Kaum
Nahdliyin Tidak Tidur
Mohamad Sobary ;
Esais; Anggota Pengurus Masyarakat Bangga
Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi
|
KORAN
SINDO, 13
Februari 2017
Godaan politik
selalu ada dan sering tak terduga. Ada kalanya halus dan lembut. Tapi tak
jarang agak kasar. Namun di balik itu semua ada uang, ada pula tawaran
jabatan dan sejenis kemewahan dunia lainnya. Ada beberapa orang yang tergiur.
Tapi banyak yang tetap waspada. Golongan yang waspada ini ibaratnya kaum yang
tak pernah tidur. Harus dicatat, di antara mereka ada yang bersedia menjadi
kaki tangan pihak yang selalu berusaha memengaruhi NU supaya mau berbuat
sesuai dengan kehendak politiknya. Orang bersedia menjadi kaki tangan itu tak
mampu memengaruhi saudara-saudaranya sendiri. Dia tak berpengaruh. Di
sana-sini dia sendiri dan sepi.
ga tak terlalu memburu posisi
duniawi. Apalagi bila posisi duniawi itu diperoleh melalui persekongkolan
politik yang keruh, buram, dan membikin keruh kehidupan dunia yang bernama
Jakarta atau Indonesia.
Hidup nyata
seperti ini dan dunia simbol dalam kesenian tradisional kita terasa seperti
bertukar tempat. Mana yang simbol dan mana yang disimbolkan ada kalanya
seperti tak terdeteksi.
Tapi kita bisa
membikinnya menjadi lebih jelas bahwa dunia nyata seperti ini sering
ditampilkan secara simbolis di dunia sastra Jawa. Ada lakon yang
menggambarkan pihak Kurawa siap membunuh sekarang juga keluarga Pandawa. Tipu
muslihat dan penyusupan secara lembut dilakukan hampir tak kentara. Kekuatan
sakti yang tak tertandingi sudah siap turun ke gelanggang. Keluarga Pandawa
bahkan sudah diringkus oleh tipu muslihat tadi.
Ibarat kata,
membunuh mereka sama mudahnya dengan memijit tombol lift untuk masuk atau
keluar ruangan kecil itu. Tapi kejahatan dan tiap jenis kejahatan selalu
memiliki celah-celah kelemahan. Kekuatan sakti yang tak tertandingi itu
ketemu musuh sakti pula. Mereka bertempur hebat. Tapi lama kelamaan kekuatan
sakti yang memihak Kurawa, pihak jahat, bisa dikalahkan. Musuh yang mampu
mengalahkannya seekor kera putih bernama Anoman.
Pihak jahat
yang dikalahkan itu penjelmaan roh Dasamuka, raja generasi sebelumnya, yang
memerintah negerinya dengan segenap kejahatan. Rakyat banyak yang menjadi
korban karena peperangan. Raja-raja dan negara-negara tetangga gentar. Mereka
selalu risau karena Dasamuka bisa saja menjarah rayah dan menjajah negeri
mereka. Kedok sudah terbuka. Kejahatan dapat diusir jauh-jauh dan Pandawa
kembali ke dalam kehidupan sehari-hari yang penuh kerja keras untuk
menyejahterakan raknya.
Dan kaum
nahdliyin? Mereka kembali ke dalam wadah NU, hidup dalam ke-NUan dan
ke-Indonesiaa-an yang telah dirintis sejak bertahuntahun dalam perjuangan NU
mewujudkan wawasan kebangsaan bahwa NU itu manunggal dengan Indonesia, masuk
ke dalam Indonesia dan bagian dari Indonesia. Manunggal dengan Indonesia itu
kurang lebih artinya manunggal dalam pluralitas kebudayaannya, manunggal
dalam cita-citanya, dan menjadi satu dalam perjuangan membikin Indonesia ini
aman, makmur, dan sejahtera.
Perjuangan di
jalan ini tidak mudah. Realitas politik yang keras dan kasar menarik-narik NU
ke sana-kemari. Tapi NU punya khitah perjuangan sendiri. Dan sekitar dua
puluh tahun yang lalu NU perlu meneguhkan dirinya untuk kembali ke khitah.
Dan artinya kita tahu: sekali NU tetap NU. Organisasi keumatan yang sudah
memiliki kiblat ”moral politik” itu selalu sadar untuk kembali ke garis pijak
moralitasnya sendiri. NU tak ingin menjadi orang lain.
NU hanya ingin
menjadi diri sendiri. Tapi seperti disebutkan di atas, menjadi diri sendiri
itu pun tidak mudah. Godaan politik selalu ada. Dan jangan lupa, godaan
politik itu datang dari kekuatan lain, melalui tangan-tangan saudara kita
sendiri. Ada kalangan yang menggoda kaum nahdliyin itu juga warga kaum
nahdliyin sendiri. Tapi melalui saluran mana pun, kaum nahdliyin tak
terpengaruh. Kita kembali ke dunia pesantren.
Kita berbicara
tentang pendidikan. Kita kembali ke dunia kekiaian, tempat umat bertanya dan
berkonsultasi. Dunia kekiaian itu dunia pelayanan dan pengayoman. Kita
kembali ke Muslimat NU: dunia kaum ibu nahdliyin yang gigih mencari
pencerahan dan menyiarkan pencerahan itu ke dunianya yang luas, dunia kaum
ibu tapi juga dunia kaum bapak. Kita kembali ke Banser, kekuatan pengamanan
dan pengayomagarkehidupankaum nahdliyin aman damai.
Tapi Banser
juga kekuatan politik yang nyata dan turut mengawal tegaknya wawasan
kebangsaan NU. Dalam situasi kritis dan mendesak, Banser merapatkan barisan
anggota-anggotanya. Tapi tak hanya menjaga diri sendiri. Banser juga menjaga
kaum nahdliyin secara keseluruhan. Dia bersuara. Mungkin tujuannya
mengingatkan agar kaum nahdliyin tak turun terseret arus deras perpolitikan
Jakarta yang sedang sangat panas pada saat ini.
Biarkan
politik berjalan di atas jalur sendiri. Biarkan yang jahat bekerja dengan
agendanya. Kalau mampu, kita mengingatkan. Kalau mungkin kita mencegah.
Minimal kita menjaga keluarga kita sendiri. Menjaga keluarga sendiri itu
bagian dari prinsip politik yang disebut meneguhkan ke-NU-an kita tadi.
Meneguhkan
ke-NUan bukan hanya bicara mengenai politik identitas kita, tetapi jug—dan
itu yang lebih bermakna bagi kehidupan yang lebih luas—kita bicara tentang
kontribusi kita bagi kehidupan bangsa dan negara. Ini amalan nyata dari
wawasan kebangsaan NU yang sudah disebutkan di atas. Tarikan-tarikan politik
praktis, apalagi yang berbau kejahatanuntukmengadu domba kita dengan kekuatan
partai lain, yang juga saudara kita, tak memengaruhi kita.
Sebaliknya,
yang mau memengaruhi kita, sudah pusing karena segenap langkahnya menemui
jalan buntu. Apa yang zalim memang layak menemui jalan buntu seperti dalam
lakon di mana roh jahat Dasamuka gentayangan. Kita tak tergoda. Ini berkat
naluri baik kita.
Kalau
kiai-kiai sepuh yang terhormat, kiai-kiai yang menjaga moralitas NU dan
martabat ke-NU-an dan ke- Indonesia-an sudah turun gunung dan memberikan
nasihatnasihatnya kepada seluruh warga nahdliyin, kita akan menjadi lebih
solid, lebih kukuh, lebih ideologis. Kita menanti sejumlah tokoh besar merasa
bahwa saatnya telah tiba untuk menurunkan petuah, fatwa, dan
nasihat-nasihatnya kepada kita, kaum muda yang banyak jumlahnya.
Ada kaum
Gusdurian yang terserak di seluruh pelosok Nusantara. Ada pula
kekuatan-kekuatan nahdliyin yang lain. KH Ahmad Mustofa Bisri, yang dikenal
luas sebagai Gus Mus, KH Maimun Zubair, KH Nawawi Abdul Djalil, Prof Dr KH
Nazaruddin Umar, KH Ahmad Basyir, KH Ahmad Shodiq, dan masih banyak tokoh
lain yang dapat diharapkan bakal mampu membimbing umat agar tak
terseret-seret di jalan yang tak selayaknya.
Apalagi diadu domba dengan pihak lain yang juga saudarasaudara
kaum nahdliyin: saudara sebangsa dan setanah air yang bisa diajak kerja sama
menata kehidupan ini secara damai. Banyak kekuatan kiai yang belum secara
maksimal kita mohon perlindungan dan nasihatnya buat kaum muda. NU tak
kekurangan sumber daya insani yang berkualitas. NU tak mungkin lalai dalam
perjuangan ini. Kaum nahdliyin tak pernah tidur. Tiap saat waspada, tiap saat
NU terjaga. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar