Kamis, 09 September 2021

 

Reformasi Bansos pada Masa Pandemi

Yusuf Wibisono ;  Direktur Institute for Demographic and Poverty Studies (IDEAS)

REPUBLIKA, 8 September 2021

 

 

                                                           

Seiring pandemi yang mengharu biru, pemerintah sejak 2020 memperkuat program perlindungan sosial (perlinsos).

 

Selain meneruskan dan memperkuat program perlinsos reguler yang sudah ada, seperti Program Keluarga Harapan (PKH) dan Kartu Sembako (BPNT), pemerintah menggulirkan program baru di bawah Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) Perlinsos.

 

Di antaranya, Bantuan Sosial Tunai (BST), Bantuan Produktif Usaha Mikro (BPUM), Diskon Listrik, BLT Desa, Kartu Prakerja, hingga bantuan kuota internet.

 

Bantuan sosial (bansos) berperan penting menopang keluarga miskin yang terdampak keras pandemi, mulai dari turunnya penghasilan, hilangnya pekerjaan, menurunnya tingkat kesehatan, telantarnya pendidikan anak, hingga terganggunya kebutuhan pangan.

 

Namun, ketika beban krisis semakin membuncah dan pandemi belum menunjukkan tanda-tanda kapan akan berakhir, alokasi anggaran perlinsos justru semakin menurun.

 

Bila pada 2020 realisasi anggaran PEN Perlinsos mencapai Rp 216,6 triliun, pada APBN 2021 alokasinya turun menjadi Rp 184,5 triliun, dan terkini pada RAPBN 2022 hanya direncanakan Rp 153,7 triliun.

 

Dengan pandemi yang masih jauh dari berlalu dan pemulihan ekonomi yang belum menampakkan hasil, kecenderungan melemahnya anggaran perlinsos pada masa pandemi ini, memprihatinkan.

 

Hal ini menambah panjang persoalan bansos pada masa pandemi, mulai dari penyaluran bansos yang lamban dan tidak tepat sasaran hingga inefisiensi dan korupsi anggaran oleh birokrasi. Temuan kami mengindikasikan lemahnya kebijakan bansos pada masa pandemi.

 

Dari survei IDEAS kepada 1.013 kepala keluarga miskin di Jabodetabek, Semarang Raya, Surabaya Raya, Medan Raya, dan Makassar Raya pada Januari-Februari 2021, terungkap 20,0 persen responden mengaku sama sekali tidak pernah menerima bansos dari pemerintah selama masa pandemi, baik dari pemerintah pusat, provinsi, kabupaten-kota, maupun desa.

 

Angka ini cukup tinggi pada masa normal, tetapi sulit diterima pada masa pandemi, terlebih responden survei berlokasi di wilayah yang mudah dijangkau.

 

Dengan responden seluruhnya adalah keluarga miskin yang berlokasi di lima wilayah aglomerasi utama, yang seharusnya tidak sulit untuk diidentifikasi dan dijangkau, serta waktu survei dilakukan 10 bulan setelah pandemi melanda, tingkat exclusion error sebesar 20,0 persen ini mengkhawatirkan.

 

Eksistensi inclusion error ataupun exclusion error sebenarnya normal karena tidak ada sistem penargetan yang sempurna. Dan pada masa pandemi ketika sebagian besar kelompok masyarakat rentan terjatuh dalam kemiskinan, inclusion error hampir dapat diabaikan sepenuhnya.

 

Namun sebaliknya, untuk exclusion error, tingkat toleransi kita menjadi harus sangat minimal, bahkan tidak boleh ada satu pun yang berhak terlewat (no one left behind). Pada masa pandemi, bansos dituntut tepat sasaran dan tepat waktu secara sempurna.

 

Dengan angka exclusion error yang tinggi dan belum terlihatnya perbaikan sistem yang memadai, melemahnya anggaran perlinsos pada masa pandemi dikhawatirkan, memicu semakin banyak orang miskin yang tidak terlindungi program perlinsos.

 

Lebih jauh, prioritas program perlinsos sering kali menunjukkan arah yang salah dan secara vulgar tidak mendapatkan perbaikan yang berarti meski mendapat banyak kritikan.

 

Sebagai contoh, program Kartu Prakerja yang diperkenalkan pada 2020 dan ditujukan kepada 5,6 juta peserta sebagai mitigasi pengangguran, mendapat alokasi anggaran yang sangat besar hingga Rp 20 triliun.

 

Dengan mekanisme rekrutmen peserta berdasarkan inisiatif sendiri (self-registering) dan dilakukan  daring, serta desain pelatihan yang juga murni dilakukan secara daring, program ini sejak awal telah diprediksi tidak mampu menjangkau kelas pekerja bawah.

 

Dalam survei kami, cakupan program Kartu Prakerja di kelompok miskin terbukti sangat rendah, hanya 2,1 persen, terendah dari seluruh program bansos pada masa pandemi.

 

Meski demikian, program mahal yang tidak tepat sasaran ini terus mendapat dukungan, dilanjutkan pada 2021 dengan alokasi anggaran serupa, Rp 20 triliun untuk 5,6 juta peserta dan berlanjut hingga 2022 dengan alokasi anggaran Rp 11 triliun untuk 2,8 juta peserta.

 

Ironisnya, pada saat yang sama, program bansos yang cakupannya sangat tinggi, yaitu program Diskon Listrik, sejak awal mendapat dukungan rendah.

 

Dengan dukungan anggaran yang minim, sejak awal diskon listrik tidak diberikan kepada rumah tangga dengan daya 900 VA nonsubsidi. Masih dipertahankan, tetapi mendapat dukungan yang semakin lemah.

 

Bila pada 2020 rumah tangga dengan daya 450 VA mendapat diskon tarif listrik 100 persen, pada 2021 diskon 100 persen hanya berlaku tiga bulan dan sembilan bulan sisanya hanya diskon 50 persen.

 

Begitu pula, rumah tangga dengan daya 900 VA yang sebelumnya mendapat diskon 50 persen, maka kini diskon 50 persen hanya berlaku tiga bulan dan sembilan bulan sisanya diskon 25 persen.

 

Dalam survei kami, cakupan program tepat sasaran dari Diskon Listrik adalah yang paling tinggi di antara program bansos lainnya, yaitu 52,0 persen. Dengan demikian, bansos Diskon Listrik pada masa pandemi ini selayaknya dipertahankan dan diperluas.

 

Dengan dukungan anggaran Rp 9,49 triliun, program Diskon Listrik mampu menjangkau 32,6 juta rumah tangga miskin. Bandingkan dengan program Kartu Prakerja yang hanya menjangkau 5,6 juta peserta dengan menelan anggaran Rp 20 triliun.

 

Jika program Diskon Listrik mendapat dukungan sebagaimana Kartu Prakerja, nilai dan cakupan program Diskon Listrik dapat meningkat signifikan.

 

Apabila alokasi anggaran Rp 20 triliun diberikan untuk program Diskon Listrik, diskon 100 persen dan 50 persen berturut-turut dapat leluasa diberikan ke rumah tangga dengan daya 450 VA dan 900 VA sepanjang tahun.

 

Bahkan, seharusnya program ini diperluas ke rumah tangga dengan daya 900 VA nonsubsidi, yang jumlahnya 22,7 juta rumah tangga, yang pada masa pandemi ini diduga kuat juga terdampak keras oleh krisis, bahkan telah bertransformasi menjadi kelompok miskin baru. 

 

Pandemi masih jauh dari berlalu, sehingga krisis dipastikan masih akan menggelayuti perekonomian. Bagi keluarga miskin, bansos sangat signifikan untuk bertahan melewati krisis.

 

Dengan beban berat yang dihadapi keluarga miskin pada masa pandemi, yang bahkan telah menyentuh kebutuhan paling dasar, yaitu pangan, membuat eksistensi bansos menjadi krusial.

 

Menjadi krusial pula untuk mengintensifkan bantuan sosial secara tepat sasaran dan tepat waktu bagi keluarga miskin, serta membuatnya menjadi reguler dan permanen selama pandemi belum berakhir. ●

 

Sumber :   https://www.republika.id/posts/20076/reformasi-bansos-pada-masa-pandemi

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar