Reformasi
Bansos pada Masa Pandemi Yusuf Wibisono ; Direktur Institute for Demographic and
Poverty Studies (IDEAS) |
REPUBLIKA, 8 September 2021
Seiring pandemi yang
mengharu biru, pemerintah sejak 2020 memperkuat program perlindungan sosial
(perlinsos). Selain meneruskan dan
memperkuat program perlinsos reguler yang sudah ada, seperti Program Keluarga
Harapan (PKH) dan Kartu Sembako (BPNT), pemerintah menggulirkan program baru
di bawah Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) Perlinsos. Di antaranya, Bantuan
Sosial Tunai (BST), Bantuan Produktif Usaha Mikro (BPUM), Diskon Listrik, BLT
Desa, Kartu Prakerja, hingga bantuan kuota internet. Bantuan sosial (bansos)
berperan penting menopang keluarga miskin yang terdampak keras pandemi, mulai
dari turunnya penghasilan, hilangnya pekerjaan, menurunnya tingkat kesehatan,
telantarnya pendidikan anak, hingga terganggunya kebutuhan pangan. Namun, ketika beban krisis
semakin membuncah dan pandemi belum menunjukkan tanda-tanda kapan akan
berakhir, alokasi anggaran perlinsos justru semakin menurun. Bila pada 2020 realisasi
anggaran PEN Perlinsos mencapai Rp 216,6 triliun, pada APBN 2021 alokasinya
turun menjadi Rp 184,5 triliun, dan terkini pada RAPBN 2022 hanya
direncanakan Rp 153,7 triliun. Dengan pandemi yang masih
jauh dari berlalu dan pemulihan ekonomi yang belum menampakkan hasil,
kecenderungan melemahnya anggaran perlinsos pada masa pandemi ini,
memprihatinkan. Hal ini menambah panjang
persoalan bansos pada masa pandemi, mulai dari penyaluran bansos yang lamban
dan tidak tepat sasaran hingga inefisiensi dan korupsi anggaran oleh
birokrasi. Temuan kami mengindikasikan lemahnya kebijakan bansos pada masa
pandemi. Dari survei IDEAS kepada
1.013 kepala keluarga miskin di Jabodetabek, Semarang Raya, Surabaya Raya,
Medan Raya, dan Makassar Raya pada Januari-Februari 2021, terungkap 20,0
persen responden mengaku sama sekali tidak pernah menerima bansos dari
pemerintah selama masa pandemi, baik dari pemerintah pusat, provinsi,
kabupaten-kota, maupun desa. Angka ini cukup tinggi
pada masa normal, tetapi sulit diterima pada masa pandemi, terlebih responden
survei berlokasi di wilayah yang mudah dijangkau. Dengan responden
seluruhnya adalah keluarga miskin yang berlokasi di lima wilayah aglomerasi
utama, yang seharusnya tidak sulit untuk diidentifikasi dan dijangkau, serta
waktu survei dilakukan 10 bulan setelah pandemi melanda, tingkat exclusion
error sebesar 20,0 persen ini mengkhawatirkan. Eksistensi inclusion error ataupun exclusion error sebenarnya normal
karena tidak ada sistem penargetan yang sempurna. Dan pada masa pandemi
ketika sebagian besar kelompok masyarakat rentan terjatuh dalam kemiskinan,
inclusion error hampir dapat diabaikan sepenuhnya. Namun sebaliknya, untuk
exclusion error, tingkat toleransi kita menjadi harus sangat minimal, bahkan
tidak boleh ada satu pun yang berhak terlewat (no one left behind). Pada masa
pandemi, bansos dituntut tepat sasaran dan tepat waktu secara sempurna. Dengan angka exclusion
error yang tinggi dan belum terlihatnya perbaikan sistem yang memadai,
melemahnya anggaran perlinsos pada masa pandemi dikhawatirkan, memicu semakin
banyak orang miskin yang tidak terlindungi program perlinsos. Lebih jauh, prioritas
program perlinsos sering kali menunjukkan arah yang salah dan secara vulgar
tidak mendapatkan perbaikan yang berarti meski mendapat banyak kritikan. Sebagai contoh, program
Kartu Prakerja yang diperkenalkan pada 2020 dan ditujukan kepada 5,6 juta
peserta sebagai mitigasi pengangguran, mendapat alokasi anggaran yang sangat
besar hingga Rp 20 triliun. Dengan mekanisme rekrutmen
peserta berdasarkan inisiatif sendiri (self-registering) dan dilakukan daring, serta desain pelatihan yang juga
murni dilakukan secara daring, program ini sejak awal telah diprediksi tidak
mampu menjangkau kelas pekerja bawah. Dalam survei kami, cakupan
program Kartu Prakerja di kelompok miskin terbukti sangat rendah, hanya 2,1
persen, terendah dari seluruh program bansos pada masa pandemi. Meski demikian, program
mahal yang tidak tepat sasaran ini terus mendapat dukungan, dilanjutkan pada
2021 dengan alokasi anggaran serupa, Rp 20 triliun untuk 5,6 juta peserta dan
berlanjut hingga 2022 dengan alokasi anggaran Rp 11 triliun untuk 2,8 juta
peserta. Ironisnya, pada saat yang
sama, program bansos yang cakupannya sangat tinggi, yaitu program Diskon
Listrik, sejak awal mendapat dukungan rendah. Dengan dukungan anggaran
yang minim, sejak awal diskon listrik tidak diberikan kepada rumah tangga
dengan daya 900 VA nonsubsidi. Masih dipertahankan, tetapi mendapat dukungan
yang semakin lemah. Bila pada 2020 rumah
tangga dengan daya 450 VA mendapat diskon tarif listrik 100 persen, pada 2021
diskon 100 persen hanya berlaku tiga bulan dan sembilan bulan sisanya hanya
diskon 50 persen. Begitu pula, rumah tangga
dengan daya 900 VA yang sebelumnya mendapat diskon 50 persen, maka kini
diskon 50 persen hanya berlaku tiga bulan dan sembilan bulan sisanya diskon
25 persen. Dalam survei kami, cakupan
program tepat sasaran dari Diskon Listrik adalah yang paling tinggi di antara
program bansos lainnya, yaitu 52,0 persen. Dengan demikian, bansos Diskon
Listrik pada masa pandemi ini selayaknya dipertahankan dan diperluas. Dengan dukungan anggaran
Rp 9,49 triliun, program Diskon Listrik mampu menjangkau 32,6 juta rumah
tangga miskin. Bandingkan dengan program Kartu Prakerja yang hanya menjangkau
5,6 juta peserta dengan menelan anggaran Rp 20 triliun. Jika program Diskon
Listrik mendapat dukungan sebagaimana Kartu Prakerja, nilai dan cakupan
program Diskon Listrik dapat meningkat signifikan. Apabila alokasi anggaran
Rp 20 triliun diberikan untuk program Diskon Listrik, diskon 100 persen dan
50 persen berturut-turut dapat leluasa diberikan ke rumah tangga dengan daya
450 VA dan 900 VA sepanjang tahun. Bahkan, seharusnya program
ini diperluas ke rumah tangga dengan daya 900 VA nonsubsidi, yang jumlahnya
22,7 juta rumah tangga, yang pada masa pandemi ini diduga kuat juga terdampak
keras oleh krisis, bahkan telah bertransformasi menjadi kelompok miskin
baru. Pandemi masih jauh dari
berlalu, sehingga krisis dipastikan masih akan menggelayuti perekonomian.
Bagi keluarga miskin, bansos sangat signifikan untuk bertahan melewati
krisis. Dengan beban berat yang
dihadapi keluarga miskin pada masa pandemi, yang bahkan telah menyentuh
kebutuhan paling dasar, yaitu pangan, membuat eksistensi bansos menjadi
krusial. Menjadi krusial pula untuk
mengintensifkan bantuan sosial secara tepat sasaran dan tepat waktu bagi
keluarga miskin, serta membuatnya menjadi reguler dan permanen selama pandemi
belum berakhir. ● Sumber : https://www.republika.id/posts/20076/reformasi-bansos-pada-masa-pandemi |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar