Jumat, 03 April 2015

Rekomendasi Ulama untuk Pemberantasan Korupsi

Rekomendasi Ulama untuk Pemberantasan Korupsi

Romli Atmasasmita  ;  Guru Besar Emeritus Universitas Padjadjaran (Unpad)
KORAN SINDO, 02 April 2015

                                                                                                                                     
                                                                                                                                                           

Baru-baru ini Johan Budi, salah satu komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), telah berdiskusi dengan para ulama Pondok Pesantren Tebu Ireng. Diskusi tersebut melahirkan lima rekomendasi yang ditujukan terhadap presiden.

Kelima rekomendasi tersebut adalah: Pertama, bahwa korupsi merupakan kejahatan kemanusiaan. Kedua, negara harus dipimpin dengan akal sehat dan berintegritas. Ketiga, dalam praktik pemberantasan korupsi ada intervensi yang harus dicegah yang dapat melemahkan (baca KPK). Keempat, merekomendasikan hukuman seberat- beratnya pemiskinan, sanksi sosial dan menolak pemberian remisi dan bebas bersyarat.

Kelima, mendorong pemerintah dan parlemen untuk memberikan dukungan politik bagi penguatan lembaga antikorupsi (baca KPK). Keikutsertaan para ulama dan perhatian yang sangat besar terhadap pemberantasan korupsi khususnya KPK sangat kita apresiasi, karena dalam pemberantasan korupsi selain merupakan penegakan hukum adalah jugapenegakannilai-nilaiagama dan moralitas individual dan masyarakat dalam kehidupan bangsa yang berlandaskan pada Pancasila dan UUD 1945.

Kelima rekomendasi hasil diskusi para ulama dan Johan Budi menunjukkan perhatian besar para ulama terhadap pemberantasan korupsi. Penulis sangat sependapat dengan perhatian dan partisipasi kaum ulama. Namun, masih ada yang terlewat dan tidak termuat dalam rumusan halaqah para ulama karena saat ini dalam pengamatan penulis kinerja pemberantasan korupsi oleh KPK jauh berbeda dengan Polri dan kejaksaan.

Perbedaan yang mencolok adalah, baik dalam penganggaran yang jauh lebih besar dari Polri dan kejaksaan yang memiliki cabang di seluruh kabupaten dan kota; termasuk anggaran untuk iklan layanan (pemberitaan) antikorupsi dan anggaran untuk koalisi antikorupsi. KPK memiliki kewenangan yang lebih luas dibandingkan Polri dan kejaksaan berdasarkan UU KPK.

Kewenangan luas tersebut diperkuat dengan strategi yang disebut ”naming and shaming” yang berarti ”menyebutkan terbuka nama tersangka dan permalukan” yang telah berhasil diwujudkan didukung oleh kedua pos anggaran KPK tersebut. Selain langkah tindakan KPK tersebut, juga KPK telah memanfaatkan media dan pers secara optimal sejak penyidikan sampai pada proses penuntutan dan pemeriksaan pengadilan tipikor.

Bahkan dalam berbagai tayangan media elektronik, proses penangkapan dan penggeledahan serta penyitaan harta tersangka selalu diikuti media cetak dan elektronik. Sedangkan langkah dan tindakan tersebut sangat terbatas dan jarang sekali dilakukan Polri dan kejaksaan; bahkan di kedua institusi tersebut tidak ada dana untuk LSM antikorupsi.

Fakta terurai di atas menunjukkan bahwa baik pemerintah dan parlemen justru telah memperkuat KPK dibandingkan dengan Polri dan kejaksaan. Bahkan menurut penulis, pemerintah dan parlemen telah bertindak diskriminatif terhadap Polri dan kejaksaan.

Strategi ”naming dan shaming” yang dilaksanakan KPK dan tidak dimiliki oleh Polri dan kejaksaan, dalam pandangan penulis, tidak manusiawi bahkan jauh dari nilai-nilai agama dan moralitas individual dan masyarakat yang berlandaskan pada Pancasila dan UUD 1945. Karena dengan cara tersebut, seorang tersangka KPK telah dizalimi jauh sebelum yang bersangkutan ditetapkan sebagai terpidana.

Bahkan, sosok tersangka KPK telah berubah menjadi ”zombie” ketika duduk berhadapan dengan majelis pengadilan tipikor tanpa daya dengan pengacara yang terhebat sekalipun. Karena opini publik telah terbentuk bahwa yang bersangkutan adalah penjahat dan harus dimusnahkan serta dimiskinkan dan tidak perlu dimaafkan sehingga majelis hakim tipikor telah tersandera oleh karakter assassination yang terbuka di ruang publik terhadap tersangka.

Kewenangan KPK berdasarkan UU KPK 2002 telah sangat luas dan membuka ruang yang sangat leluasa terutama dengan kewenangan penyadapan yang tidak dimiliki oleh Polri dan Kejaksaan sehingga kewenangan tersebut sepatutnya diimbangi dengan proses hukum penemuan bukti-bukti permulaan yang sesuai dengan UU.

Presiden Joko Widodo menurut penulis telah bertindak benar dengan tidak melakukan intervensi terhadap kasus BW dan AS karena telah berpegang teguh pada amanahnya untuk tetap bersumpah setia pada UUD dan peraturan perundang-undangan sesuai sumpah jabatannya selaku presiden sekalipun sebagai kepala negara.

Para ulama mungkin belum memahami perbedaan hakiki antara kriminalisasi, rekayasa dan politisasi. Kriminalisasi adalah perbuatan yang semula tidak diancam pidana kemudian diancam pidana berdasarkan undang-undang yang mengaturnya. Rekayasa adalah perbuatan institusi penegak hukum (Polri, kejaksaan atau KPK) yang telah menggunakan bukti-bukti yang diperoleh secara melawan hukum (ilegal) untuk menetapkan seseorang sebagi tersangka.

Dan politisasi adalah perbuatan aparat penegak hukum menetapkan seseorang tersangka dengan motif politik, didanai oleh partai politik atau disponsori oleh partai politik. Untuk mengetahui bahwa ada pelemahan terhadap pimpinan KPK, sungguh tidak perlu terjadi jika tidak ada kesalahan atau dosa masa lalu dari pimpinan KPK atau kesalahan ketika menjalankan amanah sebagai pimpinan KPK.

Putusan hakim Sarpin membuktikan telah terjadi kekeliruan pimpinan KPK dalam menetapkan BG sebagai tersangka yang bukan termasuk subjek hukum kewenangan KPK berdasarkan UU KPK sendiri. Apakah juga putusan Pengadilan Jakarta Selatan dalam perkara praperadilan yang diajukan BG termasuk sebagai upaya pelemahan KPK?

Dalam pandangan saya, pemiskinan koruptor merupakan salah satu tujuan dan harus diterjemahkan ke dalam bahasa hukum sebagai tindakan penyitaan dan perampasan aset koruptor yang tidak bertentangan dengan KUHAP dan UU Tipikor atau UU TPPU; tidak boleh sekali-kali diartikan sebagai tujuan menghalalkan cara (het doelheiligdemidelen) karena cara-cara tersebut bertentangan dengan keyakinan agama, Pancasila dan UUD 1945.

Presiden Joko Widodo sudah benar dalam kebijakannya menghadapi masalah pimpinan KPK saat ini karena beliau telah menegaskan bahwa ”jangan ada sok kuasa hukum dan jangan kriminalisasi”! dan tentunya mereka yang cerdik cendekia telah dapat menangkap arah pesan Presiden tersebut yang jelas dan tegas! Penulis masih penasaran atas rekomendasi hasil halaqah para ulama karena dalam KORAN SINDO (30 Maret 2015) yang saya baca tidak memuat secara jelas masukan-masukan introspeksi kepada KPK melalui Johan Budi.

Menurut penulis, seharusnya masukan-masukan para ulama juga penting diketahui publik secara luas sebagai bentuk transparansi publik sesuai dengan pertanggungjawaban KPK kepada publik berdasarkan UU KPK 2002. Transparansi dan bentuk pertanggungjawaban kepada publik diperlukan agar publik juga dapat mengawal langkah tindak lanjut pimpinan KPK terhadap masukkan dari hasil halaqah para ulama tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar