ton. Saat ini 92 persen kebutuhan kedelai masyarakat Indonesia harus
dicukupi dari impor. Nasib
yang sama juga terjadi di industri gula nasional dan petani tebu rakyat.
Hingga 1994 Indonesia praktis swasembada gula. Tahun 1994 sebanyak 99 persen
kebutuhan gula nasional, baik untuk konsumsi maupun industri, dipenuhi dari
produksi dalam negeri. Impor gula mulai mengalami peningkatan tajam
pasca-reformasi. Saat
ini kebutuhan gula nasional 8,04 juta ton dan 70 persennya harus dipenuhi
dari impor. Dari total 200 pabrik gula berbasis tebu di Indonesia, saat ini
tinggal 62 yang beroperasi. Jumlah ini diperkirakan akan terus menurun dengan
semakin menurunnya produksi gula nasional. Tata kelola pangan Selain
masalah impor pangan yang semakin membesar, tata kelola pangan juga menjadi
salah satu masalah serius di Indonesia. Gejolak harga pangan sudah menjadi
hal rutin di Indonesia. Untuk beras gejolak harga di tingkat konsumen
biasanya tak terlalu tinggi, kecuali untuk tahun-tahun tertentu ketika
terjadi fenomena El Nino yang ditandai dengan iklim kering yang
berkepanjangan serta serangan hama yang luas. Sebagai
contoh pada 2015 ketika fenomena El Nino terjadi, harga beras sudah mulai
naik di bulan Mei, dan naik terus tak terkendali hingga mencapai puncaknya di
Februari 2016. Pada tahun itu, tak ada satupun bulan di mana harga beras tak
naik. Ketika mendekati akhir tahun harga terus naik, pemerintah panik dan
akhirnya memutuskan impor beras. Impor mulai masuk November 2015 hingga Maret
2016 dengan total volume 1,8 juta ton. Hal ini tidak memperbaiki situasi
karena bulan Maret 2016 sudah memasuki musim panen raya. Hal
yang sama terjadi lagi di 2017, di mana produksi padi turun karena serangan
hama wereng yang luas. Saat itu impor baru diputuskan di Januari 2018 justru
ketika sebulan kemudian memasuki panen raya. Total impor beras 2018, baik
oleh pemerintah maupun swasta 2,3 juta ton. Kejadian
terakhir di awal 2021, ketika produksi padi naik tajam, tiba-tiba muncul
keputusan impor pada Maret 2021. Meski impor beras belum jadi dilaksanakan,
keputusan itu sudah berdampak buruk pada harga gabah dan beras di tingkat
petani. Fluktuasi
harga pangan lainnya juga selalu terjadi sepanjang tahun, baik itu jagung,
bawang putih, bawang merah, maupun telur unggas, daging ayam dan cabai.
Sedangkan pergerakan harga untuk kedelai dan gula mengikuti fluktuasi harga
internasional. Untuk bawang putih yang 100 persen diimpor seharusnya juga
mengikuti pergerakan harga internasional, tetapi yang paling sering terjadi
adalah kesalahan kebijakan di penetapan kuota impor dan pelaksanaan impor
sehingga terjadi kelangkaan di awal tahun yang menyebabkan harga bawang putih
melonjak tinggi. Badan pangan Semua
persoalan terkait pangan sering kali bersumber dari kebijakan. Ini dicoba
diatasi dengan pembentukan lembaga baru yaitu Badan Pangan Nasional
(Bapanas). Ide pembentukan Bapanas sebenarnya sudah dimulai sejak akhir 2014
ketika penulis membantu Presiden di Pokja Pangan Tim Transisi 2014. Saat itu
Presiden meminta konsep awal untuk Bapanas yang kami beri nama Badan Otoritas
Pangan. Dalam rancangan awal, Bapanas merupakan lembaga yang memiliki
otoritas tertinggi terkait tata kelola pangan. Selain
sebagai regulator, Bapanas juga berperan sebagai operator. Selain tata kelola
pangan, Bapanas juga diharapkan berperan menyejahterakan petani kecil melalui
berbagai instrumen dan kewenangan yang dimilikinya. Presiden saat itu meminta
konsep ini karena sesuai amanat UU No 18 Tahun 2012 tentang Pangan, badan
pangan harus sudah terbentuk tiga tahun setelah diundangkan. Seiring
berjalannya waktu, Bapanas belum juga dibentuk dan setelah disahkan UU No 11
Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dibentuklah Bapanas melalui Peraturan Presiden
No 66 Tahun 2021 tentang Badan Pangan Nasional. Sesuai
konsep awal, Bapanas benar- benar memiliki kewenangan yang sangat besar di
bidang tata kelola pangan. Bapanas memiliki tugas dan fungsi koordinasi,
perumusan dan penetapan kebijakan, pelaksanaan hingga pengawasan terkait: 1)
ketersediaan pangan, 2) stabilisasi pasokan dan harga pangan, 3) kerawanan
pangan dan gizi, 4) penganekaragaman konsumsi pangan, dan 5) keamanan pangan. Terdapat
sembilan jenis pangan yang saat ini menjadi tugas dan fungsi Bapanas yaitu
beras, jagung, kedelai, gula konsumsi, bawang, telur unggas, daging
ruminansia, daging unggas dan cabai, yang selama ini sering mengalami
gejolak, baik ketersediaan maupun harga. Jenis komoditas ini masih mungkin
berubah berdasarkan ketetapan Presiden. Beberapa
menteri akan mendelegasikan kewenangannya kepada Bapanas terkait stabilisasi
harga dan distribusi pangan, ekspor dan impor pangan, besaran cadangan pangan
pemerintah, harga pembelian pemerintah (HPP) dan rafaksi harga, serta
memutuskan penugasan Perum Bulog dalam rangka pelaksanaan kebijakan pangan
nasional. Dengan
kewenangan dan instrumen yang dimilikinya diharapkan jajaran Bapanas
benar-benar mampu menjalankan itu semua sehingga tata kelola pangan di
Indonesia bisa lebih baik dan impor pangan bisa dihambat dan bahkan
diturunkan. Melalui
kewenangan dan instrumen yang dimiliki, kehadiran Bapanas juga sangat
diharapkan memiliki peran besar untuk meningkatkan kesejahteraan petani kecil.
Tanpa itu maka peningkatan produksi pangan hanyalah sebuah wacana dan mimpi,
dan Bapanas sebagai suatu lembaga baru tak memiliki manfaat apapun bagi
petani dan masyarakat Indonesia. ● Sumber : https://www.kompas.id/baca/opini/2021/09/09/badan-pangan-nasional-2/ |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar