Jumat, 03 April 2015

Gereget

Gereget

Rhenald Kasali  ;  Pendiri Rumah Perubahan
KORAN SINDO, 02 April 2015

                                                                                                                                     
                                                                                                                                                           

Anda yang menyaksikan pertandingan sepak bola antara tim Indonesia dan Brunei Darussalam dalam ajang Pra-Piala Asia U-23 pada Minggu lalu (29/3) pasti merasakannya.

Kita gemas dengan performa tim nasional kita. Memang tim kita menang dengan skor 2-0. Tapi mestinya jumlah golnya bisa lebih banyak dari itu. Peluang terus bermunculan. Beberapa kali pemain tim kita melepaskan tembakan ke gawang lawan. Sayang tembakannya ada yang kena blok pemain lawan, berhasil ditepis penjaga gawang, meleset tipis atau terlalu jauh dari sasaran.

Meski begitu saya hargai perjuangan mereka. Betul hasilnya kurang memuaskan, tapi mereka setidak-tidaknya sudah tampil ngotot. Ada gereget untuk menang. Sayangnya itu tidak berlanjut. Ketika berhadapan dengan Korea Selatan, tim nasional kita kalah 0-4. Dalam olahraga, menang kalah adalah hal biasa.

Persoalannya adalah kita kalah dengan cara seperti apa? Kalah setelah bertarung habis-habisan atau kalah karena gagal mengeluarkan kemampuan terbaik? Kalau melihat pertandingannya, saya merasa ada sesuatu yang hilang pada tim kita, yakni gereget tadi. Tim kita seakan-akan tidak ngotot untuk menang, terutama pada babak kedua. Ini membuat saya gemas.

Sejumlah Kasus

Fenomena kurangnya gereget bangsa kita belakangan ini sebetulnya bisa kita jumpai di mana-mana. Bukan hanya dalam bidang olahraga, tetapi juga pada sejumlah kasus. Di rumah tangga-rumah tangga, banyak orang tua gemas melihat prestasi anak-anaknya yang biasa-biasa saja. Padahal, hasil tes IQ menunjukkan kecerdasan sang anak jauh di atas rata-rata.

Ada apa? Rupanya sang anak terlalu banyak diberi beban, banyak yang membuat mereka tidak fokus. Akibatnya menjadi malas dan baru belajar kalau disuruh. Kesannya, sama sekali tidak ada semangat untuk menjadi yang nomor satu. Beda kalau main game. Semangatnya membara. Anakanak bahkan bisa lupa makan, lupa minum, lupa mandi, bahkan lupa waktu.

Passion-nya untuk menjadi sang pemenang sungguh luar biasa. Di kantor-kantor, kita juga bisa dengan mudah menemukan karyawan yang kinerjanya hanya ingin memenuhi target minimum. Mereka memang masuk kerja tepat waktu, tetapi gelisah dan tak lagi fokus pada pekerjaan menjelang jam pulang.

Geregetnya cuma tampak di social media dan saat meng-upload status saja. Apa mereka tak ingin memiliki kinerja optimal? Pasti ingin. Mereka juga tahu caranya. Kerja lebih lama dan lebih keras. Kalau bisa, kerja lebih cerdas. Meski tahu caranya, kita bisa dengan mudah menemukan bahwa mereka kurang (Anda bisa baca: tidak) gereget untuk melakukannya. Seakan-akan kehilangan motivasi untuk menjadi yang terbaik. Kita juga bisa melihatnya dalam skala yang lebih luas.

Mereka yang tinggal di Jakarta beberapa waktu lalu menghadapi masalah yang sangat serius. Sampah. Akibat masalah angkutan dan tempat pembuangan akhir (TPA), sampah-sampah di Ibu Kota tak bisa diangkut. Maka sampah pun bertimbunan di sudut-sudut jalan di kawasan perumahan. Baunya menyengat. Keluhan masyarakat menyeruak di mana-mana.

Jakarta sebetulnya sudah sejak dulu memiliki ide untuk menangani masalah sampah. Ada ide membangun tempat-tempat pengolahan sampah di lokasi sampah dihasilkan, mengolahnya menjadi pupuk organik atau mengubahnya sebagai pembangkit listrik. Soal teknologi untuk itu sama sekali tidak ada masalah.

Dana juga tersedia. Lalu, mengapa kita sama sekali tak merasakan adanya gereget untuk menangani masalah sampah? Baik di jajaran birokrasi di Provinsi DKI Jakarta atau di masyarakat sekalipun. Kata Leonardo da Vinci, “I have been impressed with the urgency of doing. Knowing is not enough; we must apply. Being willing is not enough; we must do. “ Do, itulah yang tidak ada di lingkungan Pemprov DKI dalam mengatasi masalah sampah.

William Blake, seniman asal Inggris, gemas dengan orang-orang semacam ini. Katanya, “He who wants, but doesn’t act, is a pest.“ Saya setuju. Di dunia bisnis, kita juga gemas dengan performa industri keuangan syariah. Pasarnya begitu gemuk. Indonesia adalah negara muslim terbesar di dunia. Hampir 90% dari seluruh penduduk Indonesia adalah umat Islam. Tapi mengapa industri keuangan syariah kita terlihat begitu kerdil?

Merujuk pada data dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK), sampai tahun 2014 pangsa pasar industri keuangan syariah kita masih kurang dari 5% ketimbang industri keuangan konvensional. Detailnya begini. Pangsa pasar industri perbankan syariah baru 4,8%. Nilai aktiva bersih (NAB) reksa dana syariah baru 4,65%. Obligasi syariah bahkan hanya 3,18%.

Lalu untuk industri keuangan nonbank syariah sebesar 3,55%. Kinerja ini jelas tidak mencerminkan potensinya. Kerja para pelaku industri keuangan syariah kita seakan-akan kurang gereget. Bukan soal peminjamnya yang tak usah ditanyakan lagi pasti sangat gereget, melainkan mengapa yang menabung di bank syariah begitu kecil?

Belum lama berselang, Presiden Joko Widodo mengungkapkan bahwa dia geregetan dengan kondisi pangan kita. Katanya, Indonesia negara yang kaya, sawahnya luas, tapi mengapa kita masih mengimpor beras?

Beberapa Persyaratan

Baiklah, saya ajak Anda untuk sedikit melihatnya dari perspektif manajerial. Untuk bisa mencapai kinerja yang optimal, memang ada beberapa persyaratan yang mesti dipenuhi. Pertama, alat yang tepat. Sebab, sekeras apa pun Anda bekerja, kalau alat yang Anda pakai tidak tepat, hasilnya tentu kurang optimal. Contohnya, Anda mencoba membakar kertas dengan sinar matahari, tetapi hanya memakai cermin biasa, kertas tak akan terbakar. Anda harus memakai kaca pembesar.

Kedua, waktu yang tepat. Anda hanya bisa memakai kaca pembesar tadi di saat matahari bersinar. Bukan malam hari atau kala matahari tertutup awan. Ketiga, tempat yang tepat. Anda hanya bisa membakar kertas dengan kaca pembesar kalau lokasinya di tempat terbuka. Bukan di tempat yang terlindung dari matahari. Keempat, cara atau strategi yang tepat. Cara Anda memegang kaca pembesar mesti tepat. Bukan miring. Kelima, sasaran yang tepat. Anda mesti memusatkan cahaya matahari ke satu titik yang tepat di kertas. Bukan bergeser-geser.

Apa jadinya kalau lima hal tadi tak terpenuhi? Kerja kita menjadi kurang gereget dan akhirnya kita malah membuat orang geregetan. Bagaimana caranya supaya kerja kita mempunyai gereget?

Kata orang, tempalah besi selagi panas. Kalau sudah dingin, besi akan sulit dibentuk. “The present moment is all you ever have,” kata penulis asal Kanada yang lahir di Jerman, Eckhart Tolle. Tapi, sastrawan Irlandia, William Butler Yeats, kurang setuju dengan Tolle. Dia bilang begini, “Do not wait to strike till the iron is hot; but make it hot by striking.” Jadi, selalu ada jalan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar