Senin, 06 Februari 2017

Bertamu

Bertamu
Putu Setia ;  Pengarang; Wartawan Senior Tempo
                                                   TEMPO.CO, 04 Februari 2017

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Sama sekali tak diduga bahwa pada sore itu Romo Imam datang ke rumah saya. Saya kaget, tapi menyambutnya dengan tenang. "Tak usah ditanya apakah saya mendadak singgah karena kebetulan berjalan-jalan dekat sini atau saya sengaja ke sini," ujar Romo, sebelum saya bicara apa-apa. Kami pun tertawa.

"Memang, bertamu itu ada aturannya," tutur Romo, setelah saya ajak duduk di beranda. "Bertamu bisa karena tamunya diundang tuan rumah, bisa karena tamu yang meminta bertemu. Kalau yang terakhir ini, tentu tamu memberi tahu sebelumnya lewat telepon atau titip pesan kepada orang lain atau lewat surat. Tujuannya, agar tuan rumah menyesuaikan jadwal dan punya persiapan dalam menyambut tamu. Kalau tamu datang nyelonong, risikonya banyak. Bisa jadi kecewa karena tuan rumah tak ada atau tak sempat diladeni karena punya kesibukan lain. Itu sebabnya diciptakan padanan yang buruk buat tamu yang tak diundang, yakni pencuri."

Saya tertawa. Romo menyeruput rebusan kayu manis, minuman rutin kami pada sore hari sebagai orang yang khawatir soal gula darah tinggi.

"Yang tak masuk akal, ada calon tamu yang belum apa-apa sudah takut menemui seseorang karena ia percaya bakal tidak diterima. Si calon tamu ini merasa dihalangi-halangi. Mungkin dia dapat informasi ngawur. Yang lebih konyol, ternyata calon tamu itu sama sekali tak pernah mencoba untuk minta bertamu, baik lewat telepon maupun lewat surat. La, piye toh....," Romo tertawa, menyudahi omongannya.

Saya bicara hati-hati: "Romo sepertinya menyindir presiden keenam kita, Bapak Susilo Bambang Yudhoyono." Romo meledak tawanya. "Pada akhirnya yang tak masuk akal ini jadi gunjingan publik," katanya. "Karena hal yang sepatutnya disimpan itu ternyata diobral ke publik. Orang bijak bisa menahan perasaan, mana yang cukup disimpan dalam hati, mana yang perlu diceploskan ke orang lain. Ingin ketemu Jokowi tapi tak pernah memberitahukan keinginannya itu karena belum apa-apa takut tidak diterima. Wong Jokowi pengamen saja diterima, malahan presiden yang unik ini mau-maunya menelepon anak balita yang kepingin salaman tetapi tak bisa."

"Romo betul. Sebagai presiden, Jokowi terikat oleh protokoler," kata saya. "Tentu saja tak etis Jokowi memanggil SBY ke Istana, wong bukan menterinya, bukan pembantu presiden. Kalau Jokowi mengundang SBY, keperluannya apa, barangkali belum ada atau belum mendesak.

Undangan khusus itu karena Jokowi tak punya masalah dengan SBY. Yang menyimpan masalah itu SBY, ingin membantah segala rumor menyangkut dirinya. Rumor yang belum tentu datang dari Istana dan mungkin pula Jokowi tak tahu apa-apa. Alangkah bijak dan santunnya kalau SBY mengirim surat atau pesan permintaan bertamu. Saya kira tak ada yang menjegal. Jubir Istana yang teman baik saya itu sudah bilang. Kirim surat permintaan bertemu. Jokowi pasti membuatkan jadwal. Wong sudah enam kali keduanya bertemu dalam acara-acara kenegaraan."

Romo juga tampak mulai serius. "Ini soal sepele, urusan tamu-bertamu. Menjadi besar karena menyangkut presiden yang aktif dan presiden yang pensiun. Lalu situasinya panas menjelang pilkada Jakarta, yang salah satu calon gubernurnya diadili. Belum lagi ada kasus makar, penghinaan Pancasila, ulama yang berpolitik, campur aduk. Apa benar negeri ini sudah gawat dan rakyatnya terpecah-belah?"

"Tidak benar, Romo," saya memotong. "Masyarakat di daerah adem. Negeri ini tak akan hancur karena Ahok, Agus, Anies, Rizieq, jikapun ditambah SBY. Yang panas hanya Jakarta, di daerah masih sejuk. Apalagi banyak hujan." ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar