Pelajaran
dari Kasus Ahok
Biyanto ; Dosen
UIN Sunan Ampel; Wakil Sekretaris PW Muhammadiyah Jatim
|
JAWA POS, 07 November
2016
Kasus
dugaan penistaan agama yang dilakukan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja
Purnama (Ahok) benar-benar menguras energi. Silang pendapat terhadap
pernyataan Ahok tentang surah Al Maidah ayat 51 begitu luar biasa. Pro dan
kontra tidak hanya melibatkan warga DKI Jakarta. Mereka yang tinggal jauh
dari ibu kota juga terlibat dalam perdebatan. Puncaknya, ratusan ribu, bahkan
mungkin jutaan, orang bergerak ke Jakarta untuk melakukan aksi damai pada
Jumat, 4 November.
Solidaritas
umat dari segenap penjuru tanah air seakan memuncak. Dari berbagai daerah,
mereka berbondong-bondong datang ke ibu kota. Mereka menyuarakan tuntutan
yang sama, yakni tuntaskan kasus dugaan penistaan agama yang melibatkan Ahok.
Selain gelombang massa yang datang ke Jakarta, masih banyak demonstrasi
serupa di daerah. Gelombang demonstrasi damai menunjukkan bahwa efek
pernyataan Ahok telah menjadi isu nasional, lintas etnis dan agama.
Sebagian
orang mungkin memahami bahwa aksi demo itu digerakkan elite politik.
Pandangan tersebut bisa dimaklumi karena faktanya di Jakarta sedang
berlangsung tahapan pemilihan gubernur (pilgub). Tetapi, jika dikonstruksi
dari awal, jelas aksi demonstrasi damai itu murni dipicu pernyataan Ahok yang
dianggap telah menistakan agama. Apalagi, aksi demonstrasi merupakan salah
satu bentuk pernyataan aspirasi yang dijamin konstitusi.
Didorong
keinginan untuk membela kemuliaan kitab suci, mereka yang tidak
berkepentingan dengan pilgub DKI secara sukarela datang ke ibu kota negeri.
Peserta aksi damai menganggap calon gubernur petahana itu tidak layak membawa
perdebatan penafsiran ayat Alquran dalam konteks pilgub DKI. Kelompok umat
yang tersinggung pun melaporkan Ahok ke kepolisian atas tuduhan penistaan
agama.
Kasus
yang menimpa Ahok penting menjadi pelajaran bagi siapa pun. Tidak sepantasnya
seseorang membawa agama dalam pentas persaingan politik. Sebab, politik
merupakan urusan duniawi (profan). Sedangkan agama tergolong wilayah suci
(sakral). Meminjam istilah cendekiawan muslim Nurcholish Madjid (Cak Nur),
semua pihak harus melakukan sekularisasi. Pada konteks ini, sekularisasi
dimaknai Cak Nur secara sosiologis. Menurut Cak Nur, sekularisasi bermakna
membedakan, bukan memisahkan, urusan politik dan agama. Pemahaman tersebut
penting agar tidak terjadi pemaksaan penafsiran ajaran agama untuk agenda
politik.
Pelajaran lain dari kontroversi Ahok adalah
pentingnya menghargai kebinekaan. Dengan pernyataan kontroversialnya, Ahok
tampak tidak menempatkan diri sebagai pejabat publik yang pluralis. Padahal,
negeri tercinta ini secara nature dan culture berbineka. Pernyataan itu
merujuk pada realitas kemajemukan etnis, budaya, agama, dan paham keagamaan
di Nusantara. Meski faktanya berbineka, sampai kapan pun negeri ini harus
tunggal ika (semboyan Bhinneka Tunggal Ika).
Sebagai pejabat publik, tidak sepantasnya
Ahok mengumbar pernyataan dengan menuduh umat telah dibodohi ulama. Dalam
rekaman yang beredar luas di media, Ahok menyinggung pandangan sebagian ulama
mengenai larangan memilih pemimpin non-Islam. Sebagai pewaris ajaran Nabi,
sejatinya tidak ada yang salah dengan penafsiran sebagian ulama. Para ulama
justru ingin menunjukkan kehati-hatian dalam memilih pemimpin. Sebab,
persoalan kepemimpinan menyangkut hajat hidup orang banyak.
Kini umat sudah sangat dewasa dalam memilih
pemimpin. Pilihan umat sering kali juga berbeda dengan fatwa elite agama dan
keputusan partai. Perbedaan ideologi, politik, agama, dan etnis dalam banyak
kasus pemilihan kepala daerah sudah tidak menjadi pertimbangan. Yang
terpenting, calon pemimpin memiliki rekam jejak baik dan berintegritas. Pada
konteks ini, seharusnya Ahok tidak usah galau. Syaratnya, Ahok bisa
menampilkan diri sebagai pemimpin yang santun sehingga layak dipilih.
Jika umat tidak memilih Ahok, janganlah itu
dipahami karena dia seorang Tionghoa atau non-Islam. Orang tidak memilih Ahok
sangat mungkin karena keangkuhannya dan gaya bicaranya. Apalagi, yang
dibicarakan soal agama yang sensitif. Siapa pun orangnya harus berhati-hati
jika berbicara soal agama. Agama selalu melibatkan pengalaman pribadi dan
emosi. Orang yang tidak menjalankan ajaran agama secara baik pun bisa marah
jika agamanya dinistakan.
Fakta itulah yang terjadi dengan aksi
membela Islam di Jakarta dan sejumlah daerah. Meski berasal dari kelompok
berbeda, mereka disatukan kepentingan yang sama: ingin memuliakan kitab
sucinya. Kini yang penting ditunggu adalah respons pemerintah. Pemerintahan
Joko Widodo (Jokowi) dan Jusuf Kalla (JK) tidak boleh memandang aksi
solidaritas umat sebagai peristiwa biasa. Aksi membela Islam yang dipicu
dugaan kasus penistaan agama oleh Ahok merupakan fenomena luar biasa.
Jika pemerintah lamban merespons tuntutan
umat, sangat mungkin akan terjadi gelombang aksi serupa yang lebih besar.
Pada konteks inilah aparat penegak hukum harus bekerja profesional untuk
menuntaskan kasus Ahok. Semua elemen bangsa tentu tidak ingin terjadi gerakan
perlawanan rakyat pada pemerintah. Apalagi jika gerakan itu dibumbui isu
perbedaan suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA). ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar