Rabu, 15 September 2021

 

Ribetnya Jadi Kaum Toleran

Iqbal Aji Daryono ;  Penulis, Tinggal di Bantul

DETIKNEWS, 14 September 2021

 

 

                                                           

Hal-hal seperti ini tidak bakalan digubris oleh para pemegang kunci surga."

 

Saya tercenung membaca kalimat itu. Di hutan belantara obrolan lini masa, sebenarnya nada kalimat demikian ya biasa saja. Tapi yang saya hadapi kali ini adalah tulisan dari seorang peserta dalam satu program mentoring untuk kampanye kebhinnekaan, tempat saya memberikan pendampingan kreasi konten digital.

 

Maka, saya betul-betul merenungkan cita rasa dari kalimat tersebut. Para pemegang kunci surga. Hmmm, serasa ada yang tidak pas.

 

"Begini. Kita ini mengambil posisi idealis sebagai pengusung spirit toleransi," kata saya. "Tugas kita adalah mengajak orang untuk sama-sama memahami dan menerapkan spirit itu. Nah, apakah bisa semangat itu terbentuk kalau kita jalankan dengan cara menyerang? Apalagi serangan itu kita arahkan kepada keyakinan orang."

 

Saat kalimat terakhir lepas dari mulut saya, diam-diam saya merasa pandangan saya malah menabrak kabut. Segalanya jadi tidak benar-benar jernih.

 

Jadi, si peserta tadi ingin menulis tentang pengalaman pergaulan harmonisnya bersama para penganut keyakinan yang berbeda. Lalu ia bermaksud menyodorkannya sebagai referensi kehidupan yang mungkin tak pernah dimengerti oleh orang-orang yang maunya hanya bergaul dengan lingkungan yang satu keyakinan saja. Sementara, orang-orang eksklusif itu menjalankan sikap mereka karena yakin bahwa hanya kelompok mereka sajalah yang layak masuk surga.

 

Hasilnya, muncul kata-kata "para pemegang kunci surga" itu. Yang jadi kebingungan saya, bukankah keyakinan kelompok itu bahwa hanya mereka sendiri yang bisa masuk surga adalah memang bagian dari keyakinan mereka? Lalu karena kami ingin mengampanyekan toleransi, bukankah seharusnya juga mengampanyekan penghormatan atas keyakinan siapa saja?

 

Lah, kalau keyakinan orang yang kami hadapi itu adalah "cuma kami yang masuk surga", lalu atas dasar apa kami tidak menghormati keyakinan mereka? Atas dasar apa kami boleh sinis dengan menyebut mereka sebagai "pemegang kunci surga"?

 

Persoalannya, ketika mereka meyakini diri sendiri sebagai satu-satunya penggenggam kebenaran, bukankah otomatis mereka akan yakin bahwa golongan di luar diri mereka adalah salah? Simpelnya, mereka pun akan melihat kami sebagai kalangan yang masuk neraka. Dan, sebagai kaum toleran, kami wajib menghormati keyakinan mereka bahwa kami akan masuk neraka!

 

***

 

Menjadi toleran yang konsekuen itu ternyata memang tidak gampang. Kita dipaksa untuk toleran bahkan kepada orang yang tidak toleran kepada kita. Jika kita menolak bersikap toleran kepada orang yang tidak toleran kepada kita, otomatis kita sendiri sudah tak lagi toleran.

 

Pernah saya masuk ke sebuah grup yang judulnya pakai kata kebhinnekaan (tentu tanpa kepak sayap). Awalnya sih normal-normal saja. Tapi lambat laun sepertinya para penghuni grup gagal konsekuen dengan spirit toleransi itu. Ujung-ujungnya, mereka malah jatuh pada sikap mengejek-ejek ajaran berbagai agama. Jumud, bodoh, terbelakang, nggak bakalan maju, kata mereka.

 

Saya masih memaklumi kalau sejak awal mereka menyebut diri sebagai kelompok penjunjung sains, misalnya. Dengan landasan ideologis seperti itu, tentu nilai yang menggerakkan mereka adalah sains. Jadi, apa pun yang tidak sejalan dengan sains akan mereka serang. Termasuk agama.

 

Masalahnya, kalau pernyataan sikap awal mereka adalah penjunjung keberagaman, atas dasar apa mereka mengejek keyakinan orang, mau sekonyol apa pun keyakinan itu dalam pandangan mereka?

 

"Kalian ini mungkin bermaksud melawan bigot. Tapi cara kalian cuma another bigotry." Begitu kata saya, lalu pamit meninggalkan grup itu.

 

Ketika ada yang mengirim pesan lalu bertanya kenapa saya ngambek, saya mengutip Gus Dur. "Iman tidak dapat diadili." Mohon maaf kalau saya selip memori, tapi seingat saya Gus Dur mengatakan itu pada saat ribut-ribut kasus Lia Aminuddin. Ya, mau seperti apa pun, iman itu ya iman. Ia berada pada dimensi yang tidak-bisa-dan-tidak-perlu ditimbang dengan ukuran-ukuran di luar sistem keimanan itu.

 

Saya lalu teringat Eric Weiner di buku The Geography of Faith. Di situ Eric bercerita tentang Raelisme di Amerika. Itu agama berbasis UFO. Tuhan yang mereka yakini adalah sosok dari luar angkasa. Buku-buku religius para Raelian berjudul The Message Given by Extra-Terrestrials, Extra-Terrestrials Took Me to Their Planet, dan sebagainya. Mereka pun punya beberapa ajaran yang terdengar aneh, misalnya dengan perayaan Hari Telanjang dan menetapkan masturbasi sebagai bentuk kepasrahan suci.

 

Meskipun demikian, di Amerika, Raelisme tetap diakui sebagai satu bentuk iman. Bahkan pengakuan itu muncul secara formal. Buktinya, IRS (Dirjen Pajak-nya Amerika) tidak memungut pajak dari institusi Raelisme. Anda perlu tahu dulu, sebagai wujud dari sekularisme, lembaga agama tidak dipungut pajak di sana. Dan, sekonyol apa pun ajaran Raelisme, ia dihormati sebagai agama.

 

Saya juga ingat cerita sahabat saya yang bekerja di Samsat-nya Western Australia. Di sana, untuk pembuatan foto SIM, orang memang harus membuka wajahnya, tetapi untuk alasan iman penutup kepala tidak harus dibuka. Tentu saja dasarnya adalah penghormatan atas kebebasan beragama. Maka jilbab di SIM tidak masalah, turban yang dipakai orang-orang Sikh itu tidak masalah, bahkan topi rajut yang dipakai para penganut Rastafari juga tidak masalah.

 

Bagi banyak orang, sebagaimana Raelisme, Rastafari itu agama yang menggelikan. Itu agamanya Bob Marley, yang salah satu ritual sucinya adalah beramai-ramai mengisap ganja. Tapi tetap saja di Australia keyakinan yang terdengar konyol pun dihormati sebagai keyakinan.

 

Tapi ngomong-ngomong, apa itu kekonyolan? Bukankah konyol dan tidak konyol itu wilayah yang sangat relatif? Apalagi jika terkait agama-agama.

 

Agama berisi klaim kebenaran, fondasinya iman, iman adalah keyakinan, dan keyakinan tidak terikat mutlak kepada hukum-hukum akal rasional. Secara umum, sesuatu tampak konyol karena dianggap tidak rasional. Dan barangkali setiap orang di luar sebuah sistem kepercayaan pada suatu agama akan melihat pernak-pernik ajaran agama itu sebagai kekonyolan, bukan?

 

Ringkasnya, setiap penganut agama mungkin akan melihat agama lain konyol, dan cuma agamanya sendiri yang tidak konyol. Begitu, bukan? Atau saya keliru?

 

***

 

Hari ini, peristiwa dengan pola masalah yang sama muncul lagi. Ada video viral yang menggambarkan para santri sebuah sekolah agama datang ke lokasi vaksinasi, dan mereka duduk berderet-deret. Pose mereka begitu memancing perhatian. Ya, mereka beramai-ramai menutup telinga, karena di ruang tunggu vaksin itu ada musik yang diputar oleh penyelenggara acara.

 

Mudah ditebak, mereka dari sekolah muslim yang mengharamkan musik. Atau lebih spesifik lagi, para santri itu penghafal kitab suci, dan mereka meyakini bahwa mendengarkan musik-musik duniawi akan merusak hafalan mereka.

 

Lalu banyak orang tertawa. Banyak orang bilang anak-anak itu salah didikan. Banyak suara mengejek sambil secara tersirat mengatakan bahwa sikap para santri itu konyol.

 

Saya sendiri seorang muslim, dan saya tidak mengharamkan musik. Jujur saja, dari versi ajaran yang saya ikuti, dalam hati saya berkata bahwa sikap para santri itu konyol. Tetapi, sebagai orang yang mengaku toleran, atas dasar apa saya mengejek secara terbuka bahwa mereka konyol? Bukankah itu memang keyakinan mereka, keyakinan tidak dapat diadili, dan sepanjang tidak merusak harmoni sosial, maka setiap keyakinan berhak untuk dihormati?

 

Ah, jadi kaum toleran memang tidak gampang. Jauh lebih gampang menjadi penentang bigot, meski lagi-lagi yang dijalankan tak lebih dari sekadar another bigotry. ●

 

Sumber :  https://news.detik.com/kolom/d-5723889/ribetnya-jadi-kaum-toleran

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar