Jumat, 03 April 2015

Putusan Hakim Bisa Berbeda

Putusan Hakim Bisa Berbeda

Marwan Mas  ;  Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Bosowa 45, Makassar
KORAN SINDO, 02 April 2015

                                                                                                                                     
                                                                                                                                                           

Pada hakikatnya hakim di Indonesia tidak wajib mengikuti putusan hakim sebelumnya dalam perkara sejenis. Hakim tidak terikat sepenuhnya pada asas ”the binding force of precedent” (asas preseden) dalam perkara sejenis seperti pada negara-negara yang menganut sistem hukum ”common law (anglo saxon)”.

Itulah yang tecermin dalam putusan praperadilan di Pengadilan Negeri (PN) Purwokerto soal penetapan tersangka oleh penyidik. Hakim Kristanto Sahat Hamonangan Sianipar pada Selasa 10 Maret 2015 menolak gugatan praperadilan yang diajukan Mukti Ali yang ditetapkan tersangka korupsi oleh penyidik kepolisian. Hakim praperadilan PN Purwokerto menyatakan penetapan tersangka bukan ranah praperadilan seperti dimaksud Pasal 77 KUHAP.

Perkara yang dapat diputus melalui sidang praperadilan hanyalah sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan, penghentian penuntutan, serta rehabilitasi nama baik dan mekanisme permintaan ganti rugi. Termasuk penyitaan sebagaimana tersirat dalam Pasal 82 Ayat (3) huruf-d KUHAP bahwa ”Jika putusan menetapkan bahwa benda/barang bukti yang disita tidak termasuk alat pembuktian, maka beda/barang bukti tersebut harus dikembalikan kepada tersangka/terdakwa atau dari siapa benda itu disita”.

Rupanya hakim Kristanto Sahat punya keyakinan tidak memiliki kewenangan untuk mengubah status tersangka Mukti Ali yang ditetapkan oleh Polres Banyumas. Tentu publik akan bertanya, mengapa ada dua pengadilan memutus berbeda pada perkara sejenis? Sebab pertimbangan hukum Kristanto Sahat berbeda dari yang digunakan hakim PN Jakarta Selatan Sarpin Rizaldi yang membatalkan status tersangka korupsi yang ditetapkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Hakim PN Jakarta Selatan menggunakan pertimbangan lain dengan alasan melakukan penemuan hukum (rechtsvinding). Ia ingin mengisi kekosongan hukum, padahal dipahami bahwa ketentuan hukum formil (hukum acara) yang sudah jelas dan tegas tidak boleh ditafsirkan menyimpang dari yang sudah diatur melalui penemuan hukum. Berbeda pada hukum materiil yang memang diperbolehkan melakukan penemuan hukum secara progresif.

Pertimbangan Hukum

Hakim dalam memeriksa dan memutus perkara harus senantiasa membekali dirinya dengan ilmu hukum yang luas. Hal ini ditekankan Soedikno Mertokusumo (1993:45- 46), bahwa ”pekerjaan hakim kecuali bersifat praktisrutin juga ilmiah, sifat pembawaan tugasnya menyebabkan ia harus selalu mendalami ilmu pengetahuan hukum untuk memantapkan pertimbangan hukum sebagai dasar dari putusannya”.

Untuk lebih mempertajam pertimbangan hukum dalam putusan hakim yang secara teoretis mengandung nilai-nilai keadilan dan kebenaran, kiranya para hakim perlu lebih mendalami sistem peradilan ”civil law system (Eropa kontinental) ” yang secara teori dianut di Indonesia. Hakim diikat oleh undang- undang (hukum tertulis) dan kepastian hukumnya dijamin melalui bentuk dan sifat tertulisnya undang-undang.

Hakim Indonesia boleh saja mengikuti putusan hakim sebelumnya pada perkara sejenis, tetapi bukan suatu keharusan yang mengikat. Tugas dan tanggung jawab hakim adalah memeriksa langsung materi perkaranya, menentukan bersalah atau tidak, atau pihak yang beperkara sekaligus menerapkan hukumnya. Metode berpikir hakim dilakukan secara deduktif, yaitu berpikir dari yang umum ke yang khusus.

Hakim berpikir dari ketentuan umum untuk diterapkan pada kasus in-konkreto (aturan khusus) yang sedang diadili. Hakim pada sistem hukum civil law boleh saja mengikatkan diri pada preseden, tetapi tidak wajib. Bahkan di Inggris yang menganut sistem hukum common law, hakim sering juga melepaskan diri dari keterikatan asas preseden tertentu apabila kebutuhan masyarakat menghendaki lain.

Pertimbangan hukum harus jadi rujukan (reference) terhadap amar putusan. Setiap putusan harus berdasarkan pada pertimbangan hukum yang diperkuat oleh teori hukum terhadap fakta yang terungkap dalam sidang. Dalam merumuskannya, hakim harus melepaskan diri dari kepentingan politis, serta mengikatkan diri pada ketentuan yang sudah jelas dan tegas. Tidak menafsirkan hukum formil dan prosesnya melebihi kebutuhan masyarakat.

Ada dua pendekatan bagi hakim dalam menjatuhkan putusan. Pertama, ”pendekatan keilmuan” yang bertujuan untuk mengukuhkan putusan dari sisi teori hukum agar bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah (juridish en filosofich veranwoord). Itulah dasar ilmiah suatu putusan hakim yang diharapkan dapat menyelesaikan konflik, sekaligus diterima secara luas oleh masyarakat atau pihak yang beperkara.

Kedua, ”pendekatan empiris” karena dalam realitasnya hukum tidak otonom. Hukum selalu dipengaruhi oleh faktorfaktor sosial yang ada di luar hukum, seperti kekuatan ekonomi, politik atau kekuasaan, sosial, dan budaya masyarakat. Hukum bukan kaidah yang bebas nilai lantaran bertitik tolak pada manusia (orang) sebagai subjek yang berorientasi pada kulturaldanmoral. Teorihukum yang direfleksi dalam pertimbangan hukum, selain menuntut koherensi logikal, juga menuntut pembuktian empiris.

Keyakinan Hakim

Perbedaan penafsiran hakim pada kasus sejenis menunjukkan bahwa kacamata yang dipakai untuk melihat perkara yang ditangani juga berbeda. Penafsiran itu dituangkan dalam pertimbangan hukum yang akan menjadi penguat amar putusan. Maka itu, konsekuensi dari pertimbangan hukum secara substansial dapat ditafsirkan menjadi dua makna. Pertama, hakim yang memeriksa dan memutus perkara diberi kemandirian atau kemerdekaan.

Tidak boleh ada intervensi sehingga pertimbangan hukumnya juga mencerminkan putusan yang dihasilkan. Kedua, kemandirian hakim bukan berarti kebebasan tanpa batas. Hakim harus memerankan nuraninya sebagai tanggung jawab moral melalui putusan yang dijatuhkan agar sejalan dengan rasa keadilan masyarakat.

Di belahan dunia mana pun, sistem hukum tidak akan mungkin bisa menciptakan keadilan substantif kalau hakim yang merupakan wakil Tuhan di dunia tidak memiliki independensi dalam memutus perkara. Putusan hakim yang tidak sesuai dengan norma-norma hukum yang sudah jelas dan tegas yang tidak perlu lagi ditafsirkan, selain mencederai rasa keadilan masyarakat, juga mendegradasi kepercayaan masyarakat pada hukum.

KUHAP adalah hukum formil (hukum acara) yang mengatur tata cara mempertahankan dan melaksanakan hukum materiil yang dilanggar. Penafsiran yang jauh menyimpang dari ketentuan yang sudah jelas dan tegas bisa menghambat, bahkan mengacaukan proses penyelesaian perkara. Berbeda pada hukum materiil yang bisa ditafsirkan secara progresif dengan asumsi mengikuti dinamika kehidupan serta menghargai nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat (Pasal 5 ayat 1 UU Nomor 48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman).

Perbedaan tafsir terhadap ketentuan normatif, tentu dihargai sebagai bagian dari proses mencapai keadilan. Di situlah fungsinya hakim sebagai pengadil dengan memosisikan nurani dan keyakinannya, sehingga siapa pun yang beperkara akan diputus secara adil. Setiap hakim diberi kebebasan untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang tidak bisa diintervensi oleh siapa pun.

Akan tetapi, hakim harus tetap berpijak pada keyakinan dan ketentuan normatif yang mengatur tata cara menjatuhkan putusan. Apabila pedoman itu tidak ditaati, akan membuka celah bagi pihak lain yang memiliki kepentingan untuk mengintervensi hakim.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar