Minggu, 19 Februari 2017

Korupsi dan Dunia Pendidikan

Korupsi dan Dunia Pendidikan
Asep Saefuddin  ;    Rektor Universitas Trilogi; Guru Besar Statistika FMIPA IPB
                                           MEDIA INDONESIA, 17 Februari 2017

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

DALAM rangkaian Konferensi FRI 2017 ada program kunjungan ke kampus Binus, UI, UHAMKA, Gunadarma, UNJ, dan Trilogi. Program kampus ini disepakati sebagai upaya bagi-bagi pengalaman dan informasi, selain lihat-lihat fasilitas universitas. Jenis kegiatan (acara) ditentukan manajemen kampus. Di Trilogi acaranya diisi dengan pameran produk mahasiswa dan diskusi tentang korupsi.

Pada sesi diskusi korupsi, dari KPK hadir Pak Saut Situmorang yang menyampaikan informasi upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Ternyata upaya ini sudah dilakukan sejak awal-awal kemerdekaan. Akan tetapi, sering tenggelam alias tidak sustain, padahal korupsi terus marak dengan berbagai modusnya. Salah satu persoalannya ialah karena ada intervensi penguasa, orang-orang berpengaruh, dan partai. Hal ini disebabkan perilaku korup tidak dikikis dari akarnya serta tidak didekati melalui sistem kompleks. Semua unsur berkaitan satu sama lain.

Awalnya saya kurang paham ketika Saut Situmorang bicara menantang Pemda DKI untuk membuat Jakarta bersih total dari sampah. Sungai-sungai bisa mengalir bersih dan tidak bau, puskesmas dapat melayani penduduk tanpa membedakan kelas ekonomi, jalan mulus. Saya pikir, apa hubungannya dengan korupsi. Cukup lama saya kurang 'mudheng'.

Setelah saya merenung dan memperhatikan kejadian akhir-akhir ini, seperti kebakaran hutan, perizinan impor sapi, harga bahan pokok, harga BBM, jembatan ambruk, sekolah roboh, dan berbagai persoalan di Indonesia itu ternyata tidak lepas dari perilaku korup. Misalnya retribusi pedagang kaki lima, fasilitas pasar tradisional, dan angkutan umum itu tentu ada hitung-hitungannya yang berkaitan dengan uang.

Lalu mengapa sungai kotor, jalan semrawut, dan pasar becek itu bisa jadi faktor korupsi? Dana pembangunan sarana prasarana itu tidak sepenuhnya dipergunakan sesuai dengan kebutuhan. Akibatnya, kualitas sarana itu jauh dari sempurna sehingga tidak tahan lama dan membahayakan pengguna. Pendek kata, uang yang masuk tidak dipergunakan untuk kepentingan masyarakat. Ke mana itu uang? Inilah korupsi.

Ada kapal penumpang yang kehabisan BBM di tengah laut, itu pun akibat korupsi. Sudah pasti ada takaran yang dikurangi atau sengaja dilego. Korban yang langsung kena selalu masyarakat bawah karena merekalah yang paling banyak menggunakan fasilitas publik. Artinya korupsi berakibat fatal bagi masyarakat yang ujung-ujungnya negara tidak maju. Jadi korupsi memang harus diberantas. Tidak ada toleransi bagi koruptor.

Begitu juga ketika membuat atau memperpanjang paspor, kita harus bolak-balik hanya karena salah teknis fotokopi yang mesti horizontal, bukan vertikal. Padahal, fotokopinya juga di kantor imigrasi. Ini kan lucu, aneh, tapi nyata. Hal-hal kecil yang bisa jadi celah korupsi. Ada juga pencuri yang sudah dilaporkan ternyata masih bisa jalan-jalan dan mencuri lagi. Waktu untuk berurusan dengan instansi publik selalu tidak jelas, lama, dan melelahkan. Semua itu akibat perilaku korup. Ujungnya adalah negara tidak kompetitif, masyarakat miskin, rasio Gini membengkak.

Peran lembaga pendidikan

Dunia pendidikan ialah tempat yang paling bertanggung jawab terhadap akar korupsi. Di sinilah cikal bakal berkembangnya perilaku korup bila sekolah membiarkan guru dan peserta didik tidak disiplin memegang aturan. Saat ini lembaga sekolah terlalu menekankan prestasi dengan pola pembandingan antarindividu. Pembentukan karakter seperti kejujuran tidak mendapat ruang.

Guru sering lupa bahwa proses pencapaian jauh lebih penting daripada titik akhir. Belajar (learning) ialah proses memahami secara bertahap, bekerja sama, dan berbagi. Semua itu ada rantainya, tidak bersifat 'ujug-ujug' ujungnya. Korupsi ialah keinginan mencapai titik akhir yang 'gemilang' tanpa melewati tahapan proses itu. Bila hal ini tidak dilakukan di sekolah, berarti peserta didik secara tidak sadar telah dilatih korupsi. Ini berbahaya

Ruang untuk berperilaku korup di lembaga pendidikan ini sangat luas. Guru bisa juga menjadi celah awal, ketika mereka terlalu mengagungkan nilai akhir tanpa melihat proses pembelajaran itu. Murid-murid akhirnya menyontek, mengintip jawaban teman, atau membuka catatan hanya untuk mendapat nilai bagus. Esensi belajar untuk mengerti dan memahami mata pelajaran tidak dirasakan murid. Pada saat yang sama murid menjadi terbiasa curang. Itu juga korupsi.

Untuk itu, guru harus benar-benar memahami apa fungsi guru, bukan sekadar menjalankan profesi untuk mengejar sertifikasi. Upaya menanamkan sifat kejujuran dengan guru sebagai model harus dilakukan setiap hari tidak saja di dalam kelas, tetapi juga di luar kelas seperti di kantin atau tempat lainnya di sekolah dan luar sekolah. Guru yang hanya bisa memberi tugas tanpa memeriksanya berarti sedang menularkan perilaku korup. Pola-pola target yang tidak realistis sama saja dengan menjalankan praktik korupsi. Juga regulasi yang ambisius, tidak realistis, bisa jadi ajang korupsi.

Para lulusan lembaga pendidikan kemudian masuk ke pasar kerja, termasuk menjadi pegawai pemerintahan. Belum lagi untuk menjadi pegawai pun harus ada biaya pelicin. Jadilah lingkaran setan korupsi yang tidak pernah putus. Korupsi terus marak, sedangkan upaya pemberantasannya sering sirna. Akibatnya, distribusi aset sangat timpang. Ekonomi pro-poor, pro-job, pro-environment sekadar jargon bila korupsi tidak ditangani secara sungguh-sungguh. Juga ekonomi yang berkeadilan akan menjadi omong kosong.

Jadi, betul juga bila KPK masuk ke ranah pendidikan, fasilitas publik, lembaga negara, perpajakan, proses pembuatan kebijakan, dan lain-lain. Juga korupsi memang ada di mana-mana, di berbagai sektor, dari hulu ke hilir, termasuk di akar pendidikan. Untuk itu, bila Indonesia ingin maju, berantas korupsi sampai ke akar-akarnya. Kita dukung KPK. Semoga berhasil.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar